tag:blogger.com,1999:blog-44988979209829525882024-03-05T20:08:34.219+07:00Adit Berceritaberjalan belajar berbagiAdit Puranahttp://www.blogger.com/profile/05973687161754216275noreply@blogger.comBlogger192125tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-83705687432142188842020-04-15T14:57:00.001+07:002020-04-15T15:00:29.871+07:00Sejoli #7: Lamaran?Kami mau serius, jadi langkah selanjutnya adalah melobi orang tua untuk saling kenal dan menerima keluarga satu sama lain. Saya berusaha agar bisa diterima oleh keluarganya, dan dia yang juga berusaha agar bisa diterima oleh ibu dan kakak saya. Lalu sampailah pada bagian yang biasanya membuat gugup, menghadap walinya. Ayah kandung.<br />
<a name='more'></a><br />
Sepulang kerja, saya menyempatkan mampir ke rumahnya untuk bertemu dengan sang ayah. Ada hal serius yang hendak disampaikan. Melihat gelagat saya yang mungkin lain dari biasanya dan <i>to the point</i> mau bicara pada sang bapak, beliau meminta saya duduk di dekatnya.<br />
<br />
"Nak, bapak udah percaya ama Nak Adit. Nak Adit udah bapak anggap kayak anak bapak sendiri. Kalau Nak Adit beneran mau serius, bapak nggak akan ribet-ribet. Bapak merestui. Nanti datang aja bareng orang tua Nak Adit ke sini. Kita ngobrol aja rencana ke depannya, nggak perlu pake acara lamaran. Karena udah jelas sama-sama mau dan serius."<br />
<br />
Beberapa pekan kemudian, saya datang membawa ibu dan kakak ke rumah dia. Langit sudah agak gelap, disambut keluarga yang sudah bersiap-siap dengan pakaian menyambut tamu. Keluarga kami saling mengenal, dan membicarakan tanggal. Pertemuan yang sederhana, jauh dari seremoni lamaran, gempita walimah, dan bahasan "Apakah lamaran diterima?".<br />
<br />
Jamuan yang sepenuh hati. Keluarganya berusaha untuk memberikan yang terbaik pada kami yang hanya datang bertiga (ibu, kakak, dan saya). Karena merasa malu keluarganya sudah berusaha menjamu sedemikian baik, giliran pekan depannya keluarga saya yang menjamu. Kami makan bersama di ruang makan, menikmati sajian, dan ngobrol santai layaknya keluarga yang akrab.<br />
<br />
Acara makan bersama itu seperti menikahkan dua keluarga. Seolah ada pembatas hati yang dipangkas. Keluarga kami makin akrab.<br />
<br />
Lalu entah bagaimana kabar rencana pernikahan kami mulai terdengar oleh beberapa teman. Padahal kami belum menemukan tanggal yang tepat, dan belum merilis undangan. Bagian hebohnya tentu saja cerita bahwa pernikahan kami tanpa diawali dengan lamaran, dan cerita saya sendirian menghadap ayahnya untuk menyampaikan maksud berkeluarga.<br />
<br />
Saat banyak orang bilang bahwa lamaran itu penting, saya justru mengalami bahwa lamaran itu tak seberapa dibanding akad. Bahkan saya merasakan bahwa tanpa lamaran pun, menikah tetaplah sah.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0Bvb-Pdp_YA-uaWWtLBTerGw3at1dUtjnW5BSYUKvLirsSwgOsc_1i1KHFARqE7ZIWDV5u-eBUBF_DcCzt70TTTpckrm0fwP-YlFfuHigoUZg-ZnzYCn9VGo0sWVSTEpEsFTtBKWfyZo/s1600/IMG-20160313-WA0071.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="480" data-original-width="640" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0Bvb-Pdp_YA-uaWWtLBTerGw3at1dUtjnW5BSYUKvLirsSwgOsc_1i1KHFARqE7ZIWDV5u-eBUBF_DcCzt70TTTpckrm0fwP-YlFfuHigoUZg-ZnzYCn9VGo0sWVSTEpEsFTtBKWfyZo/s320/IMG-20160313-WA0071.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Setelan kompak, walau cuma kaos polos.</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Kalau sudah jelas sama-sama mau, apa sih sebenarnya intisari dari lamaran? Kalau walinya tahu bahwa lelaki yang menghadapnya adalah pilihan sang putri, untuk apa mengadakan walimah lalu bersandiwara bilang mau melamar putri bapak, bapaknya bertanya pada sang putri?<br />
<br />
Saya bersyukur bahwa di jalan menuju akad nikah, kami melewatinya dengan cara yang jujur.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
21 Sya'ban 1441<br />
<br /></div>
Adit Purhttp://www.blogger.com/profile/00532838257863290512noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-90924882411504139252019-12-05T17:09:00.000+07:002019-12-05T17:13:53.655+07:00Sejoli #6: Godaan<i>Seperti saat memesan latte, lalu di menu terlihat creme brullee dengan harga yang sama. Pikiran melayang ke sebuah kedai lain yang menyajikan creme brullee dengan racikan terbaik. Mau batalkan pesanan latte dan ganti creme brullee saja?</i><br />
<a name='more'></a><br />
Seorang teman dekat pernah bercerita bahwa sebelum nikah, tiba-tiba saja ada perempuan yang mengungkapkan perasaannya. Mengakui bahwa selama ini dia memendam rasa suka pada teman saya, dan berharap dinikahinya. Teman saya hanya tertawa singkat, baginya ini lucu, juga membingungkan. Dia bertanya-tanya pada dunia, "Kenapa saat pernikahan sudah di depan mata, ada perempuan lain yang mengungkapkan perasaannya?"<br />
<br />
Saya hanya tersenyum mendengarnya, tak tahu jawabannya, juga tak mengomentari dengan pengalaman yang sebanding. Saya belum pernah merasakan ada di posisi yang serupa dengannya. Saat itu saya hanya seorang bujangan yang pernah mendengar ungkapan cinta dari gadis. Gadis yang baik, tapi sayangnya hati ini tak tertambat kepadanya. Dan lagi, ungkapan itu datang melewati jarak yang terbentang di antara kami. Gadis sudah pergi jauh, ke kota asalnya. Gadis berani mengungkapkan, karena dia tahu tak akan bertemu saya lagi. Saya hanyalah cerita yang tak akan dia perpanjang lagi kisahnya.<br />
<br />
<i>Itu seperti saat sedang puasa, lalu ada yang menawarkan americano. Kamu belum menentukan pilihan, apalagi memesan.</i><br />
<br />
Beberapa bulan berlalu. Saya sudah menentukan pilihan: si teman kemping. Saya belum begitu lama mengenalnya, hanya saja setelah kemping rasanya jadi kenal lebih dalam. Entah apa kelebihan dan kekurangan dia, saya hanya tahu bahwa dia sepertinya bisa diajak hidup bersama. Seperti bermalam di bawah pinus yang sama, dengan nasib yang serupa namun beda tenda. Di mata saya, dia tidak cantik-cantik amat, dia juga tidak menebarkan pesona seperti gadis yang sedang mengikat rambutnya. She's my latte. Sejak itu saya tak pernah berpetualang lagi dengan aneka menu kopi, pilihan saya selalu tertuju pada latte.<br />
<br />
Pekerjaan baru ternyata membawa cerita baru, apalagi saat berkumpul dengan komunitas. Gaji saya kecil untuk ukuran biaya hidup di Bandung, hampir setengah dari UMK. Kalau ada reunian atau kopdar, saya suka minder karena hal ini. Dengan cueknya, sambil ikut menyiapkan lalapan nasi liwet saya merendah "Ah da aku mah apa atuh?! gajinya juga cuma 1,5 juta sebulan."<br />
<br />
Awalnya saya kira akan ditertawakan, ternyata ada yang langsung menjawab, dengan ketusnya dia bilang "Iya makanya ini aku juga kerja biar bisa bantuin suami!!!"<br />
<br />
Saya bengong, melihat dia yang bermasam muka beranjak dari tempat duduknya menuju dapur. Kok dia sebegitunya marah? Kebingungan saya dalam hati. Pandangan saya beralih ke orang lain, bertanya: dia kenapa?<br />
<br />
Kejadian ini saya ceritakan pada seorang sahabat di komunitas itu. Sahabat saya kenal dia cukup lama, dan sepertinya tahu kenapa dia marah. "Dia suka ama kamu. Kamu aja yang selama ini gak pernah nyadar. Coba kamu pikir, dia bilang gitu karena mau ama kamu, walau kamu gajinya kecil."<br />
<br />
Pikiran saya mencari-cari kepingan kisah lain tentangnya, si gadis manis yang marah. Katanya, dia pertama kali kenal saya di pertengahan dekade 2000. Itu 9 tahun sebelum kami ngobrol, di tempat yang sudah sangat jarang saya singgahi. Dia menyebutkan tahun, lengkap dengan asal usul kegiatan saya di komunitas. Bagaimana mungkin dia bisa tahu jejak saya? Padahal dia datang di saat saya mulai meninggalkan komunitas itu.<br />
<br />
<i>Kalau kamu ngopi di kedai, lalu pergi pada pukul 5 sore. Bagaimana mungkin seorang pengunjung baru yang datang pada pukul 5 sore bisa mengenalmu? </i><br />
<br />
Saya merenung. Rupanya begini yang dirasakan oleh teman dekat saya. Saat akan menikah, satu per satu rahasia hati terungkap. Diakhiri dengan pertanyaan yang sama: kenapa mereka mengungkapkan perasaannya saat saya akan menikah? Ya, mereka. Karena ternyata ada lebih dari satu. Ada yang menyampaikannya secara tersurat, ada yang diceritakan oleh teman, ada juga yang diceritakan oleh istri. Saat baru sah menjadi pasangan, istri saya bercerita bahwa ada seniornya yang terindikasi suka pada saya (menurut penuturan sahabatnya), ada juga temannya yang meminta bantuan dicarikan jodoh. Temannya minta dicarikan lelaki yang seperti saya. Dia kesal dan ketus, sedangkan saya tepok jidat dan geleng-geleng kepala.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvoi_bCqNINLveWvO2u7q-Shtksbouhv6roRu91FRV8tBy6rbOAROZeMLegnWIu9onjasXbbf-7Pl82NbcIZQ6bJfjKUIswpBmoCvPl1y_R9GUvh2oCy49gzzR-VHTpO7nLFZOvvbJ-jo/s1600/Untitled.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="427" data-original-width="640" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvoi_bCqNINLveWvO2u7q-Shtksbouhv6roRu91FRV8tBy6rbOAROZeMLegnWIu9onjasXbbf-7Pl82NbcIZQ6bJfjKUIswpBmoCvPl1y_R9GUvh2oCy49gzzR-VHTpO7nLFZOvvbJ-jo/s320/Untitled.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Kalau Bae Suzy yang suka, mungkin lain cerita. Hehe.</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Ah, seandainya mereka berterus terang sebelum saya menentukan pilihan, mungkin saya akan mempertimbangkannya. Tapi mungkin Yang Maha Kuasa berencana menutup kenyataan itu sampai saya menetapkan pilihan, hingga akhirnya saya berhasil fokus pada jalan yang saya pilih.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
7 Rabiul Akhir 1441</div>
<div>
<br /></div>
Adit Purhttp://www.blogger.com/profile/00532838257863290512noreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-61773251020051344322019-11-21T09:45:00.000+07:002019-11-21T09:47:26.044+07:00Sejoli #5: BerjodohTarget saya di akhir 2014 adalah segera mendapatkan penghasilan, tentunya melalui pekerjaan yang cukup sesuai. Terutama yang membuat saya bisa tetap menemani ibu yang sudah single parent dan memasuki usia pensiun. Nominal gaji bukan masalah utama.<br />
<br />
Suatu hari, saya mendapatkan info lowongan mendidik di sebuah sekolah swasta. Alamatnya di sekitaran Ujung Berung ke arah utara, yang setelah saya survey ternyata memerlukan waktu 2 jam dari rumah. Ya sudah, ini jelas tidak sesuai. Terlalu jauh.<br />
<br />
Pulang survey, saya mampir ke rumah seorang teman. Namanya Aisyah. Kebetulan searah menuju rumah, sekitar 1,5 km dari sekolah ini ke arah barat, lalu belok kanan di Padasuka. Setelah chat, kabarnya dia ada di rumah. Karena merasa kurang enak kalau datang dengan tangan kosong, saya pun beli cakue mini di pertigaan dekat sungai. Ala kadarnya, hanya senilai 10 ribu.<br />
<br />
Saya berkeliling di sekitaran tiang listrik yang Aisyah sebut sebagai patokan gang menuju rumahnya. Sayang, saya tak menemukan rumah yang dia sebutkan ciri-cirinya. Sampai akhirnya dia menjemput ke depan gang dan menemukan saya yang sudah kucel berkeringat. Saat itu matahari begitu teriknya, jadi tak ada adegan saya kehujanan basah kuyup dijemput dia yang membawa payung.<br />
<br />
Saya tak lama berakrab ria di rumahnya. Hanya minum teh, makan mie, saling bertukar cerita, dan sempat berpamitan dengan orang tuanya. Kemudian saya pun pulang dengan membawa oleh-oleh berupa pohon yang menarik perhatian saya di sana. Pohon cincau dari halaman depan rumahnya.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
***</div>
<br />
Beberapa pekan kemudian, saya menemukan iklan lowongan lain. Lokasinya di Cimahi. Tepat di hari yang sama, ada SMS info lowongan di tempat yang sama. Mungkin itu pertanda saya mesti mencoba melamar ke sana. Mengingat statusnya sebagai yayasan pendidikan Islam, pikiran saya melanglang buana ke Baitul Anshor, Darul Hikam, Darul Ilmi, Salman Alfarisi, Al Azhar, hingga Al Irsyad. Setelah mendapatkan alamatnya, saya pun survey ke Cimahi untuk melihat lokasi. Namanya Nur Al Rahman. Saya sempat bingung, karena kalau mengaji umumnya bukan menyebut Nur Al Rahman, melainkan Nurul Rahman. Seperti nama sekolah Nurul Aulia, atau nama masjid di sekolah saya dahulu (Nurul Hidayah). Belakangan saya malah mendengar dari guru-guru dan warga Cimahi, mereka kerap menyebutnya Ar Rohman.<i> Geus beda deui nya</i>.<br />
<br />
Saya pun mengabari sahabat yang mengirim SMS info itu. <i>"Man, urang jadi ngalamar ka Nurul Rohman tea."</i> Saya juga mengabari kawan dekat yang pernah jadi guru di Salman, Al Azhar, dan Darul Ilmi. Intinya saya meminta do'a mudah-mudahan lancar dan berkah. Walaupun mereka juga tahu lika-liku sekolah Islam yang jauh dari ideal untuk sebuah sumber penghasilan. Tidak ketinggalan, teman kemping pun saya kabari perihal rencana saya melamar ke Ar Rohman. Kebetulan si teman kemping adalah orang Cimahi yang tinggal masih satu kelurahan dengan Ar Rohman. Pasti dia tahu sekolah itu.<br />
<br />
"Saya mau ngelamar. Namanya Nurul Rahman. Doain ya, moga lancar dan berkah. Ya walaupun ga begitu ideal."<br />
<br />
Beberapa saat kemudian, saya mendapatkan balasan bertubi. Tadinya saya kira akan mendapatkan balasan "Iya, moga keterima. Cocok ngajar di sana." Ternyata saya mendapat balasan "Iya, semoga lancar dan berkah. Amiin. Bisa cocok ama mas." yang dilanjutkan "Tadinya aku mau menawarkan diri. Nanyain mas mau ga nikah ama aku..."<br />
<br />
Tepok jidat. Sejak membaca SMS itu, saya jadi banyak merenung. Apa ini pertanda jodoh? Saat saya baru mengunjungi rumah Aisyah, hadirlah si teman kemping dengan keceplosannya. Berada di posisi ini, saya hanya bisa berdo'a meminta pada yang Maha Kuasa. Setidaknya semoga saya diterima kerja, jadi punya penghasilan sebagai modal berumah tangga. Sejujurnya, saya tak punya modal apa-apa. Bahkan perasaan cinta pun tidak. Saya hanya melihat keduanya berpeluang menjadi teman hidup sampai akhir hayat, namun tak tahu mana yang akan berjodoh.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
***</div>
<br />
Si teman kemping mengenal Aisyah, dan dia tahu bahwa saya pernah main ke rumah Aisyah. Mereka kadang ngobrol bareng di tongkrongan dekat ITB. Cukup akrab, sampai tahu bahwa ibunya Aisyah memberikan kriteria perihal calon suami. Bahkan dia diminta menjadi MC di pernikahan Aisyah. Saya hadir di pernikahan Aisyah, dan bahagia melihatnya bahagia. Sekaligus merasa lega lantaran do'a saya terjawab, terutama saat Aisyah berfoto dengan MC.<br />
<br />
Pulang dari hajatan, si teman kemping bercerita bahwa Aisyah pernah curhat, "Sebenarnya dulu ada teman yang ke rumah. Kayaknya mau pedekate, serius. Cuma waktu itu aku belum ngeh." Dia pasti tahu siapa lelaki yang dimaksud. Saya hanya tersenyum, tak bilang apa-apa. Saat mendengar Aisyah menceritakan itu, batinnya mungkin menjawab: "Iya, yang datang ke rumahmu saat itu adalah lelaki pilihanku."<br />
<br />
Do'a saya dijawab lagi. Segala sesuatunya berjalan lancar. Teman-teman kami mendukung, bahkan mereka melihat kami adalah pasangan yang sangat klop. Dia memperkenalkan saya dengan sahabatnya, saya pun memperkenalkannya pada geng saya. Kedua orang tua kami menerima kehadiran calon orang baru di keluarganya. Rasanya tak ada alasan untuk mundur.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgQxOHeJPUdyxIGXkB1VW2XYVbJf9QLKDMF47an2MijqWfOGNggzYrzah6zEaGK1abof3A9HJV5QU6mMjlHadUxWgJEux0iilXgAm6WCACAPu-ibf6WPKJuzczSvDP13vHJxfXmpaWlLBQ/s1600/IMG_20170106_151011.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="426" data-original-width="640" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgQxOHeJPUdyxIGXkB1VW2XYVbJf9QLKDMF47an2MijqWfOGNggzYrzah6zEaGK1abof3A9HJV5QU6mMjlHadUxWgJEux0iilXgAm6WCACAPu-ibf6WPKJuzczSvDP13vHJxfXmpaWlLBQ/s320/IMG_20170106_151011.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Honey moon</i> ke Tamansari, Jogja</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Apa pertanda jodoh? Saya hanya bisa menjawab: dilancarkan oleh yang Maha Kuasa. Boleh jadi tidak saling suka, usia jauh, atau punya alasan lain untuk menolak. Tapi kalau sudah benar-benar berniat dan menekuni jalannya, ternyata dilancarkan. Ini tentang membuka hati, bukan keras hati bersikukuh pada orang yang diinginkan.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
