Manakala hati menggeliat mengusik
renungan
Mengulang kenangan saat cinta
menemui cinta
Suara sang malam dan siang seakan
berlagu
Dapat aku dengar rindumu memanggil
namaku
Alhamdulillah,
Jum’at (21/12/2012) ini akhirnya kesampaian untuk menonton film Habibie &
Ainun yang -jujur saja- sudah sangat saya nantikan tayangnya semenjak Perahu
Kertas 1 masih mampir di bioskop. Mengapa saya sangat menantikannya? Karena
saya orang Bandung, yang saat SD bersekolah di Kota Kembang ini. Sebuah kota di
mana Pak Habibie paling banyak menghabiskan waktunya dalam bakti pada negeri
ini. Kota ini menyimpan banyak cerita tentang beliau. Bahkan mungkin jauh lebih
banyak dari lembaran-lembaran cerita yang terdokumentasikan. Bukan sekedar SMA
yang mengawali kisah mereka, dan Jalan Ranggamalela (dekat Sulandjana), tapi
juga lapang terbang IPTN beserta hanggarnya, para karyawan IPTN, dan segenap
warga Bandung.
Sadar
akan tayangnya film ini di bioskop tanggal 20 Desember 2012, pikiran ini pun
menelusuri ingatan-ingatan masa lalu tentang sosok legendaris bernama Bacharuddin
Jusuf Habibie ini. Kenangan yang bagi saya langsung mengingatkan pada burung
besi kebanggaan dengan kode N250. Sesegera mungkin saat ada kesempatan, saya
pun mendownload video terbang perdana N250. Mengenang prosesi salah satu kisah
saling bersejarah di kota ini: Gatotkoco pertama kali terbang. Mengharukan,
sekaligus menyesakkan. Membanggakan, sekaligus menyedihkan. Mengharukan melihat
bagaimana akhirnya pesawat asli buatan anak-anak negeri ini berhasil terbang,
namun menyesakkan mengingat IPTN ditutup. Membanggakan melihat hebatnya pesawat
turboprop yang satu itu, namun menyedihkan karena N250 dikandangkan. Ah,
rupanya air mata ini menetes. Mengenang masa lalu IPTN dan membandingkannya
dengan sekarang. Bagi saya, cuplikan terbang perdana N250 ini sudah cukup
menguras emosi.
Tahun
90-an, saya masih SD. Ada sebuah kalimat yang selalu dikatakan bibi untuk
membuat saya semangat belajar: “Dek, belajar yang rajin! Biar bisa bikin kapal
terbang kayak Pak Habibie.” Selalu begitu, orang-orang di sini dengan fasihnya
bercerita tentang IPTN tempat ngantornya Pak Habibie yang menteri itu. Bila
lewat jalan yang melintas di pinggir landasan pacu IPTN, dan saya menanyakan
itu bangunan apa? Bibi selalu bilang: “Itu hanggar, tempatnya Pak Habibie bikin
kapal terbang.” Bayangkan! Seorang menteri rutin pergi ke Bandung untuk bekerja
perbengkelan. Di mata saya saat itu, gedung-gedung itulah yang terhebat di
Bandung. Sederhana, tidak begitu besar dan luas, namun efektif dan kinclong.
Itu membuktikan bahwa setiap jengkal yang ada di komplek IPTN berfungsi
sebagaimana mestinya tanpa ada yang sia-sia. Mungkin di sisi-sisi lain di kota
ini, ada orang tua lain yang bercerita hal yang serupa tentang Pak Habibie dan
IPTN-nya. Mungkin dulu ini pula yang membuat anak-anak Bandung rajin belajar
ingin masuk ITB supaya bisa ikut membangun industri pesawat terbang bersama
beliau. Ya, industri pesawat terbang. Sementara negeri matador baru berani
menamai bengkelnya dengan sebutan “Konstruksi” (Construcciones Aeronauticas), Indonesia sudah berani menamainya
“Industri”. Beliau sepertinya mau membangun optimis negeri ini melalui
keberaniannya menamai IPTN.
Agustus
1995. Orang-orang berisik mengingatkan bahwa pesawat N250 akan terbang perdana
pada tanggal 10-nya. Entah berapa orang yang mengingatkan, karena saking
banyaknya. Itu menunjukkan bahwa Rabu 10 Agustus 1995 adalah hari yang dinanti.
