Kenapa N250?

Bandung, 10 Agustus 1995. Sebuah hari di mana satu sejarah besar telah terjadi, untuk pertama kalinya bus terbang karya anak bangsa telah mengudara. Sebenarnya sebelum itu ada pula sebuah model yang berhasil mengudara, yaitu CN235 yang dibuat atas kerjasama dengan CASA. Setengah buatan CASA, setengahnya lagi buatan IPTN. Namun model yang diterbangkan perdana pada 10 Agustus 1995 ini lain, buatan Indonesia asli. 17 tahun berlalu semenjak momen itu, menyisakan kenangan yang mengusik hati pemerhati dan pecinta dirgantara negeri, begitu juga untuk kalangan ahli teknologi. Namun hidup terus berjalan, situasi harus langsung direspon dengan tindakan. Perlahan kita mulai melupakan luka lama cerita dikandangkannya N250, karena harus segera menatap-merencanakan-membangun masa depan negeri ini. Namun pada selingan waktu, terbesit pertanyaan: kenapa hanya pesawat model N250 yang dibuat?

Nangor Trip

Jum’at (21/12/2012) saya berkesempatan kembali menginjakkan kaki ini di bumi Jatinangor, sebuah daerah di sebelah Timur Bandung yang menjadi penengah antara Cileunyi dan Tanjungsari Sumedang. Mumpung ke Jatinangor, saya sempatkan pula untuk singgah ke sebuah wilayah di sekitaran sana, tepatnya Cibeusi. Sekalian numpang shalat Jum’at, sekalian mampir ke tempat tinggal teman. Tak ketinggalan, tentunya sekalian cari tempat untuk makan siang. Berhubung rumahnya tutup, saya tak jadi bertemu dengan teman yang tinggalnya hanya beberapa meter dari masjid tempat saya Jum’atan.

Nonton Film Nostalgia IPTN

Manakala hati menggeliat mengusik renungan
Mengulang kenangan saat cinta menemui cinta
Suara sang malam dan siang seakan berlagu
Dapat aku dengar rindumu memanggil namaku

Alhamdulillah, Jum’at (21/12/2012) ini akhirnya kesampaian untuk menonton film Habibie & Ainun yang -jujur saja- sudah sangat saya nantikan tayangnya semenjak Perahu Kertas 1 masih mampir di bioskop. Mengapa saya sangat menantikannya? Karena saya orang Bandung, yang saat SD bersekolah di Kota Kembang ini. Sebuah kota di mana Pak Habibie paling banyak menghabiskan waktunya dalam bakti pada negeri ini. Kota ini menyimpan banyak cerita tentang beliau. Bahkan mungkin jauh lebih banyak dari lembaran-lembaran cerita yang terdokumentasikan. Bukan sekedar SMA yang mengawali kisah mereka, dan Jalan Ranggamalela (dekat Sulandjana), tapi juga lapang terbang IPTN beserta hanggarnya, para karyawan IPTN, dan segenap warga Bandung.

Kecil Namun Sarat Manfaat

Suatu Ahad. Pagi-pagi sekali saya diminta ibu untuk memetik beberapa helai daun Sukun yang pohonnya ada di sebuah masjid tempat saya biasa menunaikan shalat berjama’ah. Saya sudah familiar dengan masjid tersebut beserta jajaran pengurusnya, karena memang saya aktif di masjid tersebut sebagai salah satu pengurus yang bertanggung jawab pada beberapa program. Jadi cukup familiar dengan keadaan di sana, termasuk tahu apa yang harus dilakukan bila ada keperluan mendadak. Mungkin hal itu pula yang menjadi alasan ibu memilih saya untuk disuruhnya memetik beberapa helai daun Sukun di halaman masjid. Setidaknya karena saya lebih mengerti harus bagaimana teknisnya bila sudah ada di masjid, juga tak sungkan untuk menggunakan beberapa peralatan yang ada di sana.

Saatnya Berpisah

Berpisah. Siapa yang senang dengan istilah yang satu itu? Rasanya tak ada, kecuali mereka yang dengan sengaja memikirkan perpisahan dengan nasib buruk, kabar duka, atau hal-hal jelek lainnya. Sedangkan saya sendiri, tentu saja tidak menyukainya. Terlebih lagi berpisah dengan orang-orang yang selama ini sudah akrab. Memang tak mengenakkan, namun begitulah kenyataan dalam perjalanan hidup yang mesti dilalui. Yang tersisa hanyalah pesan terakhir: “Keep in touch ya!” Meski jarak terbentang hingga sulit lagi bercengkrama, semoga adanya teknologi dapat melipat jarak hingga jadi lebih singkat. Seperti kata orang terdahulu, “Teknologi membuat jarak menjadi tak berarti.” Semoga saja benar demikian. Karena untuk dapat berkomunikasi secara langsung pun butuh waktu yang tepat.

Nova


Ba’da Isya. Saya sedang menikmati lembar demi lembar sebuah buku, tiba-tiba handphone saya berdering. Ada sebuah SMS, isinya: “Jarkom. Tok tok tok. Assalamu’alaikum. Sahabat, punya kesan pas kenal sama Nova? Kita bikin buku yuk buat Nova! Isinya puisi boleh, cerita boleh.. Pekan depan dikumpulin ya supaya bisa dikadoin ke nova :D” Baiklah. Akhirnya saya putuskan (sesuai dengan ‘ladang’-nya saya): saya akan menulis cerita, sebuah cathar.Saya tidak begitu ingat kapan pertama kali menemukannya. Yang jelas saat itu film silat dubbing tentang kerajaan-kerajaan di Indonesia lagi populernya. Salah satu bintangnya saat itu adalah Jane Wenas, yang memerankan tokoh putri duyung yang sakti. Karena agak sering menonton film-film beginian, jadi agak familiar dengan wajah-wajah pemeran. Kadang sampai teringat.

Memberi

Memberi ya memberi, hanya itu. Tak perlu ada pengharapan akan balas jasa, tak usah berpikir mereka akan mengapresiasi. (anonim)

Menjadi panitia qurban menjadi pengalaman tersendiri bagi saya yang aktif di sebuah masjid dekat rumah. Bisa terus mendapat ilmu baru, bercengkrama dengan orang-orang, bergaul dengan tetangga, mengembangkan kemampuan, menyalurkan manfaat untuk ilmu yang sudah dipelajari, dan tentu saja suka-duka menjalani program kerja atau kegiatan. Khusus untuk event Idul Adha (qurban), biasanya sepulang dari masjid badan berbau daging dan darah, hujan-hujanan, lelah pikiran, dll. Beraktivitas penuh dari dini hari hingga malam tentu saja berkesan, karena sepulangnya langsung terkapar di kamar.