22 Rabiul Awal 1441<br />
</div>
Adit Purhttp://www.blogger.com/profile/00532838257863290512noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-91494476661206061862019-02-15T10:53:00.001+07:002019-02-15T10:54:14.826+07:00Sejoli #4: Kenal Lebih DekatSuatu hari, dia pernah mengungkapkan keinginannya melihat saya mengenakan setelan batik. Mungkin karena dia bosan melihat saya keseringan mengenakan kemeja flanel kotak-kotak, atau entah kenapa. Jadi saat saya menjadi panitia pernikahan seorang sahabat, saya mengajaknya untuk hadir. Bukan untuk menyaksikan hajatan sahabat saya, melainkan untuk melihat saya mengenakan setelan yang tidak biasa: batik.<br />
<a name='more'></a><br />
Saat dia ingin melihat saya mengenakan batik, mungkin itu karena dia ingin mengenal saya lebih dalam. Mengajaknya datang ke hajatan itu berarti saya mengizinkan dia untuk mengenal saya lebih dalam.<br />
<br />
Apalagi yang membuatnya mengenal saya lebih dalam? Sebulan kemudian, saya ikut kegiatan kemping dan biotreknya Pustaka Tropis Wanadri yang berjudul Sambil Jalan. Saya hanya mengabarinya melalui Facebook. Ya, hanya mengabari, tanpa berharap dia ikut. Sadar diri saja, mungkin dia tidak tertarik ikut acara beginian. Terlebih lagi dia punya komunitas jalan-jalannya sendiri.<br />
<br />
Awalnya saya berpikir bahwa teman-teman kemping yang akan saya dapatkan di Sambil Jalan adalah orang-orang yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Sampai akhirnya dia mengabari: "Aku ikut, Mas. Bawa seorang temen. Pamung." Oh, oke. Ternyata di sana setidaknya ada seorang yang sudah saya kenal sebelum datang ke perkemahan. Bahkan hasil dari pengelompokkannya, saya satu kelompok makan dengan dia, dan satu tenda dengan Pamung.<br />
<br />
Tak ada prasangka apapun tentang hal ini. Saya menjalaninya seperti biasa, sebagaimana saya pernah kemping sebelumnya. Standar anak Pramuka: saling bantu dan melengkapi sebagai satu unit yang sedang survive.<br />
<br />
Saat biotrek, pernah ada kesempatan untuk membantunya, sebagaimana membantu yang lain. Tetapi dia menolak. Ya wajar sih, mungkin dia memang bisa sendiri. Lagipula dia bukan anak kecil.<br />
<br />
Bagi saya pribadi, acara ini adalah sepenuhnya acara kemping dan biotrek bersama teman-teman baru. Memang benar bahwa di perkemahan ada orang yang sudah saya kenal sebelumnya, tetapi kenyataannya saya lebih banyak ngobrol dengan orang-orang baru (ketimbang dengan dia dan sahabatnya).<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiHWGZ_dtv5gTG1UXyaTXz9KIVWAcvISoQsUPbCU97kkic5JK-r-x1xY5dBCH_Yl1VXkXQ4Aq0zP2Y0M5zZy7f1BLYggbMqIEMXm3DaENkD_qnK6mQB_ugQv1ME_TAoLbcFaTZmgcqxKhI/s1600/2+Feb+12.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="960" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiHWGZ_dtv5gTG1UXyaTXz9KIVWAcvISoQsUPbCU97kkic5JK-r-x1xY5dBCH_Yl1VXkXQ4Aq0zP2Y0M5zZy7f1BLYggbMqIEMXm3DaENkD_qnK6mQB_ugQv1ME_TAoLbcFaTZmgcqxKhI/s320/2+Feb+12.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Sebelum berangkat, belum pada ngumpul</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Beres acara di perkemahan, saya dan dia menjadi peserta yang terakhir menuju titik penjemputan. Kami jalan bersama dari area kemping ke parkiran, melewati jalur yang basah, licin, berlumpur. Teringat bagaimana dia tidak mau dibantu, ya saya cuek-cuek saja. Membiarkan dia dengan jalur yang dia lewati, dengan caranya menghadapi situasi. Bagaimanapun juga dia adalah perempuan tangguh yang sudah familiar menginjak daerah terkena bencana.<br />
<br />
Jalur menuju parkiran membuat kami bertemu dengan jembatan kecil berupa segelondong kayu. Ukurannya kira-kira berdiameter 1/2 meter dan panjangnya 2 meter. Disebut jembatan kecil karena fungsinya hanya untuk melewati lumpur. Saya tidak bilang apa-apa, juga tidak menawarkan bantuan. Karena saya berpikir dia bisa melewatinya dengan mudah.<br />
<br />
Pikiran saya ternyata salah. Dia yang sebelumnya bilang tidak mau dibantu ternyata terpeleset di gelondong kayu itu. Saya yang kaget pun menghampirinya untuk melihat keadaan. Syukurlah, badannya utuh. Tidak ada tanda-tanda patah tulang, atau pendarahan terbuka. Dia juga bisa bangun sendiri, itu cukup menunjukkan bahwa dia juga tidak keseleo. Dua orang tim P3K datang, dan mereka tidak bertindak apa-apa setelah melihat dia bisa jalan sendiri.<br />
<br />
Kalaupun ada luka, mungkin adalah luka di hati lantaran malu karena setengah badan dipenuhi lumpur, lalu ditertawai oleh temannya. Luka bahwa sebagai seorang perempuan, terlihat betapa jeleknya dia. Itu adalah saat-saat saya mengenalnya lebih dekat sebagai orang yang sudah terpeleset berlumuran lumpur. Selanjutnya mungkin sudah bisa ditebak. Ya, sayalah yang membawakan tas <i>carrier</i>-nya.<br />
<br />
Angkot jemputan membawa kami ke Sukaluyu. Para peserta kemping pulang ke rumahnya masing-masing dengan arah yang berbeda-beda. Saya yang arah pulangnya sejalan dengan dia, akhirnya pulang bersama. Karena sama-sama sudah lapar, kami makan mie ayam di Cijerah.<br />
<br />
Ternyata dia lebih suka mie ayam ketimbang spageti, dan dia baru tahu kalau saya suka mie ayam dengan kuah bening (tanpa saus dan kecap). Perlahan, ada hal-hal tentangnya yang baru saya lihat. Begitu juga sebaliknya. Kami mulai kenal lebih dekat.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
5 Jumadil Tsani 1440</div>
<div>
<br /></div>
Adit Puranahttp://www.blogger.com/profile/05973687161754216275noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-36899501585659698792019-02-08T14:40:00.000+07:002019-02-08T14:40:57.206+07:00Sejoli #3: PerjalananApa yang saya nikmati dari perjalanan? Seringnya saya mendengar orang-orang membicarakan tempat yang mereka tuju. Entah itu tempat wisata, gunung, laut, ataupun perbelanjaan. Kalau membahas trip ke Jogja, yang mereka bahas seputar Malioboro, Tamansari, Keraton, Alun-Alun. Itu mereka.<br />
<a name='more'></a><br />
Saya? Sebagai backpacker, sepertinya saya lebih menyukai jalan-jalan dan menemukan hal-hal baru yang jarang dilirik oleh orang-orang. Orang lain mungkin akan marah-marah kalau nyasar, sedangkan saya akan menikmati (bahkan mungkin sengaja) nyasar di tempat yang masih asing. Saat orang lain senang ber-swafoto di Tamansari, saya justru senang memperhatikan akses antar titik objek yang ternyata adalah rumah warga. Singkatnya, saya lebih menikmati perjalanan.<br />
<br />
Suatu hari, dia mengajak saya ke kampus ITB Jatinangor untuk menengok "Salman" ITB Jatinangor (waktu itu belum resmi dinamai Al-Jabbar). Saya mengiyakan, dan mengusulkan naik bus menuju tempat yang dimaksud. Kami janjian bertemu di pangkalan Damri Elang, lalu naik bus yang ke Jatinangor.<br />
<br />
Perjalanan bukan hanya memberikan kesempatan untuk melihat apa saja yang terlewati saat di jalan, tapi juga kesempatan untuk merenung. Dan apabila beruntung, memberikan kesempatan untuk mendapatkan cerita baru. Dalam kesempatan ini, cerita baru itu adalah dia. Yang mungkin untuk dia, cerita baru dalam kesempatan ini adalah saya.<br />
<br />
Saya merenung, bahwa saya punya teman ngobrol dalam sebuah perjalanan. Dia yang saya saksikan bercerita banyak hal tentang dirinya, dan memperlihatkan apa yang menjadi ketertarikannya dalam perjalanan. Dia yang ternyata bisa berpanas-panasan dan berjalan layaknya seorang backpacker.<br />
<br />
Sebagai pencari lokasi, kami sempat keliling area kampus ITB Jatinangor sampai ke lapangan yang terletak di ujung utara. Jauh kesasar, karena ternyata tempat yang dicari justru ada di ujung selatan. Menyedihkan, dan membuat kami berkeringat kepanasan. Tapi saya juga mau mengakui bahwa nyasar itulah yang membuat kami kompak untuk menemukan arah.<br />
<br />
Setelah menemukan lokasi yang dimaksud, kami tidak berlama-lama. Hanya numpang shalat zhuhur, lalu makan bareng di sebuah warteg. Ya warteg, bukan cafe atau resto.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhuu9ma5PmPCOvNRkQsbSqx1SL98RVOVXQaurrTeBLMFIZHiCNkqeiF0iXt3lnWIdHGd2AKoyQMQm3iuzcK-SbrRS3mmiTHj2ziuRb4bXb5GmMG8neNef7j1wWTUhyphenhyphenkj-CPW-GRNES3eSAf/s1600/49455697_316567158968870_1960330046936940891_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="810" data-original-width="1080" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhuu9ma5PmPCOvNRkQsbSqx1SL98RVOVXQaurrTeBLMFIZHiCNkqeiF0iXt3lnWIdHGd2AKoyQMQm3iuzcK-SbrRS3mmiTHj2ziuRb4bXb5GmMG8neNef7j1wWTUhyphenhyphenkj-CPW-GRNES3eSAf/s320/49455697_316567158968870_1960330046936940891_n.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
Sebuah perjalanan yang sama terkadang dirasa berbeda. Kami sama-sama ke Jatinangor, dan nyasar untuk mencari "Salman" Jatinangor. Tetapi bagaimana cara saya melihat perjalanan ini, bisa jadi berbeda dengan caranya melihat. Jadi malamnya saya bertanya: <i>how's your day? </i><br />
<br />
Walau cara kami melihatnya (bisa) berbeda, semoga saja dia (bisa) menikmatinya.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
2 Jumadil Tsani 1440</div>
Adit Puranahttp://www.blogger.com/profile/05973687161754216275noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-72106993638559367932019-02-06T09:34:00.000+07:002019-12-13T16:26:16.166+07:00Sejoli #2: Berteman<i>Saat kita bisa memandangi lembayung, sambil mereguk secangkir teh hangat dan saling bertukar cerita tentang hidup. Lalu kita bisa tersenyum dan tertawa bersama. Itulah berteman, kata seseorang yang saya kenal.</i><br />
<a name='more'></a><br />
Saya mengiyakan. Karena berpikir bahwa ada orang-orang yang sebatas kenal, tapi merasa tak ada hubungan sama sekali. Saya punya banyak teman sekolah atau kuliah, tapi yang benar-benar teman sepertinya tidak banyak. Teman yang benar-benar teman rasanya bisa dihitung sejumlah 2 tim futsal. Saya bilang begitu karena 10 orang itulah yang sering ngobrol, saling ngerti, saling bantu, dan saling melengkapi.<br />
<br />
Melihatnya meminta diajari menulis seperti melihat adik meminta dituntun. Awalnya begitu. Menyadari usianya yang beda 6 tahun, saya belum bisa merasa bahwa dia adalah teman. Seandainya saya bercerita tentang main telepon umum (koin), terjun ke kali, titip salam melalui <i>request</i> lagu ke penyiar radio, atau hanya menikmati lagu-lagu 80's sampai 2000-an, sepertinya tak akan nyambung. Dia mungkin lebih familiar dengan lagu-lagunya Adele, sedangkan <i>playlist</i> saya isinya Saras Dewi, Memes, D'Cinnamons, Dewa 19, Scorpions, Bedil & Mawar, dan lagu-lagu jadul lainnya. Dia yang generasi Ardan Radio, sedangkan saya generasi B-Radio.<br />
<br />
Kalau kami dalam perjalanan bersama, bisa-bisa dia mengganti <i>channel</i> yang memutar musik kesukaan saya.<br />
<br />
Jadi salah satu tantangan saya saat membantunya belajar nulis adalah membiarkan dia dengan dunianya dan apa yang mau dia tulis. Saya juga harus mau belajar melihat sesuatu yang selama ini belum saya ketahui. Saat membaca tulisan-tulisannya, saya beberapa kali bengong: "Oh, generasi dia tuh begitu ya." Kami memang sama-sama kuliah di UPI, tapi saya yang generasi 2000-an harus belajar melihat dari sudut pandang generasi 2010-an melihat kampus.<br />
<br />
<i>Awal pertemanan adalah saat saya mulai melihat dunia dari sudut pandangnya, dan dia mulai melihat hidup dari sudut pandang saya. Kami saling menerima cara pandang, dan belajar untuk bisa melihat dari sudut yang sama.</i><br />
<br />
Dia pernah bilang bahwa dia ingin bisa membuat tulisan yang serupa dengan tulisan saya, walaupun sampai saat ini kenyataannya dia belum bisa. Saya tak pernah berharap tulisan kami akan serupa. Saya hanya berharap dia bisa membuat tulisan terbaiknya, sesuai dengan seperti apa dirinya. Biarlah dia pandai menulis esai tentang pemerintahan dan idealismenya, tak perlu menjadi seperti saya yang lebih suka cathar.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfDbsP8rPB-97z4z0psEfeyOyz7HdcsZHtf4xb4lK9p8qQF5Gw_wW3DANvDTV7M9Chgd8tYtBR-BKpoU1l3uRXGM8etBETQE6u3Gdi73-xwL2vrRCSPLIYYhberbv9w45QthAMx8iDU4I/s1600/307935_548341385181321_1584725738_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="484" data-original-width="646" height="239" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfDbsP8rPB-97z4z0psEfeyOyz7HdcsZHtf4xb4lK9p8qQF5Gw_wW3DANvDTV7M9Chgd8tYtBR-BKpoU1l3uRXGM8etBETQE6u3Gdi73-xwL2vrRCSPLIYYhberbv9w45QthAMx8iDU4I/s320/307935_548341385181321_1584725738_n.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Suka kegiatan <i>outdoor</i></td></tr>
</tbody></table>
<br />
Saya lebih menginginkan dia menjadi dirinya sendiri ketimbang mengarahkannya untuk menjadi pantulan atau jiplakan diri saya sendiri.<br />
<br />
Dia punya caranya sendiri untuk bahagia, dan saya pun begitu. Selama ini kami berbahagia dengan cara masing-masing, sampai akhirnya kami melihat sesuatu yang sama-sama kami nikmati: <i>traveling</i>. Pertemanan bukan lagi mempertemukan dua pikiran yang berbeda di pinggir lapangan dan membahas naskah blog, tetapi membawa kami pada perjalanan bersama.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
25 Jumadil Ula 1440</div>
<div>
<br /></div>
Adit Purhttp://www.blogger.com/profile/00532838257863290512noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-19611014587847926552019-01-30T12:15:00.000+07:002019-01-30T17:17:53.745+07:00Sejoli #1: PertemuanD'Massive pernah bilang "Bukan aku yang mencarimu, bukan kamu yang mencari aku.." Ya, kira-kira itulah yang saya alami. Sebelum pertemuan, kami tak pernah saling mencari. Demikian pula setelah melihat wajahnya, tak terpikirkan untuk mencarinya. Saya sebatas tahu bahwa dia sering mondar-mandir di area yang sama tempat kami beraktivitas, dan kami berbeda unit. Dia dengan kesehariannya, dan saya dengan keseharian saya. Rasa-rasanya tak ada irisan antara keseharian kami, itulah sebabnya saya tidak terpikir untuk mengenal dia.<br />
<a name='more'></a><br />
Selain Dia yang Maha Berkehendak, siapa lagi yang bisa melihat masa depan? Saya pun tak bisa menebak apa yang akan terjadi kemudian.<br />
<br />
Sebulan sebelum Pemilu 2014, saya mendapat sebuah SMS yang mengatasnamakan alumni masjid kampus. Tadinya saya mengira itu adalah kerjaan teman saya yang mencalonkan diri menjadi anggota DPD RI (bukan DPRD lho ya!). Lalu setelah saya tanya tentang SMS <i>broadcasted</i> itu, ternyata bukan kerjaan teman saya. Lalu siapa ya? Kok tahu nomor hape saya?<br />
<br />
Rasa penasaran itu membuat saya mencari asal-usul pengirim SMS. Lalu didapatlah sebuah nama, berikut sebuah akun media sosialnya. Beberapa kali saya bingung. Siapa orang ini? Dan apa urusannya dengan saya? Walau ada beberapa <i>mutual friend</i>, saya merasa belum pernah berurusan dengannya baik secara langsung ataupun tidak langsung. Hanya saja dari <i>mutual friend</i> dan beberapa fotonya, saya tahu bahwa kami aktif di lingkungan yang sama.<br />
<br />
Suatu hari, akhirnya saya memberanikan diri untuk mengirim <i>personal message</i> via medsos. Tanpa <i>friend request</i>. <i>Stick to the point</i>, saya hanya mau tahu alasan mendapat SMS <i>broadcasted</i> itu dan dari mana dia mendapatkan nomor saya. Akhirnya jelas sudah, asal-usul SMS <i>broadcasted</i> itu. Selebihnya, saya merasa tidak ada urusan lagi dengannya.<br />
<br />
Hidup terus berjalan. Hari berganti hari. Saat acara Halal bi Halal (silaturahim pasca Idul Fitri), saya mengambil makan siang dan makan bersama beberapa teman di sebuah ruangan (sekre unit). Ada cukup banyak orang yang memilih untuk makan di sana. Karena saking banyaknya orang yang mencari tempat duduk, saya sampai bilang: <i>"Geser atuh teh, ulah ngaheurinan. Aya nu bade ngiring calik. Karunya atuh."</i><br />
<br />
Dia menatap saya tajam, sedangkan saya pergi karena adzan zhuhur sudah menyapa dan saya sudah beres makan. Sepertinya saya salah bicara. Jadi setelah shalat, saya membawakan es krim untuknya. Mudah-mudahan dia memaafkan. Beruntung, di meja hidangan masih ada es krim.<br />
