Ba’da Isya. Saya sedang menikmati lembar demi lembar sebuah
buku, tiba-tiba handphone saya berdering. Ada sebuah SMS, isinya: “Jarkom. Tok
tok tok. Assalamu’alaikum. Sahabat, punya kesan pas kenal sama Nova? Kita bikin
buku yuk buat Nova! Isinya puisi boleh, cerita boleh.. Pekan depan dikumpulin
ya supaya bisa dikadoin ke nova :D” Baiklah. Akhirnya saya putuskan (sesuai
dengan ‘ladang’-nya saya): saya akan menulis cerita, sebuah cathar.Saya tidak begitu ingat kapan pertama kali menemukannya. Yang
jelas saat itu film silat dubbing tentang kerajaan-kerajaan di Indonesia lagi
populernya. Salah satu bintangnya saat itu adalah Jane Wenas, yang memerankan
tokoh putri duyung yang sakti. Karena agak sering menonton film-film beginian,
jadi agak familiar dengan wajah-wajah pemeran. Kadang sampai teringat.
Suatu hari, pandangan saya terpaku saat melihat sebuah sosok
jilbaber yang baru turun dari tangga di gedung FIP (FIP lama). Saya tak bisa
berkomentar banyak tentang jilbaber ini selain wajahnya yang mirip dengan salah
seorang bintang di sebuah film silat itu, Jane Wenas. Saya juga tak berpikir
siapa dia di fakultas ini. Sekedar berpikir: di kampus ini ada juga ya, yang
wajahnya mirip kayak artis di film dubbing gituan.
Cara pandang saya kepada jilbaber yang satu ini sama halnya
dengan cara pandang saya terhadap orang lain yang tak saya kenal siapa dia,
sebatas tahu bahwa dia kuliah satu kampus dengan saya. Anggapan itu berubah
saat saya menjalani hari-hari sebagai bagian dari sebuah unit di Salman ITB. Di
depan gedung kayu saya kembali diperlihatkan sosok jilbaber ini. Kaget juga,
siapa tuh orang? Kok dia ada di sini ya? Owh, ternyata dia kakak PAS (Pembinaan
Anak Salman).
Kantor jurusan pindah. Pindah ke sebuah tempat yang lebih
terisolir, sehingga kita bisa lebih tahu mana yang mahasiswa jurusan Psikologi
dan mana yang mahasiswa jurusan lain. Di sinilah, pada sebuah momen, saya
kembali menemukan Mbak Jilbaber ini. Baru nyadar, ternyata dia adik angkatan
saya. Namun, walaupun sudah tahu dia adalah adik angkatan saya, dan sama-sama
aktif di Salman, tetap saja saling cuek. Di kampus, cuek. Di Salman, kagak
peduli. Karena kenyataannya kami memang tak saling kenal, dan tak ada niat
untuk saling kenal. Saya berpikir bahwa saya bukanlah sosok yang perlu dia
kenal, karena di kampus saya tak pernah menjadi pengurus Himpunan (dulu namanya
masih Himpunan), jadi tampaknya tak akan penting bagi dia untuk mengenal saya.
Lagipula dari gelagatnya sudah tertebak, dia yang jilbaber pasti masuk Rohis.
Berbeda dengan saya yang aktif di Humas (bidang Media dan Komunikasi), walau
bukan sebagai pengurus. Jadi, tak ada alasan untuk mau mengenal.
Entah ada kabar kabar burung dari mana, tibat-tiba saja saya
dapat SMS yang aneh. Kurang lebih isinya: “Assalamu’alaikum. Teteh2/Akang2
diundang untuk kumpul sharing tentang Rohis Psikologi dari periode ke periode.
Tempatnya di selasar al-Furqan, besok lusa jam setengah 1.” Busyeeettttt!
Kenapa ada SMS beginian yang terkirim pada saya? Salah kirim kali ya! Seperti
kata Bang Haji, sungguh ter..la..lu! Saya tak mau pusing memikirkan hal ini,
anggap saja mungkin pengirim SMS ini salah kirim. Walau saya sudah meminta
klarifikasi tentang kepada siapa SMS tersebut dialamatkan, dia mengatakan bahwa
SMS itu untuk Kang Adit. Yah, mungkin dia salah orang. “Punten, di angkatan
2004 yang namanya Adit itu ada 2. Saya mah adit humas, mungkin yang Akang/Teteh
maksud itu adit yang satunya lagi.” Begitulah saya membalas SMS dari sebuah
nomor yang tak saya ketahui siapa pengirimnya.
