Ke Tanah Suci #1: Datang dengan Cinta

Bisa menginjakkan kaki di tanah suci adalah sebuah impian bagi kami para muslim. Terlebih lagi bila menapakkan kaki sebagai jama'ah haji di bulan Dzulhijjah. Keinginan itu sempat saya ucapkan saat masih kecil kelas 3 SD, tahun 1995. Masih teringat jelas, salah satu foto yang dipajang di sebuah ruangan adalah foto ka'bah yang sedang dikelilingi para pentawaf. Ketika itu, saya sempat memandangi foto tersebut, dan berandai-andai menjadi bagian dari pusaran manusia yang arahnya berlawanan jarum jam itu. Cukup larut membayangkan, hingga keharuan menyelimuti batin dan membasahi mata.

Teladan dalam Keheningan

Sebuah siang bolong. Perkuliahan di hari ini selesai jam 10-an. Masih banyak waktu luang untuk hari ini. Berhubung tak ada agenda apa-apa dengan teman kuliah, saya pun akhirnya memilih untuk mampir ke sekre. Istirahat sejenak, ngobrol dengan teman seorganisasi, atau apa lah. Seperti biasanya, kisaran pagi hingga jam 2 ruangan-ruangan sekretariat hampir selalu sepi. Biasanya hanya ada beberapa orang yang mengisi dan berlalu-lalang di dalamnya. Memang demikian adanya. Pagi hingga menjelang ashar biasanya digunakan untuk kepentingan perkuliahan. Bilamana bukan ada jadwal kuliah, umumnya diagendakan untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah. Siang menjelang ashar, menjadi permulaan waktu luang di luar kepentingan perkuliahan. Ada yang melanjutkannya untuk nongkrong, main, istirahat, mengaji, aktivitas organisasi, dan lain-lain. Intinya, ada jam tertentu yang menjadi momen di mana orang-orang punya waktu luang.

Kenapa Saya Gak Pernah Mencalonkan Diri Jadi Ketua?

"Tuh, si Adit yang nggak pernah mau jadi ketua mah!" Tak sengaja saya mendengar ada seorang teman yang mengatakan demikian. Bisa dimaklum lah mengapa dia berkomentar begitu, itu karena saat masih aktif kuliah saya tak pernah mencalonkan diri dan menolak saat pernah ditawari jabatan struktural. Saya yang mendengarnya pun lebih memilih untuk sekedar senyum tanpa mengatakan apa-apa. Dia memang benar, saya memang tak pernah mau mencalonkan diri untuk menjadi ketua, dan untuk beberapa situasi saya memang memilih untuk menolak dicalonkan. Lagipula, orang-orang di dekat kami tak membutuhkan jawaban ataupun penjelasan dari saya mengenai alasannya. Memangnya penting untuk langsung dijawab? bahasa tubuh mereka tak mengisyaratkan keinginan untuk tahu alasannya, dan yang pasti mereka tak mempertanyakan "..kenapa?"