<br />
Bukan kami yang mengatur pertemuan, dan bukan kami pula yang mengatur perkenalan.<br />
<br />
Kami mulai ngobrol, dan berlanjut menjadi teman di media sosial. Saya terkejut karena <i>friend request</i> itu datang dari seorang gadis tak dikenal yang saya bawakan es krim sebagai tanda maaf, yang tak lain ternyata adalah pengirim SMS <i>broadcasted </i>menjelang Pemilu 2014.<br />
<br />
Kami mulai suka chat, seiring ketertarikan dia belajar nulis. "Bagus aja, unik." Begitu katanya yang sampai begadang membaca tulisan-tulisan di blog saya. Mengiyakan kemauannya belajar menulis seperti membiarkannya menyelami hidup saya. Kami mulai bertukar sudut pandang tentang hidup, dan dia senang bercerita banyak. Itulah bahan-bahan tulisannya.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiniFan_Un7pdpfyaatudVMUwGKQErqnLaoCnbRHmJ8-0H2zJGBYqENFzbkr6ATXMgoDsbPORDPErv1ms-7kEPrKQWh_KUXxkZ5fBwFDJBfbYqUr1VpFXwrQtdVfdl9sHVh55Z3OZDDB-o/s1600/315642_288429531172509_630661914_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="327" data-original-width="448" height="233" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiniFan_Un7pdpfyaatudVMUwGKQErqnLaoCnbRHmJ8-0H2zJGBYqENFzbkr6ATXMgoDsbPORDPErv1ms-7kEPrKQWh_KUXxkZ5fBwFDJBfbYqUr1VpFXwrQtdVfdl9sHVh55Z3OZDDB-o/s320/315642_288429531172509_630661914_n.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Dia berkamera di tempat kami beraktivitas</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Saat senja mengabarkan kedatangan malam, selalu ada pertanyaan untuknya: ada cerita apa hari ini? <i>how's the day</i>? yang jawabannya bisa kami bahas sampai menjelang tidur. Sebanyak apa saya bisa menyimak ceritanya adalah sedalam apa saya bisa menerima dia yang begitu adanya. Sebagai guru menulisnya.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
23 Jumadil Ula 1440</div>
<div>
<br /></div>
Adit Purhttp://www.blogger.com/profile/00532838257863290512noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-227768098458079272018-07-09T14:29:00.000+07:002018-07-09T14:30:38.084+07:00Membangun SuasanaDulu saat masih bujangan, sebagai orang yang ingin merdeka tetapi susah diam, saya ikut aktif di himpunan dengan cara yang tidak biasa. Ikut berkegiatan tanpa mau masuk ke struktural. Itu karena saya beranggapan bisa berkontribusi tanpa harus terikat dengan etika keorganisasian, dan kabar baiknya adalah dosen pun tahu apa yang saya hasilkan. Saat itu bagi saya pribadi ini bukan tentang keanggotaan resmi sebagai pengurus, tapi tentang sinergis sebagai warga yang ingin suasana di kampusnya kondusif.<br />
<a name='more'></a><br />
Saat organisasi himpunan ini berjalan, rasanya ada yang berubah. Seperti mulai ada pengkotak-kotakkan komunitas. Mulai dari komunitas departemen-departemen himpunan, status himpunan-non himpunan, sampai senior-junior. Di luar status pengurus himpunan, saya membantu teman-teman di himpunan untuk urusan media, dan selebihnya saya kembali kepada passion di kampus: sepakbola.<br />
<br />
Awalnya saya beranggapan perubahan suasana ini sebatas dinamika warga yang membentuk kelompok-kelompok baru berdasarkan kegiatan mereka masing-masing. Itu sih wajar. Namun saat saya mencari beberapa orang, kok orang yang saya cari itu sangat jarang terlihat di kampus? Saya mulai merasa bahwa kampus itu lebih menjadi markasnya orang-orang himpunan. Itu tidak salah, tapi seolah-olah ada efek terpinggirkannya orang-orang non himpunan.<br />
<br />
Sebagai orang non himpunan, saya pun sadar merasa lebih diacuhkan oleh teman-teman yang himpunan. Wajar lah, toh mereka memang punya kegiatan yang diprogramkan, sedangkan saya orientasinya kepada penjadwalan main bola, desain, dagang, kuliah, 2 orang kecengan, dan belajar. Jadi, saya pun tidak bisa serta-merta menyalahkan sebagian orang atas suasana terpinggirkannya yang sebagian lain.<br />
<br />
Itu bukan keadaan yang disengaja.<br />
<br />
Setelah generasi kami pensiun dari kepengurusan himpunan, saya baru menyadari bahwa itu adalah sebuah (mungkin salah satu) efek dari fokusnya teman-teman yang bekerja untuk menjalankan program-program himpunan. Saat melihat mereka bekerja tanpa pamrih untuk himpunan, saya kagum. Tepi ka aya awewe nu beungeutna caludih, guladig, dan bau kesang. Kalau yang laki-laki mah itu sudah sangat wajar. Itu bukti keseriusan mereka.<br />
<br />
Saya mulai berpikir bahwa saat kita berada dalam sebuah mesin organisasi, kita mendapat sebuah sudut pandang dari dasbor yang berisikan indikator-indikator dan perangkat kendali. Kita sebatas melihat bagaimana organisasi ini berjalan, tetapi tidak melihat jejaknya. Melihat bahwa kegiatan-kegiatan bisa diselenggarakan, tetapi tidak melihat apa efeknya.<br />
<br />
Jeleknya saya (dulu) saat dibajak dari kampus dan Salman ITB ke Baitul Hikmah adalah belum terpikirkan tentang efek sosial ini. Saya baru sampai berpikir bagaimana agar orang-orang yang baru belajar tentang Islam bisa mau ikut ngumpul di masjid. Karena saat itu ada anggapan bahwa yang berhak ngumpul berkegiatan di masjid hanyalah mereka yang sudah seperti aktivis dakwah kampus. Ini sangat sensitif bagi kaum hawa, karena saat itu masih banyak yang aslinya belum berkerudung. Isu-isu semacam itu membuat mereka merasa ditolak di masjid.<br />
<br />
Ini seperti ujian mental juga. Dulu saat jadi ketua P3R, siang hari pernah mengambil uang ke rumah bendahara. Di rumahnya, saya bertemu dengan teteh bendahara yang masih mengenakan gaun tidur (model bahu terbuka). Siang hari memang panas, bahkan di dalam ruangan yang teduh pun ternyata bisa panas. Kita seperti bertaruh keputusan, mau bersikap seperti apa? Taruhannya adalah dia, dan targetnya adalah dia tetap nyaman untuk ke masjid.<br />
<br />
Fathu Makkah itu bukan menyingkirkan para musuh kaum muslimin untuk keluar dari Mekkah, tetapi membuat semua warga Mekkah memilih untuk menjadi bagian dari kaum muslimin. Jadi, memperlakukan teteh ini adalah tentang bagaimana membuat orang-orang untuk merasa diterima dan nyaman di masjid. Itu dulu saja.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgakIORUgK60Kx7yrkNH8BSEVVDHMgi2Rga5R6Jo13beWKDI96NV15AvkVeouWGFp1WWWtrqUwTkrXZ3WsTU0UeZKBNRTCtKkZ3edb2nA7sQJsLjWluALukJDf1te7QBLNxTjbqri915VA/s1600/makan+pagi.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="426" data-original-width="640" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgakIORUgK60Kx7yrkNH8BSEVVDHMgi2Rga5R6Jo13beWKDI96NV15AvkVeouWGFp1WWWtrqUwTkrXZ3WsTU0UeZKBNRTCtKkZ3edb2nA7sQJsLjWluALukJDf1te7QBLNxTjbqri915VA/s320/makan+pagi.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Sarapan, untuk memuliakan jamaah kajian ba'da shubuh</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Program kerja memang penting, tetapi membangun suasana yang membuat orang betah ke masjid pun tidak kalah pentingnya. Pelajaran organisasinya adalah saat saya menjadi pihak yang menjalankan program, saya pun harus membuat orang-orang non pengurus merasa diterima, dinyamankan, dihargai, merasa sama-sama jamaah masjid yang ingin mendapat kebaikan dari shalat berjamaah. Bukan menjadi seperti robot pegawai yang hanya fokus untuk menjalankan kegiatan dan mengistimewakan diri sebagai orang yang paling berhak menikmati fasilitas masjid.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
25 Syawal 1439</div>
Adit Purhttp://www.blogger.com/profile/00532838257863290512noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-60104696198550024492018-04-11T12:51:00.001+07:002018-04-11T12:59:31.430+07:00Jogokarian #3: Manajemen Jamaah ep.2 (habis)Saya membayangkan sebuah alur berpikir dalam merawat komunitas. Mulai dari orang-orang di dalamnya, dan bagaimana agar orang-orang tersebut bisa betah di masjid ini. Begitu saja, sederhana. Namun bila pola berpikir ini bisa diterapkan dengan baik dalam pengelolaan jama'ah, saya kira -sunnatullahnya- akan membuat masjid ini digandrungi oleh 5 klasifikasi yang disebutkan pada <a href="http://aditsnote.blogspot.co.id/2017/09/jogokarian-2-manajemen-jamaah.html">tulisan sebelumnya</a>.<br />
<br />
Ini tentang 'pendekatan' yang dilakukan manajemen Jogokarian kepada warga.<br />
<br />
Mas Krisna (warga Jogokarian) pernah bercerita bahwa dulunya Masjid Jogokarian tidak berada di tempat yang sekarang, tetapi agak masuk daerah jalan yang lebih sempit. Bukan di samping jalan utama kampung. Manajemen masjid berpendapat bahwa itu kurang bagus untuk kejamaahan, kesannya kurang terbuka. Bayangkan saja bila mall terletak di tengah-tengah komplek perumahan, bukan di pinggir jalan raya. Maka dengan segala upaya, masjid berpindah ke tempat yang lebih strategis untuk sebuah kampung. Kades, ketua RW, dan ketua RT berperan penting dalam memindahkan masjid ke tempat yang lebih mudah diakses.<br />
<br />
Setelah itu, manajemen mulai menjalankan gagasan berikutnya: pendataan. Ini bagian yang terkenal di blog-blog. Mas Krisna sendiri menyebutnya dengan sensus warga yang bertujuan untuk mendapatkan data-data perihal jama'ah. Hebatnya, data sensus ini lebih lengkap dari sensus penduduknya BPS, sehingga melalui sensus jamaah ini manajemen Jogokarian bisa mengetahui mustahik zakat, demografis, profil warga, dll. Data-data inilah yang kemudian dijadikan sebagai peta da'wah Jogokarian.<br />
<br />
Data tersebut kemudian diolah menjadi pengareaan jamaah. Tujuannya untuk penempatan 'utusan' dan program da'wah yang dijalankan. Kabarnya, Ustadz Salim A. Fillah dulunya adalah salah seorang yang ditempatkan di area merah (awam tentang ajaran Islam) agar bisa membina area tersebut. Perlahan tapi pasti, orang-orang yang awam di daerah tersebut kian tertarik untuk belajar Islam ke Rumah Belajar yang dibuka oleh Ust.Salim. Warga di area merah ini mulai berubah, mereka semakin percaya diri untuk ke masjid.<br />
<br />
Selanjutnya, bagaimana membuat jama'ah menjadi senang ke Jogokarian?<br />
<br />
Selain karena kemauan warga, Jogokarian memiliki daya tarik lain. Ada tembok yang bisa menjadi tempat <i>selfie</i>, jalur untuk kursi roda, klinik, angkringan, penginapan, sampai tetangga masjid yang merupakan rumah usaha.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_wIvQuYjDSkz11nwxsOla3D6dtaqrOj8eRClqFpkcb9NpzPjSJmT1MVQXMwgDpHsczhPdV6TFDTcczbalVCehXtqwC0f36og3-Zfna9uVmnmB2rZ_Egg38QJS7pYVZVJuWfdIUofOXyc/s1600/angkringan.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="427" data-original-width="640" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_wIvQuYjDSkz11nwxsOla3D6dtaqrOj8eRClqFpkcb9NpzPjSJmT1MVQXMwgDpHsczhPdV6TFDTcczbalVCehXtqwC0f36og3-Zfna9uVmnmB2rZ_Egg38QJS7pYVZVJuWfdIUofOXyc/s320/angkringan.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Angkringan di Jogokarian*</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Saya sendiri sempat mencicipi angkringan yang terkenal dengan gratisannya. Bila sedang beruntung, pengunjung tak perlu membayar jajanan yang dimakan. Dalam sehari, biasanya ada pengunjung yang datang dan jajan, lalu membayar lebih. Ada yang membayar 50 ribu, ada juga yang sampai 200 ribu, padahal hanya jajan senilai 10 ribu. Sisanya dipakai untuk gratis jajan sampai senilai dengan uang kembalian. Tak heran bila angkringan ini tak pernah sepi. Kenangan tiba-tiba mendapat rezeki membuat orang tertarik untuk berkunjung lagi. Setidaknya ke angkringan, namun bila saat adzan masih tetap ngangkring, malu lah!<br />
<br />
Keunikan ini membuat Jogokarian bukan hanya menjadi sebuah masjid, tetapi juga sebuah pusat aktivitas sehari-hari.<br />
<br />
Selesai di angkringan, saya bertemu dengan seorang tukang pijat. Dia ditangkan dari luar Yogyakarta untuk memijat tamu penginapan yang berasal dari Bogor. Ada 2 orang dari luar Yogyakarta bertemu di tempat ini, itu menunjukkan masjid ini bisa menjadi <i>meeting point</i>. Kiranya kita sama-sama tahu, tempat yang bisa dijadikan <i>meeting point</i> setidaknya harus nyaman untuk lebih dari sekadar tempat singgah.<br />
<br />
Ya, nyaman. Akhirnya saya terpikirkan kata "nyaman" sebagai alasan kenapa orang bisa betah di Jogokarian, dan membuat mereka datang kembali. Itulah cara maintenance komunitasnya.<br />
<br />
Bagaimana dengan anak-anak? Sebelum iqamah isya, saya menemukan seorang pemuda yang sedang bermain dengan anak-anak di selasar selatan masjid. Mereka terlihat ceria dengan permainan itu (yang biasanya di masjid lain membuat para sepuh terusik karena keributannya). Saat iqamah berkumandang, kakak pengasuh tadi segera memasuki ruangan utama. Siapa sangka, ternyata dialah imam shalat berjamaahnya.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgA5zl5WEMJ9H2I7FW3FP5ZYx4EgQC70wMBv-9q3s6ppsOJ5KzoY8xiPgtREuKJ2CNZyIuD_orJVf3OTL9w0QwCaf5UHYrBZvrAdghTg1EQgJDQVl_ah2kClKu8Fci3yHihjfzcJXYg1u0/s1600/anak-anak+jogokarian.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="426" data-original-width="640" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgA5zl5WEMJ9H2I7FW3FP5ZYx4EgQC70wMBv-9q3s6ppsOJ5KzoY8xiPgtREuKJ2CNZyIuD_orJVf3OTL9w0QwCaf5UHYrBZvrAdghTg1EQgJDQVl_ah2kClKu8Fci3yHihjfzcJXYg1u0/s320/anak-anak+jogokarian.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Keceriaan anak-anak di Masjid Jogokarian*</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Di Jogokarian, anak-anak dibuat ceria. Wajarlah bila setelah dewasa (seperti generasi Mas Krisna) mereka senang ke masjid. "Di sini (Jogokarian) punya kenangan indah." Begitu katanya.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
24 Rajab 1439</div>
<div>
<br />
<i><span style="font-size: x-small;">*gambar didapat melalui google</span></i></div>
Adit Purhttp://www.blogger.com/profile/00532838257863290512noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-87146473116979805942017-09-18T17:38:00.001+07:002017-09-18T17:47:25.970+07:00Anak (Psikologis)Bekerja di sekolah nyatanya membuat mata saya lebih terbuka tentang identitas anak. Selain karena sebuah kolom status 'Anak Angkat' pada lembar identitas siswa, saya juga dipertemukan dengan anak-anak yang entah sosok orang tuanya ke mana. Ya, sosoknya. Figurnya. Bukan badan dan kulit wajahnya.<br />
<a name='more'></a><br />
Di mata saya, mereka adalah anak-anak yang mengagumkan. Di balik tingkah nakalnya (menurut kebanyakan orang tua dan guru), mereka adalah anak-anak yang penuh semangat dan ingin rasanya menyebut mereka sebagai survivor yang harus sanggup menghadapi tantangan hidup di zaman yang lebih minim pendampingan walinya. <br />
<br />
Salah satu hal yang paling membuat saya terenyuh adalah sampai ada anak yang minta dipeluk dan ingin digendong. Awalnya saya berpikir: kok bisa? Bagaimanapun juga, mereka adalah anak kandung orangtuanya. Sedangkan saya hanya guru di tempat mereka bersekolah. Dalam bahasa para praktisi Psikologi, anak-anak seperti itulah yang disebut <i>fatherless</i>. Mereka punya orang tua kandung, dihidupi oleh orang tua kandung, tetapi tanpa didampingi orang tua kandungnya.<br />
<br />
Saya belum mau menyalahkan orang tua mereka, karena kita juga hidup di zaman profesionalisme yang meminta pengorbanan waktu, pikiran, dan perasaan untuk keluarga.<br />
<br />
Mereka adalah anak-anak saya? Iya, anak didik. Sama halnya seperti saat lulus SMA dulu wali kelas saya pernah girang "Wah.. anak urang katarima kuliah di kampus negeri!!!" Atau mungkin anak asuh. Seperti saat saya (dan teman satu geng di SMA) punya adik kelas yang orang tuanya <i>bageur pisan</i> sampai ngasih makan dan numpang tinggal. Ada lagi yang lebih parah, teman saya pernah bilang: <i>"Naha nya boga pelatih futsal teh asa leuwih karasa jadi bapa tibatan bapa kandung sorangan?"</i><br />
<br />
Itu anak dan orang tua. Ada lagi yang lebih dari itu. Saya dianggap sebagai cucu gara-gara aktif di masjid. Walaupun nenek-kakek kandung saya sudah tiada, ternyata masjid mampu memberikan saya nenek baru.<br />
<br />