Akhirnya secara tak sengaja saya tahu itu nomor siapa. Bukan
dari siapapun, juga bukan mencari tahu melalui pusat data mahasiswa di jurusan.
Melainkan dari sebuah pamflet di mading jurusan. Di pamflet tersebut tertera
nomor kontak panitia, yang seketika itu pula saya klarifikasi nomornya. Saya
dapatkan siapa nama si pengirim SMS. Owh, ternyata namanya Nova. Cukup segitu,
tak lebih. Di kampus tetap cuek, di Salman tetap tak ada saling sapa. Seperti
orang yang tak pernah mengenal (karena memang tak kenal).
Hampir 4 tahun berlalu...
Nova Diasari. Begitulah nama lengkapnya (katanya sih begitu).
Saya baru mengenalnya saat Ririungan Penulis baru dibentuk. Nama lengkapnya
saya ketahui dari keikutsertaannya dalam antologi pertama “Kita Pernah Melukis
Pelangi”, dan saya mulai mengenalnya saat kopdar pertama di pelataran masjid
al-Furqan.
“Akang teh dulu jualan roti ya?”
“Iya, kok tahu?” Saya heran, karena dia angkatan 2007.
Sedangkan tahun 2007 saya sudah tak lagi jualan roti.
“Iya, Teh Anita cerita.”
Wah, sepertinya dia tahu banyak tentang saya (walau entah
dari siapa saja). Haduuuuuhhh... malu juga. Nih anak tahu tentang saya, padahal
saya tak tahu apa-apa tentang dia. Dia tahu saya dulunya dagang roti, sedangkan
saya tak tahu dulunya dia bagaimana. Betapa menyedihkannya diriku.
Kesan-kesan? Yah, sebagaimana kesan yang saya rasakan dari
akang-akang dan teteh-teteh angkatannya yang aktivis Rohis, hanya satu: segan. Malah
merasa sangat segan. Di mata saya mereka seperti ustadzah/ustadz muda di antara
mahasiswa. Sebagaimana saya memandang seniornya di Jurusan Psikologi seperti
Ustadz Agung, Ustadzah Yanik, dst. Maka begitu pula saya memandang Nova, ada
rasa segan pada sosoknya sebagai ‘Ustadzah’ di jurusan. Dan anehnya, walau saya
adalah provokator berdirinya Ririungan Penulis ini, tetap saja ada rasa segan
padanya. Padahal -katanya- Nova sekedar ikut nimbrung.
Segan. Terang saja saya merasa segan padanya. Lihatlah siapa
dia di kampus ini! dan lihat bagaimana orang-orang menghormatinya.
Selidik-selidik, ternyata dia adalah mantan ketua departemen di BEM Psikologi.
Wha.. berbeda dengan saya yang sekedar luntang-lantung mencari nafkah di luar
ruang kuliah. Dia yang dipercaya untuk memimpin rekan-rekannya di sebuah
departemen, sedangkan saya? Ahaha.. dulu sebelum Pelantikan Pengurus HIMA
periode 2005, dipercaya untuk menjadi anggota pun tidak. Dulu di Humas pun
sekedar membantu seorang sahabat, Bagus Taryana. Watir, dia kerepotan.
Nova yang sebegitu dihormatinya, dan saya yang -memilih untuk
dipandang- biasa-biasa saja. Ingat betul saat Uni (Intan Permatasari, 2004)
pernah mengadu pada saya, “Kamu kok mau-maunya sih jualan?” Saya mengerti
mengapa Uni mengadu demikian. Karena dulu, masih kentara anggapan bahwa hanya
orang rendahanlah yang berjualan di kampus. Sebagaimana saya dagang di
sekitaran kantor jurusan, wajar bila saya dicap sebagai orang rendahan. Pernah
belajar Sosiologi kan? Di jurusan Psikologi ini perbedaan ketua departemen Hima
dengan pedagang roti ibaratkan menteri dengan tukang cendol. Begitulah
gambarannya. Nah, dalam hal ini Nova adalah menterinya, dan saya adalah tukang
cendolnya. Seberapa penting sih mengenal si tukang roti dibanding mengenal beliau
yang tokoh departemen? Bukannya merendah, sekedar menuliskan keadaan apa adanya.
Beredar kabar bahwa 2 Juni 2012 ini Nova menikah. Ah, selamat
ya! semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Barakallahulaka
wabarak ‘alaik wajama’a bainakuma fii khair. Semoga sosok ustadzahnya terus
tumbuh di luar Jurusan Psikologi. [end]
*Tulisan ini dibuat dalam rangka menyambut
hari pernikahan Nova, pertengahan
2012. J
0 comments:
Post a Comment