Orang-orang menonton untuk melihat bagaimana N250 keluar dari hanggar dan
take-off. Setelah take-off, orang-orang pun ada yang ke luar rumah dan gedung,
berharap bisa melihat langsung N250 tengah mengudara. Menyambutnya dengan
lambaian tangan. Saat itu, saya beruntung ditakdirkan menjadi salah satu anak
yang melihatnya pertama kali mengudara didampingi 2 pesawat (dokumenter). Asa
melambung tinggi, melayang mengikuti sayap Gatotkoco. Ah, mata ini mengembun
lagi.
Cinta kita melukiskan sejarah
Menggelarkan cerita penuh suka cita
Sehingga siapa pun insan Tuhan
Pasti tahu cinta kita sejati
Kenangan-kenangan
itu saya bawa ke ruang bioskop, kursi A-6. Kumpulan memori yang menemani
tertujunya tatap mata ini pada scene demi scene film yang mengisahkan awal
perjumpaan Habibie muda dengan Ainun, hingga bagian akhir di mana Habibie
mengunjungi makam almarumah Ainun. Selama 2 jam di tempat duduk itu,
berkali-kali pula saya menahan diri agar mata ini mampu membendung airnya.
Terlebih lagi saat memperlihatkan sebuah sudut gedung yang sangat familiar
dalam benak: IPTN.
Ada
keharuan yang menelisik dada, membuat jantung dan paru ini terasa sesak. Bukan
hanya karena alur ceritanya, tapi juga karena kami pernah menjadi saksi karya
mereka untuk negeri ini. Kebanggaan yang terpancar dari hanggar di Bandara
Husein (jaman dulu) mampu menceritakan betapa jenius pemimpinnya. Pastilah
hebat cinta dan sokongan istrinya hingga beliau bisa sejauh itu pencapaiannya.
Jenius saja tak cukup, butuh cinta yang besar untuk pengabdian besar dalam mendirikan
prinsip besar hingga meraih pencapaian besar.
Tahun
1998, Pak Habibie dipercaya menjadi presiden. Menuntut sumbangsih kedua
pasangan ini bagi Indonesia. Mengenal betapa pentingnya sosok Bu Ainun dalam
pencapaian Pak Habibie, rasanya saya mulai mengerti bagaimana besarnya peran
sosok istri beliau bagi kemajuan bangsa. Bila tak ada Bu Ainun yang selalu
mendukung dan mengingatkan, mungkin beliau tak akan sebaik ini. Begitulah
prestasinya Bu Ainun. Ada istilah “Pak Presiden”, begitu juga istilah “Bu
Presiden”. Namun tak ada istilah “Bapak Negara”, yang ada hanyalah istilah “Ibu
Negara”. Tak ada istilah “Bapak Pertiwi”, yang ada hanyalah istilah “Ibu
Pertiwi”. Perjuangannya Bu Ainun tersimpan di balik perjuangannya Pak Habibie.
*Anda mungkin tak pernah merasakan
betapa bangganya dulu saat melihat IPTN sedang jaya-jayanya. Anda mungkin tak
pernah merasakan betapa inginnya ke luar rumah, dan keharuan saat melihat N250
terbang di langit Bandung. Bila Anda merasakan suasana saat itu, mungkin Anda
akan tahu mengapa saya yang seorang lelaki bisa sampai menangis gara-gara
menonton film ini.
Aahh..
Film yang sangat menguras emosi. Bukan karena romansanya, tapi karena
percampurbauran antara kenangan dan impian rakyat Indonesia. Bila Anda punya
orang tua atau paman-bibi yang pernah bekerja di IPTN (bukan PT.DI), dan
mengajak mereka nonton film ini, mungkin sesudahnya mereka akan mendongeng
panjang tentang seperti apa dulu IPTN dan N250. Bahkan mungkin Anda akan
melihatnya menangis saat mendongeng. Saat itulah Anda mungkin bisa merasakan
pengorbanan dan karya mantan menristek yang satu itu. Ah, lagi-lagi saya menitikkan
air mata.
Sekitar 2 km dari IPTN,
21/12/2012
0 comments:
Post a Comment