Pepatah bilang: <i>"Like father like son"</i>. Bagian yang ini mungkin membuat saya disebut pembangkang. Jujur, saya sering membisu bila ada acara kumpul keluarga lantaran merasa asing sendiri. Orang tua dan kakak saya berkarir di bidang IPS, sedangkan saya memilih IPA. Keluarga mengajarkan untuk shalat berjamaah di rumah, sedangkan saya suka minggat untuk shalat berjamaah di masjid. Saya menjadi satu-satunya anak yang aktif di masjid dan mengikuti kursus Tahsin, sampai-sampai bibi menyebut Pak Ustadz. Seterhormat-terhormatnya sebutan "Ustadz", itu pekerjaan yang tak ada dalam 3 generasi terakhir keluarga kami. Itu cukup untuk membuat saya berpikir:<i> ari urang teh sabenerna anak saha?</i><br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPDb9GtGtD7YznSxbHBa7yGYpEDLQXjtYvh3ixX9GN4wkFK0fVy7aHWQagWAoHOD7JroJHFzl3bYlgeQmglNddxzeFHkjEpUa2taRn5CIsQTjBceHjDEzLJXT1Jrj3kXJVbMu0ntOqe4E/s1600/cesare+n+paolo.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="336" data-original-width="365" height="294" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPDb9GtGtD7YznSxbHBa7yGYpEDLQXjtYvh3ixX9GN4wkFK0fVy7aHWQagWAoHOD7JroJHFzl3bYlgeQmglNddxzeFHkjEpUa2taRn5CIsQTjBceHjDEzLJXT1Jrj3kXJVbMu0ntOqe4E/s320/cesare+n+paolo.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Paolo-Cesare, anak-ayah yang menjadi legenda Milan</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Menjelang peran sebagai ayah, saya lebih banyak merenung. Yang ringan-ringan dulu saja. Selama ini yang mengajarkan saya untuk pandai mengaji dan berusaha shalat berjamaah di masjid adalah orang lain, bukan orang tua. Inginnya, untuk dua hal ini, sayalah yang lebih mengajarkan kepada anak.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
27 Zulhijjah 1439 H</div>
<div>
<br /></div>
Adit Purhttp://www.blogger.com/profile/00532838257863290512noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-42310973901785546502017-09-04T11:30:00.000+07:002018-04-11T13:00:42.601+07:00Jogokarian #2: Manajemen Jamaah ep.1Sepekan sebelum merencanakan ke Jogja, saya sudah bilang pada teman traveling (istri) perihal alasan memilih Jogokarian sebagai tempat persinggahan di Jogja. Iistri saya pun memahami niat itu, dan segera mengontak teman (sesama relawan yang berasal dari Jogokarian) perihal rencana kedatangan kami.<br />
<a name='more'></a><br />
Apa yang membuat masjid jami yang satu ini dipandang istimewa? salah satunya (dan yang paling dikenal) adalah bagaimana masjid ini mampu mengelola jamaah sekitarnya sehingga semua shaf terisi penuh saat shalat berjamaah. Terutama di waktu-waktu krusial: isya dan shubuh. Disebut istimewa karena perbandingannya adalah masjid-masjid lain yang isya dan shubuh berjamaahnya hanya tersisi 1 sampai 3 shaf. Saya juga mengetahui upaya-upaya masjid lain dalam memperpenuh shaf, namun belum cukup maksimal. Belum seberhasil Jogokarian.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8oUyhqlup4ZxGsSrwlArxWh0z-peJw2zR7NmB9V3d0kuU-HpnHk7f2gCtpDXJrkLDBc5h9D1GD7CiYAt_fttid8NpsZeB8L1neMGcwCNFz6kJPfo32xVqZvuRVY9se6Yl8Kno5F8TPFo/s1600/20170107_043143.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="384" data-original-width="640" height="192" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8oUyhqlup4ZxGsSrwlArxWh0z-peJw2zR7NmB9V3d0kuU-HpnHk7f2gCtpDXJrkLDBc5h9D1GD7CiYAt_fttid8NpsZeB8L1neMGcwCNFz6kJPfo32xVqZvuRVY9se6Yl8Kno5F8TPFo/s320/20170107_043143.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Selasar Utara sampai terisi jamaah shalat</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Sebagai alumni kuliah bidang sosial, saya duduk di samping halaman masjid sambil memperhatikan orang-orang yang datang dan pergi. Tujuannya hanya ingin tahu siapa saja yang memenuhi shaf di masjid ini. Sambil menikmati hidangan angkringan yang mangkal di samping timur area Masjid Jogokarian, saya membuat klasifikasi bahwa jamaah Jogokarian terdiri dari: warga dekat masjid, orang-orang yang pulang kerja lalu numpang shalat, musafir yang ingin ke Jogokarian, mahasiswa-mahasiswi yang ikut aktif di Jogokarian, dan wisatawan Jogja (seperti kami).<br />
<br />
<b>A. Warga dekat masjid</b><br />
Sangat mudah untuk membedakan antara warga asli dengan pendatang. Warga asli dekat masjid biasanya berjalan kaki, lalu pulang ke berbagai arah (bukan naik tangga ke arah penginapan Jogokarian). Mereka terlihat mengenakan pakaian santai ala shalat berjamaah. Beberapa dari mereka biasanya berkumpul dahulu untuk ngobrol, sambil menunggu teman pulang.<br />
<br />
<b>B. Penumpang shalat</b><br />
Para pekerja yang baru pulang umumnya memiliki pakaian yang khas: kemeja rapi, bersepatu, membawa tas, berkendaraan. Di angkringan, kami bertemu dengan mas-mas yang baru pulang kerja dan sama-sama menyantap hidangan malam berbayar. Di angkringan ini juga kami sempat bertemu dengan pencari nafkah lain yang didatangkan khusus untuk memberikan layanan pijat kepada jamaah kategori berikutnya.<br />
<br />
<b>C. Tamu Jogokarian</b><br />
Mbah pijat di angkringan tengah menunggu tamu Jogokarian yang berasal dari Bogor. Saya terkejut dengan cerita beliau, karena ternyata tamu tersebut sekeluarga jauh-jauh datang dari Bogor karena ingin berwisata religi di Jogokarian. Sebagai tamu yang sudah lansia, layanan pijat sudah seperti kebutuhannya.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpDm6QA82aorF-Ofk6d0KiqiZlJb7CGoAtuJZhsdjmuICvZK_CObAczH-iO1Tk6Ag1dTEfvGBdHZTyfdToJZ2-CL5Jwugjvw3jotJrJywwY2F9MC_BbDfZ7yC1q5aFurn5-fqvFtdLAmU/s1600/20170106_195252.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="384" data-original-width="640" height="192" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpDm6QA82aorF-Ofk6d0KiqiZlJb7CGoAtuJZhsdjmuICvZK_CObAczH-iO1Tk6Ag1dTEfvGBdHZTyfdToJZ2-CL5Jwugjvw3jotJrJywwY2F9MC_BbDfZ7yC1q5aFurn5-fqvFtdLAmU/s320/20170106_195252.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Angkringan Jogokarian</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<b>D. Mahasiswa-mahasiswi</b><br />
Awalnya saya berpikir bahwa jamaah yang berjaket himpunan adalah warga jogokarian yang masih kuliah. Namun saat dhuha, saya kembali menemukan pemakai jaket himpunan, dan mereka berkelompok. Pandangan saya tertuju pada sebuah pintu tempat mereka keluar, yang ternyata adalah klinik (berbasis masjid).<br />
<br />
<b>E. Wisatawan</b><br />
Sudah jelas. Karena kami berdua sebenarnya adalah wisatawan yang sedari awal ingin kencan romantis di Jogja. Jogokarian memiliki penginapan sederhana, cocok bagi kami yang selepas isya berjalan menuju alun-alun dan menikmati suasana.<br />
<br />
Selain kelima kategori tersebut, mungkin masih ada kategori lain yang belum terbaca oleh saya. <i>Da aku mah apa atuh?! Segini juga udah uyuhan! </i>Bagi saya pribadi, ini adalah pemetaan yang bisa digunakan untuk menentukan strategi manajemen masjid. Saya teringat, di RW kami ada salah satu warga yang memilih untuk shalat di masjid yang lebih jauh karena dia merasa masjid yang dekat rumahnya dikuasai golongan tertentu. Kira-kira, itulah pentingnya membuat pemetaan jamaah sebelum membuat strategi manajemen (dan akhirnya menyusun-menjalankan program).<br />
<br />
Pada catatan ini, saya baru menulis tentang pemetaan jamaah. Jadi, bahasan tentang manajemen jamaah ini akan saya tuntaskan di episode selanjutnya.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
13 Zulhijjah 1438</div>
<br />Adit Purhttp://www.blogger.com/profile/00532838257863290512noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-67269342230696378132017-05-11T17:48:00.000+07:002018-04-11T13:00:31.315+07:00Jogokariyan #1: Kesan PertamaHingar-bingar dunia maya membuat saya terngiang nama Jogokariyan, sebuah masjid warga yang barisan shalat shubuhnya penuh. Itu hal yang mengagumkan bagi seorang pemuda ingusan -seperti saya- yang biasa menemukan jumlah barisan shalat shubuh berjamaah hanya kisaran satu sampai dua barisan, itu pun kadang belum penuh. Akhirnya nama Jogokariyan teringat begitu tahu Jogja menjadi tujuan singgah kami yang sedang dalam perjalanan dari Wonogiri menuju Purworejo.<br />
<a name='more'></a><br />
Langit semakin menggelap, menelan lembayung. Suara salam baru saja terdengar saat saya melihat sebuah gedung bernama Masjid Jogokariyan. Shalat maghrib berjamaah baru saja selesai. Dalam keheningan doa selepas shalat berjamaah, lampu marka jalan berkedip-kedip. Tepat di samping area Masjid warga yang satu ini. Sejenak saya perhatikan ukuran Jalan Jogokariyan dan lalu lintasnya, sepertinya ini adalah jalan protokol perumahan. Mirip dengan Jalan Gegerkalong Hilir atau Jalan Pelesiran (di Bandung), daerah yang sering dilalui kendaraan berkecepatan sedang. Mungkin itu gunanya lampu marka jalan. Mengingat banyaknya jamaah yang berlalu-lalang dari masjid ke tujuannya masing-masing, kiranya perlu ada satu upaya standar keselamatan.<br />
<br />
<b>Catatan pertama: manajemen masjid sampai sebegitunya memperhatikan keselamatan jamaah.</b><br />
<br />
Tepat berada di depan halaman masjid, saya disuguhi pemandangan area parkir yang luasnya cukup untuk anak-anak bermain bola. Parkiran cukup sesak dijejali oleh kendaraan jamaah yang terdiri dari warga dan karyawan yang sekadar numpang shalat. Parkir kendaraan diatur sedemikian rupa, sehingga terlihat rapi. Efisien dalam penggunaan lahan, dan efektif untuk keluar-masuk kendaraan. Kira-kira itulah tugas juru parkir. Walau di lain kesempatan, saya juga memergoki Mas Jukir (juru parkir) sedang membantu mobil tamu yang singgah agar tidak menyebabkan kemacetan di sekitar masjid.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFKdynap7eBhJxCmpRBoUVb1paO08nT3Jo5q1LbI3NaofL_o2RFJERT2XmaBE9to_HBiqcsGuNYyIoudkGleIPVaDWs9zplgPFuQIZFdzAkLR0s9UkCf58acyYzo7WthkyY41ras3KSBll/s1600/Mas+Jukir.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="214" data-original-width="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFKdynap7eBhJxCmpRBoUVb1paO08nT3Jo5q1LbI3NaofL_o2RFJERT2XmaBE9to_HBiqcsGuNYyIoudkGleIPVaDWs9zplgPFuQIZFdzAkLR0s9UkCf58acyYzo7WthkyY41ras3KSBll/s1600/Mas+Jukir.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Mas Jukir dengan tongkat lampunya</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
Bisakah dibayangkan bagaimana sebuah masjid sampai memiliki juru parkir untuk membantu mentertibkan kendaraan? Dari sekian banyak hal yang terjadi di Masjid Jogokariyan, setidaknya ketertiban dimulai dari hal paling pertama: kedatangan. Datang (lalu parkir) dengan tertib, dan akhirnya pulang (dari parkiran) dengan tertib.<br />
<br />
<b>Catatan kedua: manajemen masjid <i>concern</i> dengan ketertiban.</b><br />
<br />
Sebagai pendatang yang baru sampai, saya berkepentingan untuk sejenak istirahat dan menghilangkan keringat sebelum shalat maghrib. Selain memiliki sekretariat, Masjid Jogokariyan juga memiliki penginapan. Itu sangat membantu bagi kami yang memang berniat melewati semalam di Jogokariyan, sekalian merasakan bagaimana isya dan shubuh berjamaah yang seluruh shafnya penuh.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiTO7jUEHqV3fTDTrSxNu7fWiS1g4uNp-gdqjkF2LdupMWWZ9Pixe0CPcclkExplnJ0H53w4x6w3Q8Ur6l5IyGp4wique0CzzxL5iCybWRgaVuPEAlBazp05HbNAOvWQWCBqt5bYckWRQ/s1600/20170107_081225.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiTO7jUEHqV3fTDTrSxNu7fWiS1g4uNp-gdqjkF2LdupMWWZ9Pixe0CPcclkExplnJ0H53w4x6w3Q8Ur6l5IyGp4wique0CzzxL5iCybWRgaVuPEAlBazp05HbNAOvWQWCBqt5bYckWRQ/s320/20170107_081225.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Kunci ruang penginapan</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Terlepas dari penuhnya shaf shalat berjamaah (yang idealnya diisi oleh warga asli daerah Jogokariyan), keberadaan penginapan memberikan kesan bahwa masjid ini menerima pendatang dari luar. Ya, pendatang seperti mendapatkan kesempatan merasakan bagaimana menjadi warga Jogokariyan yang shalat di masjid dekat rumahnya.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVKsh7v_QRGTcBlQU0tsbRZkrrBFFhekiZ5LIjWbSJv9jEvQHmL8CsEQYNdt9DVCPozmtkvSF_24B3Dr16tZlo2dSUqTOCpgbA4Hnb1JDy6UUfrNGEYcRZvCp6MVnX02kKlzLHF_ZV0RI/s1600/20170107_081245.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVKsh7v_QRGTcBlQU0tsbRZkrrBFFhekiZ5LIjWbSJv9jEvQHmL8CsEQYNdt9DVCPozmtkvSF_24B3Dr16tZlo2dSUqTOCpgbA4Hnb1JDy6UUfrNGEYcRZvCp6MVnX02kKlzLHF_ZV0RI/s320/20170107_081245.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Nama pewakaf diabadikan menjadi nama ruangan</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Saya yang menginap di weekday awal tahun 2017, ternyata bukanlah satu-satunya penginap. Pengurus penginapan sempat membuka data untuk mencari kamar yang kosong. Itu berarti penginapan Jogokarian cukup terisi meski sedang weekday. Untungnya kami sempat memesan kamar beberapa hari sebelum kedatangan. Silahkan perkirakan sendiri, seberapa banyak peminat penginapan Jogokarian ini.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlaSgDuDVacpL4hSM1PFmSNN8R2NwqjPQ3XlyGfsjykz2Xw7w2r4cCVNLL_9fCf42YpxvnxYeWe2p2oltP5wnM6rjxP0rGqVLSr36Co29zRuPHNwPNPXOutUJRak_hfY550b8Qpp1mAEw/s1600/20170112_124943.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="212" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlaSgDuDVacpL4hSM1PFmSNN8R2NwqjPQ3XlyGfsjykz2Xw7w2r4cCVNLL_9fCf42YpxvnxYeWe2p2oltP5wnM6rjxP0rGqVLSr36Co29zRuPHNwPNPXOutUJRak_hfY550b8Qpp1mAEw/s320/20170112_124943.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Administrasi menginap</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Mumpung menginap, ini menjadi kesempatan besar untuk mengenal Jogokariyan lebih dekat.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
15 Sya'ban 1438</div>
<div>
<br /></div>
Adit Purhttp://www.blogger.com/profile/00532838257863290512noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-50891788756176656962017-05-03T10:17:00.003+07:002017-05-10T11:25:43.228+07:00Melawan Wajah SendiriSuatu hari, ada seorang wanita berusia cukup tua yang datang meminta saya untuk mengajarinya mengaji. Beliau bercerita tentang kelompok mengaji sebelumnya, yang disebut-sebut tidak membuatnya betah. "Cara berbahasa pengajarnya tak enak. Niatnya benar, tapi caranya ngomongnya bikin kesal." Begitu kata beliau. Atas alasan itulah beliau ingin mendapatkan guru mengaji yang baru. Guru mengaji yang cara mengajarnya lebih enak, dan bisa diterima oleh wanita usia bijak.<br />
<a name='more'></a><br />
Di lain kesempatan, saya juga teringat dengan apa kata orang mengenai beliau. Kurang lebih, sama seperti cerita beliau tentang guru mengaji di kelompok sebelumnya. Beliau orang berpendidikan, berasal dari keluarga berada, dan punya banyak pengalaman hidup. Demikian pula guru mengaji di kelompok sebelumnya, beliau menceritakan bahwa guru mengaji di kelompok tersebut adalah seorang wanita yang berpendidikan, berasal dari keluarga berada, dan punya banyak pengalaman hidup. Kalau disebut punya banyak pengalaman hidup, ya jelas lah. Usianya sudah cukup senja.<br />
<br />
Saya berdiam cukup lama untuk bisa memutuskan apakah akan mengajar beliau atau tidak. Saya tahu betul bahwa beliau memiliki niat yang baik untuk belajar. Tetapi pada sisi lain, saya pun ragu lantaran niat baik saja tidak cukup. Seperti guru mengaji beliau sebelumnya, niat baik untuk mengajarkan al-Qur'an saja tidak cukup. Perlu cara yang baik pula. Saya masih merasa bahwa beliau pun seperti guru mengaji yang beliau ceritakan. Saya masih ingin melihat lebih jauh, apakah beliau benar-benar ingin belajar untuk memperbaiki diri, atau ingin dinyamankan. Kalau beliau sebenarnya bukan ingin belajar untuk memperbaiki diri, itu di luar kemampuan mengajar saya yang ala kadarnya.<br />
<br />
Catatan saya: ada orang yang suka berkelit apabila ditunjukkan dan dijelaskan kesalahannya, walaupun bilang ingin belajar. Orang seperti inilah yang sebenarnya bukan ingin belajar untuk memperbaiki diri. Pada satu sisi, inilah yang saya sukai dari belajar membaca Qur'an. Latihan memperbaiki bacaan, sebenarnya adalah latihan untuk memperbaiki hidup sendiri. Karena saat saya berusaha memperbaiki bacaan, pola hidup pun harus saya perbaiki. Dan ternyata, orang lain pun demikian. Apa yang mau diperbaiki, apabila kesalahan yang kita ketahui saja, tetap tidak kita akui dan kita terima dengan rendah hati?<br />
<br />
Kalau hanya kaidah panjang dan pendek harakat yang sudah diajarkan sejak SMP saja sebegitunya dilabrak, bagaimana dengan hal-hal dalam hidup? Kalau hanya membaca yang satu baris saja saya sudah tidak tertib untuk mengikuti kaidah, bagaimana dalam menjalani hidup? Saya tak perlu cerita banyak tentang sulitnya negeri ini untuk bebas sampah berserakan, atau sulitnya orang-orang di negeri ini (yang disebut berpendidikan) untuk tertib.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_NIcLK9qd64MLcDSXoaseuDAXv0Xo9vwPMsSlge5dd1aIXAQSMF37EouqiAwPG8bxjRDFc-OlyyvpvnCCqxLKJsYv9AQNhPaEOmezhfNCkl7yN2PGI1xbB8DbEK-YXqt5IYnnTT1_kXGV/s1600/Ngaos.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_NIcLK9qd64MLcDSXoaseuDAXv0Xo9vwPMsSlge5dd1aIXAQSMF37EouqiAwPG8bxjRDFc-OlyyvpvnCCqxLKJsYv9AQNhPaEOmezhfNCkl7yN2PGI1xbB8DbEK-YXqt5IYnnTT1_kXGV/s320/Ngaos.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Seni memperbaiki hidup</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Selama berdiam, saya beberapa kali geleng-geleng kepala. <i>Saruana atuh da</i>. <i>Jelema nu diomongkeun jiga kitu, nu ngomongkeun sarua jiga kitu</i>. Mirip maling teriak maling. Setidaknya seperti maling yang bersuara menginginkan kebaikan dan keadilan lantaran menjadi korban sesama maling.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
6 Sya'ban 1438</div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
Adit Puranahttp://www.blogger.com/profile/05973687161754216275noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-57315065883156956172016-05-02T18:01:00.000+07:002017-05-10T10:57:51.797+07:00Memilih Takdir"Mulai dari nol ya, Mas."<br />
<br />
Begitulah kata Si Mbak sambil tersenyum. Berusaha meyakinkan saya bahwa dia bisa dipercaya dan angkanya benar-benar dari nol. Ya, angka nol sebagai permulaan. Sebagaimana pelajaran matematika di SD, bahwa tiap angka bermula dari nol, dan ukuran-ukuran pun dimulainya dari nol. Seperti di penggaris, timbangan, termometer, dll. Jadi kalau mulai mengukur, awalnya adalah nol.<br />
<a name='more'></a><br />
Itu di matematika, dan entah dari mana sebutan: memulai kembali hidup dari nol. "Udah lah. Yang udah terjadi mah biar aja berlalu. Sekarang kita lihat masa depan aja, ngebangun lagi hidup kita. Mulai dari nol. Tiap orang pernah gagal kok!" Kakak kelas saya pernah mengatakan itu saat saya gagal di Olimpiade Biologi 2003. Sebelumnya juga pernah mendengar yang serupa. "Gagal. Mulai lagi dari awal aja." Gara-gara karya saya sangat jelek dan kertasnya sudah tidak layak digunakan kembali.<br />
<br />
Kalau saya menggambar, kemudian banyak menghapus, dan hasilnya jelek, idealnya memang pindah ke kertas yang baru. Itu pilihan cerdas yang sudah tak lagi terbantahkan untuk mendapatkan hasil terbaik yang paling bersih. Selebihnya, sebutan "Mulai dari nol" sering terdengar, sampai-sampai saya kerap mengatakan itu pada diri saya sendiri. Bukan karena terbiasa, tapi karena banyak perlu berdiri dan berlari lagi. Berdiri saja tak cukup, kadang perlu berlari.<br />
<br />
Kalau terjatuh, tentunya perlu berdiri dan berlari lagi untuk mengejar bola. Karena langkah pertama dimulai dari tempat berdiri, kalimat "Mulai lagi dari nol" seperti selalu menjadi penyemangat. Ya, karena jatuhnya bukan hanya sekali. Itu di lapangan. Di tempat lain pun serupa. Gagal atau salah? Kalau perlu ya mulai lagi dari nol. Kebanyakan para penyemangat pun bilang begitu. "Mulailah lagi dari nol" seperti jadi obat untuk melupakan kegagalan hidup.<br />
<br />
"Tiap orang pernah terjatuh." Katanya sih begitu. Iya sih, tetapi kadang saya juga berpikir bahwa bagaimanapun juga hidup saya tak akan pernah bisa dibandingkan dengan hidup siapapun. Bahkan dengan saudara sedarah saya sekalipun. Meski kami berasal dari rahim yang sama, toh tahun lahirnya berbeda, sekolahnya tak sama.<br />
<br />
Masa lalu disebut-sebut lagi. Diseret-seret kembali saat bertemu masalah baru. Paling lucunya adalah saat orang yang menyemangati "Ayo bangkit lagi. Mulai lagi dari nol. Lupain yang udah lewat!" justru di lain kesempatan malah mengungkit kegagalan dan kesalahan di masa lalu. Benarlah kalau lidah itu tajam, karena sangat efektif untuk meruntuhkan semangat hidup yang dibangun.<br />
<br />
"Mulai dari nol" serasa tak lagi bermakna, karena diungkit atau tanpa terungkit, masa lalu saya akan terus mengikuti. Dan saya harusnya menyadari itu. Dulu saya pernah meneguk minuman beralkohol. Tapi apa mau dikata, terima saja kenyataan itu, meski sedang mampir shalat di masjidnya aktivis kampus. Itu masa lalu yang tak dapat saya ingkari. Begitu juga pengalaman melihat denyut malam Stasion Selatan sampai Tegalega, kepulan 234 saat masih berkualitas wahid, dll. Ada cerita panjang di luar tempat suci yang saya bawa ke tempat sujud. Sama panjangnya seperti yang saya bawa saat ingin berdagang secara jujur, atau saat membaca buku.<br />
<br />
<i>Btw</i>, kadang saya juga teringat kegagalan menjalin cinta. Hehehehe. Padahal sedang menata diri untuk bisa membuka hubungan baru. Ya, wajah-wajah masa lalu bisa terkilas kembali saat menatap peluang bermasa depan dengan orang baru. Serasa dihantui kegagalan. Seperti kerap dihantui masalah tentang keluarga saat ingin membangun suasana idaman dalam berkeluarga bersama orang baru. Jadinya terbayang-bayang nanti keluarga berantakan. Saya takut gagal, walaupun para motivator banyak bilang "Jangan takut gagal! Coba, coba, terus coba!" Sayangnya, saya berpikir bahwa masa depan bukan dicoba-coba. Perasaan orang lain pun bukan untuk dicoba-coba.<br />
<br />
<i>Nolan said that the Bruce's greatest fear is bat</i>. Saya? Mungkin jawabannya adalah pengalaman. Masa lalu yang memberikan bayangan-bayangan kegagalan dan hidup berantakan.<br />
<br />
Kenangan membuat saya harus sadar bahwa sampai kapanpun saya tak dapat menghapus masa lalu, yang juga berarti saya tak pernah -dan tak akan pernah- memulai kembali kehidupan saya dari nol. Setelah terjatuh, berdiri, dan berlari lagi bukan berarti tak ada rasa sakit yang harus ditahan. Saya tahu betul rasanya melanjutkan permainan (futsal) setelah jatuh kena tekel. Matematisnya, kalau mulai dari nol, kaki tak terasa sakit. Jadi kalau jatuh dan kakinya sakit, itu sama saja memulai dari angka minus. <i>Therefore, there's no restart from zero. Run is about survive with pain. It's more about dealing with my past.</i><br />
<br />
Saat ada orang yang ingin hidup bersama saya, saatnya untuk berdamai dengan kenangan gagal menjalin hubungan istimewa. Saat bertemu orang baru, saat itu pula saya perlu berdamai dengan masa lalu tentang orang lama. Saat hendak berkeluarga, saat itu juga saya perlu berdamai dengan pengalaman buruk perihal keluarga. Menerima masa lalu, memilih untuk tidak dihantui episode kelam. Bukan sepenuhnya melupakan, tetapi menjadi catatan agar tak terulang.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgL9tDNMqzyQ4TVHlbmJcD-ST6RdNBPOir8vHbVr1IAqgpYLkV2kQ0MfXYuEjsazaELTqg8kbOtbFb1E5IzI-OepdoYHz4xp83KCGKGjKYL5jYhao5OJH_IEjpKdCvFNnhslN9MTSfbY2as/s1600/6368983_20140317060313.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="212" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgL9tDNMqzyQ4TVHlbmJcD-ST6RdNBPOir8vHbVr1IAqgpYLkV2kQ0MfXYuEjsazaELTqg8kbOtbFb1E5IzI-OepdoYHz4xp83KCGKGjKYL5jYhao5OJH_IEjpKdCvFNnhslN9MTSfbY2as/s320/6368983_20140317060313.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Kagok edan sakalian</i> !</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Ya. Berlari setelah terjatuh akhirnya adalah tentang memilih untuk berkompromi dengan rasa sakit. Menerima orang baru akhirnya adalah tentang memberi kesempatan diri sendiri untuk membangun hubungan yang lebih ideal. Menerima masa depan akhirnya adalah tentang memilih untuk berdamai dengan diri sendiri.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
12 Rajab 1437</div>
<div>
<br /></div>
Adit Puranahttp://www.blogger.com/profile/05973687161754216275noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-83889875967175729712016-04-18T17:12:00.001+07:002016-05-18T18:21:26.455+07:00Bantu Atuh Lah !!!Bila dipilih untuk memimpin, dan menyadari ada banyak sekali tugas, kira-kira apa yang diinginkan? Kalau saya pribadi, tentunya ingin dibantu. Bukan diberi ucapan "Selamat" karena terpilih sebagai orang terpandang, apalagi dipuji-puji layaknya selebritis yang diburu untuk didapatkan tanda tangan dan foto barengnya. Ya, hanya itu: dibantu. Supaya lancar dan berhasil. Alias tujuannya terpenuhi.<br />
<a name='more'></a><br />
Bila jadi ketua panitia kegiatan kecil saja sudah berharap dibantu, untuk yang ruang lingkupnya lebih besar pasti lebih butuh bantuan. <i>It really happened</i>. Bila untuk kegiatan tingkat beberapa RT saja saya butuh bantuan, apalagi untuk yang tingkat RW dan kelurahan. Saya lebih butuh banyak bantuan. Bantu berpikir, mengurai masalah, mencari solusi, hingga ke teknis.<br />
<br />
"Di kepanitiaan jadi apa?"<br />
"Jadi Ketua."<br />
"Wah, hebat euy. Kegiatannya apa aja?"<br />
"Banyak. Lomba, bazzar, pentas..."<br />
<br />
Lumayan ngenes. Ditanyai, tapi tak membantu. Ya setidaknya untuk cari dana lah. Awalnya saya menduga bila ditanyai seperti itu, si penanya akan membantu. Terlebih lagi bila si penanya adalah keluarga sendiri. Tapi saya mendadak lesu saat selesai ditanya, karena keluarga saya tak membantu. Sejak itu saya mulai berpikir, kasihan juga orang lain yang mengalami nasib serupa. Walaupun ada juga yang kalau dipikir-pikir lebih ngenes. Dipilih jadi ketua, lalu menjalani hidup lebih seperti selebritis. Orang-orang mengejarnya demi mendapatkan foto bareng, lalu meng-<i>upload</i> di akun <i>social media</i>. Tugasnya dibantu oleh si peng-<i>upload</i>? <i>You can imagine it.</i><br />
<br />
Syukur kalau dibantu. Kalau tidak, itu sangat <i>piwatireun</i>. Kira-kira itu pula yang ada dalam pikiran saya beberapa tahun silam saat Walikota Bandung baru meresmikan Skate Park di bawah Flyover Pasupati, yang lokasinya persis di sebelah Taman Jomblo. Selepas maghrib, Kang Walkot mampir untuk memantau. Sontak, para penongkrong pun mengerumuninya untuk minta foto bareng. Tak ada yang salah dengan foto bareng Walikota, hanya saja yang menyedihkannya adalah beberapa hari kemudian di area taman itu sudah banyak corat-coret.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
Kesannya, mengidolai dan menyayangi Kang Walkot itu caranya dengan foto bareng lalu <i>upload</i> ke <i>social media</i>, tak masalah apabila karyanya dirusak dan dikotori. Itu kira-kira kesimpulan dari apa yang terlihat. Walau saya sendiri <i>asa keuheul pisan</i>.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQBYIMkV-DbYEwogCTKlVkOPaeRzDndKNUF4RnLAn0O4oK-Cd_tWWfqFlpzvO5o6gI-snrBJePPlBvj-eqEPsTN7Dmhtg8zsUrUt1nSIjG0lOT-3rxvA3r3k0wY8SWiXB-cFa81hnPajEX/s1600/Screenshot_2016-04-18-14-59-06.png" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="208" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQBYIMkV-DbYEwogCTKlVkOPaeRzDndKNUF4RnLAn0O4oK-Cd_tWWfqFlpzvO5o6gI-snrBJePPlBvj-eqEPsTN7Dmhtg8zsUrUt1nSIjG0lOT-3rxvA3r3k0wY8SWiXB-cFa81hnPajEX/s320/Screenshot_2016-04-18-14-59-06.png" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Senyuuuummmm !!!!</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Itu di Bandung. Di tingkat nasional pun terlihat sama. Setelah Mas Joko menjadi Presiden, hanya terlihat aksi-aksi maya dalam membela Mas Joko. Ya, aksi-aksi maya. Alias aksi-aksi di dunia maya. Bukan aksi-aksi nyata seperti ratusan relawan yang berangkat ke Riau berkabut tebal. Saya membayangkan, sekiranya ada di posisi Mas Joko, betapa ngenesnya saat sadar bahwa yang nyata membantu bukanlah para pendukungnya. Saya sih gitu. Nggak tahu kalau yang lain mah. <br />
<br />
Para penolong yang berangkat ke Riau itu justru bukan mereka yang berkoar-koar tentang Pilpres dan Pemimpin terpilih. Mereka juga bukan fans tokoh-tokoh politik. Mereka hanya orang-orang yang peduli pada sesamanya, dan ingin melakukan aksi untuk menolong. Di tempat lain? Serupa. Para aktor di dunia nyata kebanyakan tak eksis di <i>social media</i>. Di dunia maya, mereka seringnya posting kegiatan-kegiatan yang sudah dijalankan. Bukan banyak beropini politis, mengomentari keadaan, dan merendahkan sosok tertentu.<br />
<br />
Kalau di selokan ada sampah, masih lebih baik memungut dan membuangnya ke tong sampah ketimbang memfoto dan <i>upload</i> ke <i>socmed</i>. Kalau ada orang kecelakaan motor tepat di hadapan, masih lebih baik membantunya ketimbang menontonnya di pinggir jalan. Kalau ada sepasang teman yang belum menikah, masih lebih baik menawarkan bantuan ketimbang bertanya melulu: "Kapan nikah?". Lebih nyata membantu dalam bentuk membayarkan segala kebutuhan pernikahan, ketimbang menasihati untuk segera akad. Kalau ada teman yang menjomblo, lebih baik carikan pasangan ketimbang menyindir. Seperti membuat sambal. Kalau mau menambah pedas, ya tambahkan cabe, cengek, jahe, atau bahan apapun yang menjadikannya lebih pedas. Kan <i>life rules</i>-nya begitu.<br />
<br />
Bagi saya -yang tengah diamanati tanggung jawab kewargaan- sih begitu. Masalah lebih membutuhkan solusi ketimbang kesan baik. Bagi yang lain, mungkin kesan baik lebih penting.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
9 Rajab 1437</div>
<div>
<br /></div>
Adit Puranahttp://www.blogger.com/profile/05973687161754216275noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-32799629295667031242016-02-22T20:08:00.000+07:002017-05-10T10:58:43.828+07:00Kopi dan TehSaya masih ingat, kapan pertama kali menemukan secangkir kopi. Itu adalah saat bapak dan kakak kedua ngobrol sambil merokok di ruang tengah. Sebagai lelaki perokok, tentu saja rasanya kurang sempurna tanpa ada secangkir kopi. Entah apa yang membuat mereka begitu suka ngopi. Karena penasaran, saya yang masih SD pun mencobanya. Sangat pahit, dan saya tidak suka. Walaupun sudah diberi gula.<br />
<a name='more'></a><br />
Berbeda dengan perkenalanan saya pada teh. Dulu ibu dan bibi hampir selalu membuatkan teh manis sebagai minuman setelah makan. Saking sukanya, teh manis menjadi minuman kesukaan saya saat kecil. Terutama saat SD. Mulai dari segelas teh manis hangat, teh manis dingin, teh botolan, sampai es teh manis. Tanpa peduli apa mereknya, yang penting teh manis. Terlebih lagi saat itu bapak bekerja di kebun teh. Jadi oleh-oleh khasnya adalah teh.<br />
<br />
Ada pasang surut dalam hidup. Seperti anak-anak yang berlarian, kemudian terjatuh dan berdarah. Tetapi berlari lagi untuk melanjutkan permainan. Perlu oplosan agar kuat. Ada saatnya <i>cenghar</i>, ada pula saatnya mulai ngantuk. Saya yang (saat SMP) ikut Pramuka, berkenalan lagi dengan minuman yang katanya dapat menunda ngantuk. Minuman yang selalu menjadi temannya tukang begadang. Kopi. Kami yang masih berumur 13-an perlu kopi untuk kerja hingga larut malam. <br />
<br />
Unik. Kopi hitam yang saya regut tidak begitu pahit, dan saya mampu menghabiskannya selama begadang. <i>Jadi we mun begadang ngopi deui. </i>Selain untuk begadang, kopi juga menjadi minuman pilihan saat dingin. Itulah kenapa, kopi hampir selalu dibawa saat kemping. Paling tabu, saat SMA saya pernah membawa segelas kopi dari kantin ke kelas. <i>Da keur hujan. </i>Saat kuliah, tentu lebih butuh. Kerjaan lebih banyak, dan lebih sering begadang. Wajar kalau kantin-kantin di kampus selalu sedia kopi.<br />
<br />
Rasa-rasanya itu yang membedakan antara kopi dengan teh. Kopi adalah oplosan untuk begadang, sedangkan teh dipercaya dapat memberikan rasa lebih tenang. Tapi tetap saja, kalau nongkrong santai, saya tetap lebih memilih pesan kopi. Mungkin ini yang disebut selera. <br />
<br />
Sekarang, lain lagi ceritanya. Kalau dulu selalu perlu gula untuk ditambahkan pada segelas kopi atau teh, sekarang jauh lebih terbiasa dengan versi tanpa gula. Pesan segelas teh tawar, atau kopi pahit. Entah sejak kapan saya mulai suka versi sedikit pemanis. Yang jelas, sejak sadar ibu mengidap diabetes, saya pun mulai mengurangi penggunaan gula. Termasuk untuk kopi. <br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbMPKdWIz99bnQX0M7EUS_zLYCV57oIoxJEVZDNM_eIkVoXqU26LNvr9it0G5Xrc45RPx2XJ3BJjg7KU4MLXdyeWGPPfiqzXF23Mm18Sd1b5YIdis4rsYfoY5AqTU7KZbqv182obMnGN4P/s1600/Kopi.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="189" rva="true" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbMPKdWIz99bnQX0M7EUS_zLYCV57oIoxJEVZDNM_eIkVoXqU26LNvr9it0G5Xrc45RPx2XJ3BJjg7KU4MLXdyeWGPPfiqzXF23Mm18Sd1b5YIdis4rsYfoY5AqTU7KZbqv182obMnGN4P/s200/Kopi.jpg" width="200" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Gelas gratisan, dan gula nganggur.</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Seorang sahabat yang banyak tugas keliling pernah bilang: "Kopi akan lebih terasa kualitasnya kalau gak pake gula." Dan memang begitulah adanya. Baru bisa lebih terasa bedanya antara Aceh, Toraja, Mandailing, dll. Untuk cita rasa, setelah merasakan versi pahit, bisa ditambahkan gula putih, gula merah, atau krimer. Ya, tak selalu gula putih.<br />
<br />
Konon, penikmat kopi pahit adalah mereka yang terbiasa dengan kepahitan hidup. Hingga pahitnya kopi seolah tak terasa. Itu pula komentar yang saya dengar saat mereguk segelas Latte tanpa gula, atau secangkir Ule Kareng pahit (kopi Aceh). Ya, itu kata mereka. <i>Padahal mah urangna we nu rentan diabetes. Jadi kudu ngabebelaan teu digulaan. </i><br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi52O0HhpMB2FJm5MZ9nfpp-K29vCDiSwAvStBlH641lI-jtM_sqFMUAmkP0eVWLm-8hlwtec2gdyKkrF2xHYKx8t3xGPRSgg59HP4kGKKdj6-Az5wLLnSGJEICshujrFTIZKzYOOQMQZfv/s1600/Kopi+vs+Teh.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" closure_lm_441251="null" height="224" rva="true" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi52O0HhpMB2FJm5MZ9nfpp-K29vCDiSwAvStBlH641lI-jtM_sqFMUAmkP0eVWLm-8hlwtec2gdyKkrF2xHYKx8t3xGPRSgg59HP4kGKKdj6-Az5wLLnSGJEICshujrFTIZKzYOOQMQZfv/s320/Kopi+vs+Teh.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Perbandingan kopi dengan teh.</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Sepahit apapun kopi, nikmati saja. Temukan sendiri cara menikmatinya. Seperti saya mereguknya sambil menonton video klipnya Hyorin yang berjudul "Driving Me Crazy" (OST The Master's Sun).<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
24 Rabiul Akhir 1437</div>
<br />Adit Puranahttp://www.blogger.com/profile/05973687161754216275noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-1580044893253763002015-10-21T18:07:00.003+07:002017-05-10T11:25:23.998+07:00Cijerah Culinary NightRakyat membutuhkan hiburan yang murah dan terjangkau. Memangnya zaman begini ada? Setidaknya di periode kepemimpinan Walikota Bandung saat ini terasa, jawabannya: ada. Yang rakyat butuhkan bukanlah tempat-tempat nongkrong mewah berbayar mahal, cukup hiburan rakyat yang bisa menjadi tempat ngumpul-jajan, dan perbaikan beberapa taman. Taman Alun-Alun (sebagi yang paling fenomenal), menjadi buktinya.<br />
<a name='more'></a><br />
Akhir 2014, Braga Culinary Night menjadi pencetus ide arena wisata malam nan murah meriah. Terbilang berhasil, karena dapat menunjukkan betapa sederhananya cara untuk menghibur warga. Culinary Night yang semula terpusat di Braga, dipecah ke berbagai Kecamatan, agar rakyat dapat menikmati hiburan tanpa perlu pergi jauh dari tempat tinggalnya, dan menemukan hiburan sesuai dengan masa lalunya. Ya, karena tiap tempat menyimpan cerita masing-masing penghuninya. Warga pinggir kota tentunya akan lebih familiar dengan jajanan khas pinggir kota.<br />
<br />
Sebulan setelah Braga Culinary Night, sebenarnya Cijerah pernah berencana menggelar event serupa. Sayangnya urung terwujud. Entah kenapa. Saya pun tak tahu karena saat itu belum bergaul dengan orang-orang di kantor kelurahan.<br />
<br />
<i>Then, the time is running out...</i><br />
<br />
Selepas pesta rakyat di bulan Agustus 2015, Oktober memberi agenda Hari Jadi Kota Bandung ke-205. Kunjungan tokoh kelurahan ke pesta rakyat di tiap RW memberikan banyak kesan untuk rencana menyemarakkan hari jadi Kota Bandung. Ternyata ada satu RW yang dinilai sangat meriah, dan itu menjadi pendorong untuk berhasil menyelenggarakan Cijerah Culinary Night, pemberi rasa optimis untuk menebus kegagalan menggelar event rakyat di tahun sebelumnya.<br />
<br />
Persiapan yang sangat singkat, hanya 3 pekan. Kalau berhasil terselenggara, <i>segitu juga udah uyuhan!</i> Karena hanya punya judul "Culinary Night", tanpa punya konsep event dan perhitungan dana. Akibatnya, 3 pekan itu adalah hari-hari peredaman emosi.<br />
<br />
Kami melakukan segala yang sanggup dilakukan, mengumpulkan semua potensi warga yang dapat dikelola. Akhirnya, dengan segala keterbatasan yang ada, Sabtu tanggal 17 Oktober 2015, berdirilah tenda-tenda berisikan aneka jajanan yang mengundang perhatian masyarakat.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPuzh75AB8lhaKgTz4EqH777AiRVHjhaYElttXN0ytRD-ye3s4YczUABOJfa-qH3mBjgAZh0AAdTNbqzJwppDuV7lt1SDfGXaxHD8jTu8kxW9cUfAqro6WR7jGC_jSQE2OummKIy93I0n3/s1600/Cikul+2015+-+1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPuzh75AB8lhaKgTz4EqH777AiRVHjhaYElttXN0ytRD-ye3s4YczUABOJfa-qH3mBjgAZh0AAdTNbqzJwppDuV7lt1SDfGXaxHD8jTu8kxW9cUfAqro6WR7jGC_jSQE2OummKIy93I0n3/s320/Cikul+2015+-+1.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;">Raramean warga Cijerah</span></td></tr>
</tbody></table>
<br />
Semakin tenanglah hati ini melihat anak-anak muda berkaos panitia mondar-mandir menertibkan keadaan di sana. Saya yang H-1 sempat demam karena setiap hari pulang malam demi menyiapkan keperluan pra-event, akhirnya mempunyai waktu untuk lebih rehat. Jauh berbeda dengan sebelumnya. <i>Da asalna mah areuweuh pisan. Meni piwatireun lah panitia teh, asalna ngan opatan.</i><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
<br /></div>
Mungkin memang nasib saya yang layak ditertawakan, setelah datang pun masih saja merasa perlu untuk menertibkan stand-stand yang belum terisi. Saya yang masih mengenakan kaos hitam polos pun akhirnya lupa mandi. <i>Bae lah, kagok edan sakalian!</i> Sudah bau keringat menunggu dua teman yang berencana mengisi stand, ditambah pula bau masakan yang hangitnya menyebar di antara 62 stand. Meski seblak adalah yang terhangit, ternyata saat di rumah, kaos saya lebih berasa aroma sosis bakar.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgL0YwjmNujEHLRG2tAXHbERR6Lw0aWxJz0WhIgL0eyCCcK5L0cqOMWdIjollY4hSPrc0bwe0K1w0W3Rd40Z21vnnxa1zDyt3rD69DGRG6TpgPG6LTDv0lclBj_SZk7ocsXYR3jtprbTk3G/s1600/Cikul+2015+-+3.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgL0YwjmNujEHLRG2tAXHbERR6Lw0aWxJz0WhIgL0eyCCcK5L0cqOMWdIjollY4hSPrc0bwe0K1w0W3Rd40Z21vnnxa1zDyt3rD69DGRG6TpgPG6LTDv0lclBj_SZk7ocsXYR3jtprbTk3G/s320/Cikul+2015+-+3.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;">Bersama sahabat masa kecil dan pemesan stand</span></td></tr>
</tbody></table>
<br />
Sekian bulan saya tak posting di blog. Bulan-bulan yang melelahkan, juga menakjubkan. Meski menyimpan banyak catatan, Cijerah akhirnya berhasil menggelar Culinary Night-nya. Kemeriahan hiburan rakyat yang sangat terjangkau.<br />
<br />
Malam yang mengesankan, membuat saya lebih bisa tidur lelap. Ini kabar gembira bagi bujangan yang besok paginya sudah harus bersiap kaki di Aston Magenta Run (<i>next post</i>).<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
6 Muharram 1437</div>
<div>
<br /></div>
Adit Puranahttp://www.blogger.com/profile/05973687161754216275noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-54332920709003173102015-07-02T10:32:00.000+07:002016-05-18T18:21:57.042+07:00Pantulan Diri"Mas, selama ini merasa risih ga?"<br />
"Risih kenapa?"<br />
"Risih karena aku nempel terus."<br />
<br />
Saya ingat betul saat beberapa pekan silam ditanya demikian. Saya tak tahu pasti kenapa dia berpikir begitu, karena saya juga masih ingat pertemuan-pertemuan awal kami. Dulu sebelum berteman, saya mengenalnya sebagai sosok yang selalu pasang wajah jutek (pada saya). Ya, setiap kami bertemu, dia selalu pasang tampang garangnya.<br />
<a name='more'></a><br />
Beberapa pekan setelah kami mulai berteman, ternyata dia minta ditemani ke ITB Jatinangor. Perjalanan singkat yang akhirnya memulai keakraban kami. Sejak saat itu, saya mulai menjadi temannya membicarakan hidup, membicarakan banyak hal. "Nyaman, ama bisa ngobrolin segala hal." Begitu katanya. Sejak itu, dia selalu mengajak ngobrol dan bila memungkinkan, kami pulang bersama.<br />
<br />
Terkejut? Tentu saja. Dia pernah bercerita bahwa dulu suka sebal bila melihat saya. Kadang saya bengong sendiri, menjadi sering merenung. Dulu dia suka sebal, sekarang malah nempel terus. Untuk yang ke sekian kalinya, saya menggumam: hidup memang punya banyak kejutan.<br />
<br />
Bulan demi bulan berlalu. Saya meminta bantuan padanya untuk menjadi pengajar pada Pesantren Kilat (Sanlat) di sebuah masjid dekat rumah saya. Sudah dua hari dia turut serta mengasuh anak-anak Sanlat. Salah satu ceritanya membuat saya kembali geleng-geleng kepala, dan tertawa sendiri.<br />
<br />
"Mas, tadi ada anak baru. Namanya Naqta. Malah nempel-nempel nyender-nyender anak itu teh. Terus ngomongnya galak..."<br />
"Wah, merasa risih ga?"<br />
"Risih kenapa?"<br />
"Risih karena dia nempel-nempel gitu."<br />
"Ngga, kayaknya dia teh merasa nyaman."<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
Sore ini, dia yang suka menempel itu dipertemukan oleh-Nya dengan seorang anak yang menempel padanya. Dia yang suka menempel-nempel, akhirnya merasa ditempel-tempel. Saya pun akhirnya bercerita padanya bahwa dulu ada seorang gadis lugu yang suka pasang tampang galak pada saya, dan ternyata sekarang si gadis lugu itu selalu nempel-nempel. Dia sadar siapa gadis lugu itu.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijH3VUDZR6K5iCxfsWLGHN5Hn3hvC6Zag_3aC44wZycNO7G62sLxL5JRtWHNin62ANiSAfJm51-pDGsAh0wq_yZv8uIqiMH_BAk9c7bsjtVWqHKadDOSeVpI7PddiZpfb4kVKSmw7Tsobo/s1600/1016052-image001-1200.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="169" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijH3VUDZR6K5iCxfsWLGHN5Hn3hvC6Zag_3aC44wZycNO7G62sLxL5JRtWHNin62ANiSAfJm51-pDGsAh0wq_yZv8uIqiMH_BAk9c7bsjtVWqHKadDOSeVpI7PddiZpfb4kVKSmw7Tsobo/s320/1016052-image001-1200.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Divergent</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Seiring mentari terbenam, kami tersenyum dan tertawa bersama. "Ah, terkadang apa yang kita hadapi sebenarnya adalah pantulan diri kita sendiri, Dek."<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
13 Ramadhan 1436</div>
<div>
<br /></div>
Adit Puranahttp://www.blogger.com/profile/05973687161754216275noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-72526747227249474562015-05-25T08:53:00.001+07:002016-05-18T18:22:23.636+07:00Bukan Tentang BicaraApa yang membuatmu merasa berarti?<br />
<br />
Ah, entahlah. Rasanya bagi saya sendiri sulit untuk menjawabnya. Hanya saja, saya pernah merasa tidak berarti, hingga lebih memilih untuk pergi. Ya, pergi. Pergi ke tempat di mana saya bisa merasa lebih berarti.<br />
<a name='more'></a><br />
Dulu saat masih kuliah. Di kampus, bila ada acara-acara seperti buka bareng, halal bi halal, atau acara kumpul lainnya, seingat saya tak pernah ada yang mencari. Intinya, serasa tidak ada yang mengharapkan kehadiran saya. Lain cerita di reunian alumni SMA, saya sampai di-SMS dan ditelfon berkali-kali demi kepastian akan kehadiran di acara tersebut. Sekiranya saya tidak hadir, berbagai ungkapan kesedihan mengalir dari benak mereka.<br />
<br />
Saya pernah merasa sangat sedih, lantaran di acara reunian tersebut, mereka menunggu begitu lama hanya karena ingin melihat saya. Hanya untuk datang, duduk bersama, berbagi cerita hidup, bertukar kabar, dan makan bersama. Ya, hanya tentang kehadiran, bukan tentang kemampuan dan seberapa tangguh kami dalam menghadapi hidup.<br />
<br />
Saat itu saya mulai berpikir bahwa berarti atau tidaknya seseorang adalah tentang kehadiran. Seseorang yang dianggap berarti selalu diharapkan hadir. Kiranya, saya jadi mengerti mengapa kado terindah dalam hidup adalah kehadiran. Tepatnya kehadiran orang yang disayangi. Bukan hadiah mewah, makan banyak, dsb.<br />
<br />
Apakah hanya tentang kehadiran semata? Awalnya saya berpikir demikian, tetapi nyatanya tidak. Sepertinya lebih dari itu. Pernah, saya menjalin keakraban dengan seorang kawan. Keakraban itu membuat saya menjadi salah satu kawan yang awal dikabari perihal kepergian orang tuanya. Keesokan harinya, saya pun mengunjungi kediamannya untuk menghibur dia. Mengenaskannya, beberapa kawan yang saya ajak ternyata tidak satu pun ikut. Saya sempat ngobrol dengannya, juga dengan temannya. Melihat kesedihannya sudah luntur, rasanya cukup menenangkan. Ah, saya hanya berharap dia baik-baik saja.<br />
<br />
Saat saya pamit pulang, tak sengaja terdengar ada yang bertanya kepadanya tentang saya. "Eh, itu siapa?" dan di depan mereka, teman saya itu menjawabnya: "Oh, bukan siapa-siapa kok." Selama perjalanan pulang, berkali-kali saya berpikir: "Oh, gitu ya?". Saya mulai merasa bahwa saya bukanlah siapa-siapa untuknya. Bahkan hanya untuk dianggap sebatas teman.<br />
<br />
Ya, bukan siapa-siapa. Bukan sosok yang berarti untuknya. Meski di lain hari dia pernah mengatakan "Akang tuh berarti buatku". Saya tetap merasa diri ini tidaklah berarti untuknya. Lantaran di sisi lain, dia selalu menyamping saat kami mengobrol. Rasanya lebih seperti menghadapi orang yang tak mau mengobrol dan menghabiskan waktu bersama. Bila ada acara kopdar banyakan, rasanya lebih baik saya tidak mengusik dirinya. Jadi bagusnya saya ngobrol dengan orang lain saja. Bila kami ngobrol, rasanya lebih baik segera habiskan topik-topik obrolan, lalu sudahi.<br />
<br />
Apakah saya benar-benar tidak berarti untuknya? Entahlah. Saya pun mencari sisi lain yang dapat mempertegas jawaban, terutama dari kata-kata yang tak terucapkan. Akhirnya, saya mendapatkan jawaban yang mempertegas: posting di blog. Saya baca kembali tulisan-tulisan di blognya. Banyak ungkapan, foto, juga cerita tentang teman-temannya di blog dia. Namun sayangnya tak ada tentang saya. Alhamdulillah, cukup jelas.<br />
<br />
Jadi kalau saya tidak berarti baginya, untuk apa berada di kehidupannya? Saya pamit, pergi ke tempat di mana saya bisa menjadi lebih berarti.<br />
<br />
Beberapa tahun kemudian, seseorang bilang: <i>"..Katingali da si eta bogoheun ka Akang."</i> Saya sadar, sebelumnya beberapa orang bilang bahwa gadis yang dia maksud itu tengah memendam perasaan. Tetapi saya pun tak bisa memungkiri bahwa si gadis itu seperti sangat berjarak dengan saya. Saya sudah melihat bagaimana dia melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti menyapu, menyetrikakan baju orang lain, dan bantu memasak. Tetapi yang membuatkan saya kopi dan mengambilkan lap, ember, plus selang bukanlah dia. Saya pun menyetrika baju sendiri. Bahkan saat makan bersama, dia mengambilkan nasi untuk orang lain. Bukan untuk saya.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhEgKQqX3WJIZ2J8XCuvB8C-tYoZztGQSwPnSiFW9GKgEps16_AyJEw0JeT0h1OzAlSAQGOwl6HtL4ogeQ12I0wFXc5nHi5lzlMBHmYIKEYNtylnLv-4MeQU6k-GbZaXhIitYR03YbvpoM-/s1600/kopi.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhEgKQqX3WJIZ2J8XCuvB8C-tYoZztGQSwPnSiFW9GKgEps16_AyJEw0JeT0h1OzAlSAQGOwl6HtL4ogeQ12I0wFXc5nHi5lzlMBHmYIKEYNtylnLv-4MeQU6k-GbZaXhIitYR03YbvpoM-/s320/kopi.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Makasih :)</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<span id="goog_1372836363"></span>
Meski begitu, saya tidak marah. Bahkan malah sempat ketawa sendiri, lantaran terbayang bagaimana jadinya bila saat makan bersama itu, temannyalah yang mengambilkan saya nasi dan membuatkan kopi. Sekiranya itu terjadi, saya akan bilang pada temannya "Wah makasih ya! Kamu baik banget. Istri idaman lah!" Hehehehe...<br />
<br />
<i>Many words were said. But untold words always more.</i><br />
<br />
<div style="text-align: right;">
4 Sya'ban 1436</div>
<br />
*Sengaja tidak mention nama, agar tidak menjadi aib yang menyebar.<br />
<div>
<br /></div>
Adit Puranahttp://www.blogger.com/profile/05973687161754216275noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-58415081847186746602015-04-08T14:23:00.001+07:002016-05-18T18:22:32.019+07:00Tidak Melengkapi<i>Kalau Kau ingin berteman, tak perlu menjadi seseorang yang terlihat kuat dan mengagumkan. Datanglah kemari, kita nikmati secangkir teh bersama, sambil bertukar cerita tentang kisah hidup masing-masing</i>.<br />
<br />
Rasanya dalam setiap hidup orang, selalu saja ada sosok-sosok yang terbilang hebat. Disebut begitu karena sosok itu membuat orang terkagum-kagum. Bila diingat-ingat, selalu saja ada obrolan tentang kekaguman pada sosok tertentu. Saya pun begitu, tidak jarang merasakan kekaguman akan kehebatan seseorang, sampai terbesit dalam hati bahwa ada rasa ingin menjadi hebat. Semisal kagum pada Andrea Pirlo, dan saya ingin bisa bermain bola sepertinya.<br />
<a name='more'></a><br />
Sudah lebih dari seperempat abad saya hidup. Mengenal banyak orang dari berbagai tempat, dari beragam latar hidup, dari bermacam usia. Entah sudah berapa banyak orang yang datang ke kehidupan saya, dan pergi lantaran kami harus berpisah untuk menjalani kehidupan masing-masing. Dari sekian banyak teman yang saya kenal, ada yang saya akui hebat. Bahkan banyak. Seringkali saya bergumam "<i>Edan lah, si eta mah bisa nepi ka kitu. Kumaha carana?</i>" dan mengaku takluk.<br />
<br />
Sering mengagumi, pun pernah dikagumi. Tetapi itu dulu, sekarang rasanya tidak begitu. Karena saya agak acuh untuk hal ini. Dulu, suatu hari saat masih SMP, ada teman yang bilang bahwa saya hebat, karena kami yang anggota Pramuka berhasil membawa pulang gelar juara Lomba Penggalang se-Bandung Raya (Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kab. Bandung).<br />
<br />
Kagum dan bangga. Begitulah kata mereka. Ya, hanya dua itu. Setelah lulus SMP, sekalipun membawa kebanggaan itu, saya tetap merasakan kehilangan. Ada perasaan hampa saat saya harus berpisah dengan beberapa teman yang selama ini sangat berharga. Jauh di lubuk hati, terasa bahwa kebanggaan dan kekaguman teman tidak seberapa ketimbang kehilangan teman akrab.<br />
<br />
Di SMA, saya mendapat teman-teman baru, dan tentu saja kecengan baru. Hehehehe. Ah, setidaknya itu bisa mengobati rasa hampa. Memiliki sahabat (walau diri ini tidak dikagumi) rasanya lebih baik ketimbang sendiri di puncak kejayaan. Saya sengaja tidak menjadi pentolan di sekolah, ingin menjadi sosok yang sederhana saja. Yang dirindukan saat nongkrong, bukan dicari saat ada kepentingan. Perasaan ini semakin menjadi-jadi saat saya kuliah, zaman di mana saya lebih banyak dicari karena ada kepentingan.<br />
<br />
Seorang teman pernah bilang: "Pas bagian ada perlu, dicari. Pas bagian nggak ada perlu, serasa nggak dianggap teman." Rupanya, dia mengalami dan merasakan hal yang sama. Menyedihkan? iya. Tetapi akhirnya nasib yang sama inilah mengakrabkan kami. Kami saling mengakui, berterus terang tentang keadaan masing-masing. Kami pun mulai saling membantu agar bisa berhasil bersama. Saya pernah diantar ke kampus, dia pernah numpang print di rumah saya. Saya membantu teman berjualan, dia membantu saya membetulkan komputer. Kami main bola bareng, kadang makan bareng, dll. Intinya, banyak menghabiskan waktu bersama.<br />
<br />
Punya beberapa teman yang bisa saling menerima dan membantu untuk jadi lebih baik rasanya jauh lebih enak ketimbang ada banyak orang yang mengagumi. Punya beberapa kawan yang bisa diajak ngopi dan ngumpul bareng rasanya lebih baik ketimbang ada beberapa fans yang menuntut untuk tampil sempurna. Sebagai teman, kami saling melengkapi. Dan ternyata orang-orang yang melengkapi hidup saya bukanlah mereka yang (saya anggap) hebat atau mengagumkan. Mereka hanyalah teman yang ingin bersama dan saling membantu.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYZFjy8xqYFggh-Aw_1TTfMP-yaNOfofxIdNgYF8Ky0cg-vUdHTWxmLus7RPBCdcX9KaA1lxbZe7K2OUgyDmdF5PKjvtapYsCL1WOqNiGXP4RJUIuCu3IpcIr4j8egihDRKslwZ19aGmU8/s1600/RAD_Puzzle-Photo.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYZFjy8xqYFggh-Aw_1TTfMP-yaNOfofxIdNgYF8Ky0cg-vUdHTWxmLus7RPBCdcX9KaA1lxbZe7K2OUgyDmdF5PKjvtapYsCL1WOqNiGXP4RJUIuCu3IpcIr4j8egihDRKslwZ19aGmU8/s1600/RAD_Puzzle-Photo.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Pict from google</i></td></tr>
</tbody></table>
<br />
<span id="goog_427946526"></span>
Menjadi orang hebat atau mengenal orang hebat tidak membuat hidup saya menjadi lengkap. Menjadi orang hebat hanya membuat orang lain kagum. Bertemankan orang hebat hanya membuat saya merasa bangga. Yang membuat hidup saya lebih lengkap justru adalah teman yang ingin bersama, mau membantu, dan membuang rasa gengsinya.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
18 Jumadil Akhir 1436</div>
<br />Adit Puranahttp://www.blogger.com/profile/05973687161754216275noreply@blogger.com12tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-82433363359498145832015-03-09T13:35:00.003+07:002016-05-18T18:22:39.366+07:00Rahasia KesehatanSeseorang mengatakan, “<i>Rezeki tak pernah tertukar. Bila kita bekerja senilai 5 juta, lalu digaji 1 juta, 4 jutanya akan berbentuk rezeki lain. Dan bila kita bekerja senilai 1 juta, lalu bergaji 5 juta, kehidupan ini akan mengambil 4 juta itu dengan cara yang tak terkira</i>.”<br />
<br />
Suatu hari, di sebuah bus dalam perjalanan menuju rumah, saya berjumpa dengan seorang penumpang yang ramah. Lelaki beruban yang murah senyum, intonasi suaranya lembut, dan nyaman diajak bercengkrama. Dari curhatannya tentang jadwal pengajian pekanan di Viaduct dan sekolahnya di Pajagalan, obrolan beralih pada sebuah pertanyaan darinya: “<i>Cik, kinten-kinten ceuk Ayi sabaraha yuswa abdi</i>?” (Coba, kira-kira menurut Adek berapa umur saya?).<br />
<a name='more'></a><br />
Dari penampilan wajahnya, saya menduga umurnya kisaran 50-an. “<i>Sanes. Tos 70-an abdi mah</i>.” Jawabnya sambil tertawa singkat. Sepertinya beliau sudah memperkirakan bahwa saya akan salah menebak. “<i>Seueur da nu nyarios kitu</i>” (Banyak yang bilang demikian). Begitu katanya. Jangankan saya, beliau pun terheran dengan dirinya yang orang kampung bisa tampak lebih muda ketimbang adiknya yang memilih hidup di kota. Padahal di kota, adiknya bisa lebih banyak makan enak.<br />
<br />
Beliau hanya melihat dari perbedaan bagaimana adiknya dan dirinya menjalani hidup. Adiknya seorang perokok sedangkan beliau tidak merokok. Di kampung, makan seadanya dengan lauk-pauk berupa sayuran yang kebanyakan adalah mentah. Layaknya makanan ala kampung: nasi, lalapan, dan ikan plus sambal. Jam 3 malam bangun, shubuh ke masjid untuk shalat, mengaji sesaat, lalu berangkat berkebun saat langit belum terang. Siang pulang berkebun, istirahat sejenak dan merapikan hasil tani di dapur. Sore bercengkrama dengan tetangga, setelah maghrib kembali mengaji dan istirahat malam. Rutinitasnya seperti sudah dihafal. Beliau tahu kapan akan terdengar adzan, sehingga tahu kapan perlu bersiap ke masjid. Semua shalat wajib dan rawatibnya dilaksanakan di masjid.<br />
<br />
Bagi orang kampung, perjalanan melewati satu gunung (tanjakan dan turunan) disebut dekat. Terbayanglah kiranya berapa jarak yang ditempuh kakinya, dan terbayar oleh beberapa ikat bahan makanan. Berkebalikan dengan di kota yang tinggal pilih, lalu bayar. Makanannya pun berbeda. Santapan lezat mengundang selera nan berminyak, sangat pedas, berpengawet. Tanpa banyak berkomentar tentang lezatnya makanan ala kota, beliau bilang “Syukuri aja!” sambil tersenyum.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4CCQnVicvLyR6fh5gf2lozjvEhZ_4EWtugcFDwOGoXpx-M15I8fXCnjmPj1admSd_9cHVTUcxk77xInWMwkiAPnLoEUeL7QKAiAL62SpvJZXGzuqcONALOsHucL_Og9hFls8hesOz1Xbg/s1600/LANGKAH_PAGI_by_pistonbroke+(1).jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="212" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4CCQnVicvLyR6fh5gf2lozjvEhZ_4EWtugcFDwOGoXpx-M15I8fXCnjmPj1admSd_9cHVTUcxk77xInWMwkiAPnLoEUeL7QKAiAL62SpvJZXGzuqcONALOsHucL_Og9hFls8hesOz1Xbg/s1600/LANGKAH_PAGI_by_pistonbroke+(1).jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Pict from google</i></td></tr>
</tbody></table>
<br />
Pikiran saya mengawang teringat pada kehidupan ala kota yang berpenghasilan lebih tinggi, mewah, banyak makanan enak, dan lebih pemalasan. Untuk shalat isya ke masjid yang jaraknya ratusan meter pun mengendarai motor, padahal badan masih segar.<br />
<br />
Seorang tukang urut pernah berpesan, “Kalau kolesterol, obatnya ya banyak bergerak sampai berkeringat. Kalau stress, bisa rentan sakit.” Jadi, adalah baik untuk banyak beramal, dan bersyukur. Seperti Pak Tua tadi, orang kampung yang berkebun dan murah senyuman.<br />
<br />
Pergilah ke masjid dengan cara berjalan kaki, agar bisa lebih sehat tubuh dan punya banyak kesempatan untuk bercengkrama dengan sesama jamaah. Kalau rezeki menyapa, kadang diajak ngopi, minum teh, atau makan di rumah tetangga. Karena begitulah <i>silaturrahim</i>.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
*Tulisan ini telah diterbitkan di <a href="https://www.rumahzakat.org/wp-content/uploads/2015/03/RZ-Magz-Maret-2015.pdf">RZ Magz edisi Maret 2015</a>.</div>
<br />Adit Puranahttp://www.blogger.com/profile/05973687161754216275noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-43634055609663209422015-02-12T10:59:00.003+07:002016-05-18T18:22:45.708+07:00Kakek, Relawan KebersihanDi salah satu sudut perempatan, berdirilah sebuah rumah sederhana yang teduh. Teduh karena pepohonan yang rindang di sampingnya, pun karena penghuninya yang ramah dan bersahaja. Bila mentari sedang berada di puncak langit, terkadang pohon Flamboyan yang tegak di samping garasinya menjadi tempat berteduh bagi pengendara motor yang rehat sejenak.<br />
<a name='more'></a><br />
Sebelum jam enam pagi, dari rumah itu keluar seorang lelaki agak bungkuk, beruban, menjinjing sebuah sapu lidi. Dibawanya sapu lidi itu ke satu sudut, disapunya daun-daun yang berserakan di pinggiran jalan depan rumahnya. Dikumpulkannya serakan daun itu dalam satu gundukan, untuk kemudian dimasukkan ke wadah sampah di sebelah garasi rumahnya. Bila di pinggir jalan sudah selesai, dengan tangan kiri yang menopang badannya ke lutut, tangan kanannya menggenggam gagang sapu untuk menyisir sampah-sampah di selokan.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGgAfPa5Yu86aiiJe4tGqga75iLX_eU2Cryg9cyhjREWznyP38aNJ4XjlF5lNKnG_-cqTj03gRNZJ1YUu-5KLYPN-N15SeNWaUx5tnoIFFN_cULugWEvhzwUm66F0Hh8IvC6ALfFPmpQ-B/s1600/1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGgAfPa5Yu86aiiJe4tGqga75iLX_eU2Cryg9cyhjREWznyP38aNJ4XjlF5lNKnG_-cqTj03gRNZJ1YUu-5KLYPN-N15SeNWaUx5tnoIFFN_cULugWEvhzwUm66F0Hh8IvC6ALfFPmpQ-B/s1600/1.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
Selesai di sebuah sudut, dengan langkah kaki yang sudah kaku, pelan namun pasti, si kakek berpindah ke sudut lain. Seperti sebelumnya, disapunya dedaunan dan sampah yang berserakan, lalu dikumpulkan dalam sebuah gundukan.<br />
<br />
Ah, namun sayang. Saya harus segera berangkat mengantar keponakan ke sekolahnya. Jadinya tak bisa melanjutkan episode pagi si kakek.<br />
<br />
Keesokan harinya, episode pagi si kakek kembali menjadi pemandangan yang menarik perhatian saya. Sambil memarkir mobil di depan rumah dan menunggu berangkat, saya kembali memperhatikan lelaki beruban yang mengenggam sapu lidi itu.<br />
<br />
Sama seperti kemarin. Pekerjaannya di pagi ini adalah mengumpulkan dedaunan dan sampah yang berserakan agar lebih mudah dibuang ke wadah sampah. Hanya saja mungkin saya agak telat. Pinggiran jalan, baik depan maupun samping rumahnya tampak sudah bersih. Sepertinya lelaki ini baru selesai dengan rutinitas paginya.<br />
<br />
Ternyata saya salah. Alih-alih membawa sapunya masuk ke halaman dalam, rupanya beliau malah mampir dahulu ke pinggiran jalan bagian lain, samping rumah tetangganya. Melihatnya begitu, rasanya rumah si kakek adalah yang di seberang rumah tempat beliau menyimpan sapu lidinya. Sementara umumnya orang berpikir "Ngapain menyapu di depan rumah orang lain?", tanpa banyak tingkah dan bicara, si kakek terus menyapu.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjRZoZJpeQ_vm_zT2OORbiZKU3IUV3ppe5ET8N6_vwBvMP5YTWvBSs16buFyfN2CvRF3S4LqvfbOiDQFFxhJvWQ9AS90DqDJ3S3EYBMviWe2fAIEWiHJCAJdPVzDbYzG5EtqgGNYcrjBm9/s1600/2.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjRZoZJpeQ_vm_zT2OORbiZKU3IUV3ppe5ET8N6_vwBvMP5YTWvBSs16buFyfN2CvRF3S4LqvfbOiDQFFxhJvWQ9AS90DqDJ3S3EYBMviWe2fAIEWiHJCAJdPVzDbYzG5EtqgGNYcrjBm9/s1600/2.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Membersihkan selokan, dengan tangan kiri memegang lutut</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Malu rasanya bila guguran daun belimbing yang berserakan di depan rumah tidak saya sapu, atau saat lantai toilet sudah agak licin dan menghitam belum saya sikat. Lebih malulah diri ini saat berjumpa di masjid, saya yang seorang pemuda menemukannya sudah duduk menunggu khatib naik mimbar. Dengan berpakaian rapi dan berpeci, beliau yang langkahnya pelan dan seperti menggusur-gusur sendal ternyata lebih dulu sampai ke masjid, dan lebih siap menyimak khutbah jumat.<br />
<br />
Ah, saya menyukai kebaikannya yang sederhana itu. Kebaikan yang biasa dan dilakukannya tiap hari. Mungkin itu amal terbaik yang mampu dilakukannya di tengah segala keterbatasan. Bagaimana dengan saya?<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
20 Rabiul Tsani 1436</div>
<div>
<br /></div>
Adit Puranahttp://www.blogger.com/profile/05973687161754216275noreply@blogger.com10tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-45238167956210225092014-12-08T10:58:00.000+07:002016-05-18T18:23:14.106+07:00Hanya TitipanAda saat-saat saya merasa tidak enak ketika seseorang mengungkapkan rasa terima kasihnya pada saya. Bukan karena saya ingin menolak atau tidak peduli, tetapi lantaran saya merasa tidak memberikan sesuatu yang begitu berharga atau bernilai. Berharga maksudnya mahal, bernilai maksudnya bermakna. Ya, karena seringkali dalam hati saya berkata "Ah, belinya murah kok" atau "Nggak susah kok dapetnya."<br />
<a name='more'></a><br />
"Udah, nggak usah dikembaliin. Ngasih aja buat Kamu."<br />
"Beneran DVD-nya ngasih, Kak? Ih, makasih banget."<br />
<br />
Barangkali beberapa paket DVD adalah pemberian yang sangat berharga bagi beberapa orang. Tetapi seringnya bukan hal semacam itu yang saya pikirkan. Saat memberikan DVD itu (ya, memberikan, bukan merelakan) saya baru saja mendapatkan file film-nya yang berformat matroska dari seorang teman. Jadi, setelah file film itu ada di laptop saya, untuk apa lagi saya menyimpan kepingan-kepingan DVD-nya? Kiranya, mengosongkan rak (dari kumpulan DVD yang takkan lagi terpakai) akan lebih memperluas ruang. Setidaknya untuk menyimpan barang lain yang kelak lebih terpakai.<br />
<br />
Selalu ada cerita di balik cerita, dan begitulah ceritanya. Cerita yang serupa terjadi di hari-hari selanjutnya, dan mungkin akan terjadi lagi dalam hidup saya di kemudian hari.<br />
<br />
Suatu hari, ibu pulang membawa sekantung Ubi Cilembu yang masih hangat. Segera saya simpan di meja, lalu dibuka supaya uapnya tidak terbungkus.<br />
<br />
"Wah, banyak pisan!" kata saya.<br />
"Iya, tadi ada yang ngasih."<br />
"Gimana ngehabisinnya?"<br />
"Dimakan."<br />
<br />
Ya, tentu saja dimakan. Itu artinya harus dimakan sampai habis, dan jangan sampai ada yang terbuang. Saya sendiri sempat kebingungan, karena sudah pasti ibu tidak akan ikut menikmati Ubi Bakar Cilembu. Bukan karena tidak suka atau tidak mau, tetapi kondisi ibu yang rentan diabetes menganjurkannya untuk tidak memakan santapan-santapan yang bergula, salah satunya adalah Ubi Cilembu yang terkenal manis bergula alami.<br />
<br />
Saya masih bisa menyantapnya, tetapi tidak semuanya. Memang, makan ubi lebih praktis ketimbang makan nasi yang harus berpiring. Tetapi kondisi ibu yang demikian seperti menjadi peringatan bahwa makanan-makanan untuk saya pun harus dibatasi. Bagaimanapun juga, saya harus sadar bahwa tubuh ini pun rentan diabetes. Bahkan lebih rentan. Begitu kata pakar kesehatan.<br />
<br />
Maka saya pun mulai berpikir bahwa ubi-ubi ini tak mungkin saya habiskan sendiri. Harus ada orang lain yang ikut menghabiskannya. Siapa? Entah. Merekalah yang harus saya cari.<br />
<br />
Beberapa hari kemudian, terjawab sudah. Ubi-ubi itu saya berikan pada beberapa pedagang yang ada di RW. Senang? Tentu saja. Senang karena melihat para pedagang itu senang, juga senang karena akhirnya ubi-ubi itu ada yang menghabiskan. Ya, senang. Karena sebelumnya saya pernah sedih lantaran dulu di rumah ada makanan yang basi tak termakan, dan harus dibuang, bahkan dikubur supaya bau asam atau busuknya tak tercium lagi.<br />
<br />
Saat panen belimbing pun demikian. Kalau sedang musim panen, pohon belimbing di depan rumah lebat berbuah. Saking lebatnya, bisa sampai 3 kantung besar, dan saya bingung bagaimana menghabiskannya. Semua ada waktunya. Sebelum belimbingnya membusuk, saya harus mencari siapa yang kelak akan memakannya.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
<br /></div>
"Makasih ya, Mas." Kata tetangga. Saya hanya bisa tersenyum, karena hati kecil berkata "Ah, cukup disyukuri aja." Sungguh, tak tega kalau saya menjawabnya begitu. Malah sebenarnya saya juga inginnya berterima kasih karena sudah bantu tak memubadzirkan belimbing itu.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeyvk2yaUXSPcgM_OfLu4jYF5X93r9q2kPPfXqhxW5_-yvVesamisJfWxxBLvrB8eosgyNc-6dW-TrFyyLmuTdnQfjTenM5_otqm1-vdzlGXafRWxWSs8EfIoU-wmAS52EquD1_WJVwS3B/s1600/Rezeki+Titipan.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeyvk2yaUXSPcgM_OfLu4jYF5X93r9q2kPPfXqhxW5_-yvVesamisJfWxxBLvrB8eosgyNc-6dW-TrFyyLmuTdnQfjTenM5_otqm1-vdzlGXafRWxWSs8EfIoU-wmAS52EquD1_WJVwS3B/s1600/Rezeki+Titipan.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ubi Bakar Cilembu, yang hanya numpang lewat.</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Kadang saya senang saat mendapat rezeki. Kadang bingung dan lemas saat sadar bahwa saya takkan menikmatinya, yang berarti rezeki itu hanya numpang lewat dan saya harus segera mencari alamat penerima rezeki yang sebenarnya.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
15 Safar 1436</div>
<div>
<br /></div>
Adit Puranahttp://www.blogger.com/profile/05973687161754216275noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-21257879261710788312014-12-01T09:48:00.001+07:002016-05-18T18:23:21.694+07:00Membeli Senyuman"Ayo, ayo.. mampir ya ke standku di Festival Animasi." Saya pribadi menyukai animasi dan komik sejak masih SD, dan itu yang menjadi alasan untuk mengunjungi event-event perkomikan dan peranimasian. Seperti Pekan Komik 2004 di ITB, dan Pasar Komik 3 beberapa bulan silam di Braga. Kali ini ada seorang kawan yang menjadi peserta. Jadi, ada hal lain yang membuat saya ingin datang ke event ini: persahabatan.<br />
<a name='more'></a><br />
Dulu, saya pernah berdagang dalam bazar-bazar. Membuka stand untuk menjajakan makanan. Bagi saya itu adalah pengalaman yang amat mengesankan. Mengesankan saat merasa tegang apakah jajanan kami akan diminati orang-orang yang lewat, dan tentu saja saat mengais rezeki melalui orang-orang yang lewat. Kiranya ada teman yang menggelar lapak, saya selalu penasaran bagaimana raut wajahnya saat detik-detik dia menjalaninya. Ya, detik-detik. Karena saat menunggu dagangan dibeli, waktu terasa berjalan begitu lama.<br />
<br />
Begitu sampai di Festival, tiap stand saya perhatikan satu per satu dari paling depan dekat pintu masuk. Beberapa produk tampak familiar, karena memang pernah saya temui di Pasar Komik Braga. Selain produknya, tentu saja yang saya perhatikan adalah si empunya produk. Mungkin saya bisa hafal hasil karyanya, tetapi tidak dengan si pembuatnya. Ah, itulah kelemahan saya. Namun lain halnya saat di belakang sebuah meja duduk seseorang yang wajahnya sudah tidak asing lagi. Gadis berkaca mata yang menawarkan souvenir berupa kartu pos.<br />
<br />
Dia terlihat tengah meladeni pengunjung yang mampir ke stand-nya. Jadi saya hanya diam memandangnya, menunggunya sedikit menoleh untuk melihat saya. Sekadar untuk memberi tahunya, bahwa saya datang ke event yang dia ikuti. Dia pun tersenyum sekilas dan melambaikan tangan, lalu kembali melanjutkan obrolan dengan pengunjung stand. Sedangkan saya melanjutkan langkah untuk melihat-lihat stand lain.<br />
<br />
Event yang menarik. Pikiran saya larut dalam imajinasi-imajinasi tentang ide-ide yang dipertontonkan dalam tiap stand. Untuk sebuah event seni, bagi saya imajinasi yang merekah adalah pertanda bahwa event ini berhasil. Seperti saat menemukan sebuah stand dengan tokoh super hero komikalnya. Lamunan yang lumayan lama, sampai saya tak sadar bahwa ada yang mengirim pesan.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8jAuPEjCqy6CV6c3pCWxt00FiL8p5RTBNC3dXof3PND1YlpUdphi6lp923ctc_FYfhyphenhyphenDqdukaI-mFRGfgZiXp3CSvn8Yco2NuHf_Hczz_M4TOz6xODv1M6Vo1lvjeLh8u8lZtp9soNntI/s1600/Garuda.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8jAuPEjCqy6CV6c3pCWxt00FiL8p5RTBNC3dXof3PND1YlpUdphi6lp923ctc_FYfhyphenhyphenDqdukaI-mFRGfgZiXp3CSvn8Yco2NuHf_Hczz_M4TOz6xODv1M6Vo1lvjeLh8u8lZtp9soNntI/s1600/Garuda.jpg" width="256" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">"Tokusatsu" ala Indonesia</td></tr>
</tbody></table>
<br />
"<i>Punten</i> tadi kita lama ngobrolnya. Masih di pameran? Mampir <i>atuh</i>. Dah kosong <i>da</i>. Hehehe..."<br />
<br />
Dilihat dari waktu pengirimannya, ternyata agak lama. <i>Euleuh siah, geus ti tadi</i>. Saya pun kembali menyusuri stand-stand sejalan menuju arah pintu masuk, sekalian pulang. Ya, sekalian hendak pulang, sekalian melihat-lihat untuk terakhir kali, sekalian pamit pada teman.<br />
<br />
Ya, namanya juga teman. Sejauh manapun membahas karya-karya yang dia buat, pada akhirnya dia malah bertanya tentang kesibukan saya akhir-akhir ini. Saya jadinya balik bertanya tentang bagaimana dia menjalani hari-harinya. Kami pun saling berbagi cerita kehidupan masing-masing belakangan ini. Pada akhirnya pertemuan ini bukanlah tentang apa yang mampu kami lakukan, melainkan bagaimana kami terbuka untuk saling berbagi cerita hidup masing-masing.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
<br /></div>
Sebagai tanda pamit, saya pun membeli dua lembar kartu pos karyanya, lalu senyumnya merekah. Senyum dari seorang gadis yang seharian menjaga stand hingga keringat meminyaki wajahnya. 10 ribu rupiah yang berbalas senyum seorang kawan.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXgEZaGGqt9wvg6D-jWRhMV7a_su08gQ6giyy-MzavZu9sfZFqlyVzDB82h_eCwyhtu3fT3B_iKvjBzudBRZCyRY6kyj6gJ7PBPJi1jDTTUJmIg1AQ7TfvnWze5zqim4t1Jhmjw45Ytyyg/s1600/Si+Penjaga+Stand.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXgEZaGGqt9wvg6D-jWRhMV7a_su08gQ6giyy-MzavZu9sfZFqlyVzDB82h_eCwyhtu3fT3B_iKvjBzudBRZCyRY6kyj6gJ7PBPJi1jDTTUJmIg1AQ7TfvnWze5zqim4t1Jhmjw45Ytyyg/s1600/Si+Penjaga+Stand.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Empunya stand, seorang kawan</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Selalu berkesan untuk melihat orang tersenyum bahagia. Seperti saat membeli kartu pos karya dia, mengeluarkan ongkos untuk mengunjungi rumah sahabat, atau membeli kado untuk kawan. Pengorbanan serasa terbayar saat melihat senyumnya.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
7 Safar 1436</div>
<div>
<br /></div>
Adit Puranahttp://www.blogger.com/profile/05973687161754216275noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4498897920982952588.post-21977004053461367862014-11-25T14:23:00.000+07:002016-05-18T18:23:33.908+07:00Hidup yang KetigaPernah membayangkan bagaimana bertemu dengan malaikat maut? Walaupun dalam film-film tertentu beberapa kematian terkesan terhormat, mulia, heroik, dan mengagumkan, -jangankan membayangkan- mendengar cerita tentang bagaimana orang wafat saja rasanya sudah menakutkan. Setidaknya untuk saya. Tetapi mungkin tanpa disadari sebenarnya malaikat kematian itu pernah mendatangi, memandangi wajah saya, dan menunggu detik eksekusi.<br />
<a name='more'></a><br />
Seperti kata Algren dalam The Last Samurai. "Seharusnya saya sudah mati." Dan mengingat dia adalah satu-satunya satu-satunya orang yang masih hidup dari kepungan para samurai, bisa saya pahami mengapa Algren mengatakan demikian. Dalam tradisi samurai, demi menjaga kehormatan, yang kalah akan bunuh diri lalu dipenggal. Seharusnya itu terjadi pada Algren.<br />
<br />
Saya masih ingat saat sidang Tugas Akhir, yang konon adalah pembantaian bagi para mahasiswa. Saya ingat betul bagaimana mereka keluar ruangan sidang dengan wajah yang memerah, berkeringat, lalu duduk di pinggir ruangan untuk melepaskan air mata. Tibalah bagian saya yang masuk ruangan. Tak perlu saya ceritakan apa yang terjadi di dalamnya. Begitu selesai, saya keluar dengan wajah datar. "Selesai" hanya itu yang saya katakan.<br />
<br />
"Ih, Kamu mah. Kok bisa-bisanya lempeng gitu sih?!" Celetuk seorang kawan. Pertanyaan yang saja jawab dengan senyum ketus dan sedikit tawa sambil menggelengkan kepala. Saya tahu apa yang mereka bayangkan tentang keadaan di dalam ruangan. Keadaan yang mengingatkan saya pada belasan tahun silam.<br />
<br />
1998. Saat kawan-kawan SD hendak merayakan kelulusan, saya malah terbaring lesu di kamar. Demam dengan suhu 39'C menurut termometer rumah. Kepala terasa pusing, badan lemas, dan mulut terasa ingin memuntahkan isi perut. Demam apa ini? Tanya saya begitu panik pada diri sendiri. Demi lekas sembuh, saya paksakan diri untuk menelan makanan walaupun rasanya ingin muntah. Paksakan untuk kuat, demi tidak dirawat di rumah sakit.<br />
<br />
Keadaan tubuh saya tak kunjung membaik. Akhirnya saya menyerah untuk pantang ke rumah sakit setelah ibu dan bapak membujuk untuk ke rumah sakit dalam rangka medical check up di laboratoriumnya. Keadaan yang saya alami terlalu parah untuk sebuah demam biasa, itu menjadi alasan untuk ambil sampel darah, 1 tabung suntikan.<br />
<br />
Setelah menunggu sekitar 1 jam, hasil pemeriksaan darah sudah selesai. Saya diperbolehkan pulang. Semacam tipes, begitu kesimpulannya. Jadi saya diperbolehkan untuk dirawat di rumah. Meski begitu, saya masih ketakutan. Takut akan sebuah dugaan pribadi yang sepertinya belum diketahui orang tua saya. Mereka belum tahu bahwa saya sudah beberapa kali mimisan. Ketakutan itu saya lawan dengan mencengkram-cengkram pergelangan, lalu melepaskan cengkraman dan melihat hasilnya. "Bagus! Tidak ada bintik-bintik." Gumam saya dalam hati.<br />
<br />
Menyedihkan. Selama di rumah, keadaan saya tidak kunjung membaik. Sebaliknya. Saya mulai muntah-muntah yang disertai endapan-endapan hitam seperti minyak yang tercampur dalam air (saya mulai panik, takutnya itu adalah darah kotor yang mengendap). Kepala malah terasa semakin pening. Bila berdiri, badan seperti semakin hilang keseimbangan. Saat berbaring, seorang bumi sedang gempa dan dunia bergoyang. Saya berpikir lebih keras. Ini terjadi gempa, tetapi barang-barang di sekitar saya tidak ada yang sampai jatuh. Barang-barang itu tetap pada tempatnya, selayaknya tidak terjadi guncangan tanah. Berarti keadaan saya saja yang membuat saya merasa terjadi gempa hebat. Ya, gempa yang sangat hebat, hingga saya merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.<br />
<br />
Semakin parah. Bapak segera membawa saya kembali ke rumah sakit. Langsung ke lab untuk periksa, dan kembali cek darah. Tunggu beberapa saat di lab, sampai akhirnya terdengar: "Ini demam berdarah. Trombositnya turun drastis, tinggal 9. Untung segera dibawa ke sini." Normalnya, trombosit sekitar 150-250. Tidak ada yang menyangka bahwa itu adalah demam berdarah. Karena secara kasat mata tidak ada bintik-bintik di badan, dan muntah darah yang seperti pesilat baru terkena pukulan tenaga dalam. Telat beberapa jam lagi, (hukum alamnya, sunatullahnya) nasib saya berakhir.<br />
<br />
Saya langsung dibawa ke UGD, dan langsung dipasang infus. Rawat inap. Setiap satu jam sekali, ada suster yang datang untuk ambil sampel darah. Katanya untuk memantau pertambahan trombosit selama pengobatan.<br />
<br />
Dekade 90-an, demam berdarah adalah salah satu dari dua penyakit yang paling mengerikan. Sosialisasi tentang penyakit ini sering ditayangkan di TVRI melalui film dokumenter dari dinas kesehatan. Di film itu diperlihatkan bagaimana penderita demam bedarah bisa sampai muntah darah yang diperkirakan volumenya mencapai satu cangkir untuk sekali muntah. Bahkan disebutkan bahwa pada dekade itu mayoritas penderita demam berdarah tidak berhasil bertahan hidup.<br />
<br />
Empat tahun berselang. Pengalaman dirawat di rumah sakit itu seakan pudar. Hampir lupa bagaimana rasanya. Hanya tersisa kenangan gara-gara saya sekolah di Jalan Cihampelas, jalan yang sama dengan alamat rumah sakit itu.<br />
<br />
Suatu hari, saya dan beberapa kawan pulang dari Lembang melewati jalan setapak menuju Dago. Saat itu kami baru selesai pertandingan liga sepakbola antar kelas. Pemandangan yang indah di pegunungan, dan sepi sehingga tidak perlu ada polisi. Jadi tidak perlu khawatir ditilang oleh polisi. Lagipula jalur yang kami lewati adalah daerah gunung dan perkampungan.<br />
<br />
Sebagaimana biasanya jalan di daerah gunung, jalan yang kami lewati pun penuh tikungan dan tanjakan-turunan. Jiwa anak muda rupanya membuat kami tak terkendali. Mesin Tiger 2000 dipacu untuk memberikan sensasi berkendara. Mumpung jalanan sepi. Sampai akhirnya sebuah rambu mengejutkan kami dan harus segera rem mendadak. Di sebuah pinggir turunan berdiri satu plang merah bergambar tengkorak.<br />
<br />
Di jalan aspal kasar berkerikil itu kami (beserta motor) terpeleset beberapa puluh meter, dan berhenti satu meter di pinggir tikungan. Beberapa warga segera membantu kami ke rumah terdekat. Saya melihat-lihat keadaan di sekitar. Ternyata satu meter dari tempat saya terbaring tadi adalah tebing setinggi kisaran 3 meter. Di sebelah tebing itu adalah tanah yang digunakan warga untuk berkebun. Di kebun itu, ditancapkan potongan-potongan bambu untuk memberdirikan tanaman-tanaman.<br />
<br />
Bila ada orang jatuh dari tebing, lalu potongan-potongan bambu itu menembus tubuhnya, bagaimana jadinya? Pantas saja dipasang rambu tengkorak.<br />
<br />
Rasanya kematian begitu dekat. Saat terkena demam berdarah, jaraknya tinggal beberapa jam. Dan saat kecelakaan motor itu, jaraknya tinggal sekitar satu meter. Menyadari hal ini, saya mulai terpikir anggapan-anggapan. Saat demam berdarah, bisa jadi Sang Pemilik Hidup menunda kematian beberapa jam sebelum jadwal malaikat menjemput. Dan saat kecelakaan itu, bisa jadi Sang Maha Berkehendak memanjangkan cerita hidup dengan memasang penghalang satu meter dari maut.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
Ya. Bisa jadi, bisa jadi, dan bisa jadi. Meski epilog sudah ditentukan, Sang Penulis bisa mengubahnya. Walau saya pribadi tak mengetahui apa yang menjadi alasan-Nya. Seperti waktu untuk hidup telah habis, tetapi Penguasa Langit memberikan lagi kesempatan untuk -melanjutkan- hidup.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEil77iMzW77KAvSzE9rzF9hub8TqI6sb1iin16I3udOYNuYapRmgChxvFqRMbK5_dEmFxq8_CBHta05-NaqJ5vihp-8e3qmJH7XEEDlXqNGCcxtdesEshmS8u8mzsQqk_YFZE6SrudKdJau/s1600/Photo0874.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="220" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEil77iMzW77KAvSzE9rzF9hub8TqI6sb1iin16I3udOYNuYapRmgChxvFqRMbK5_dEmFxq8_CBHta05-NaqJ5vihp-8e3qmJH7XEEDlXqNGCcxtdesEshmS8u8mzsQqk_YFZE6SrudKdJau/s1600/Photo0874.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
Kita. Kiranya diberikan kesempatan untuk hidup kembali, mau melakukan apa?<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
2 Safar 1436</div>
<div>
<br /></div>
Adit Puranahttp://www.blogger.com/profile/05973687161754216275noreply@blogger.com4