Memberi ya memberi, hanya itu.
Tak perlu ada pengharapan akan balas jasa, tak usah berpikir mereka akan
mengapresiasi. (anonim)
Menjadi panitia qurban menjadi pengalaman tersendiri bagi saya yang
aktif di sebuah masjid dekat rumah. Bisa terus mendapat ilmu baru, bercengkrama
dengan orang-orang, bergaul dengan tetangga, mengembangkan kemampuan,
menyalurkan manfaat untuk ilmu yang sudah dipelajari, dan tentu saja suka-duka
menjalani program kerja atau kegiatan. Khusus untuk event Idul Adha (qurban),
biasanya sepulang dari masjid badan berbau daging dan darah, hujan-hujanan,
lelah pikiran, dll. Beraktivitas penuh dari dini hari hingga malam tentu saja
berkesan, karena sepulangnya langsung terkapar di kamar.
Jam 17.00, biasanya distribusi umum daging qurban di masjid kami sudah
selesai. Daging-daging sudah tersebar melalui pengiriman dan antrian. Dengan
kata lain, bisa dibilang jam lima sore itu seluruh aktivitas distribusi telah
usai. Kemudian dilanjutkan dengan acara ‘puncak’, yaitu beres-beres. Wajar bila
disebut acara puncak, karena bagaimanapun juga tempat penyelenggaraannya adalah
di masjid, tempat yang suci dan disucikan. Maka kebersihannya pun mutlak
dijaga.
Meski secara kasat mata itu adalah kegiatan puncak, kenyataannya tidak demikian
juga. Karena masih ada 1 karung cadangan yang sengaja dipisahkan untuk keadaan
darurat apabila panitia kekurangan daging untuk memenuhi jumlah mustahiq. Bagaimanapun
caranya, sekarung daging cadangan ini harus dibagikan! Meski sebentar lagi
sudah maghrib, meski cuaca sedang hujan, meski kebanyakan warga dan sebagian
panitia sudah beristirahat. Yang mesti dibagikan ini adalah daging yang bisa
busuk keesokan harinya, beda dengan zakat yang berupa beras atau uang yang bisa
disimpan lebih lama. Sah-sah saja bila mau pulang dan langsung istirahat, toh
sebelumnya sudah beramal seharian. Namun bila mau bermujahadah, melakukan
amalan dengan kualitas terbaik (ihsan),
ya berangkatlah untuk membagikan sisa daging tersebut.
Sebentar lagi maghrib. Meski sedang hujan, udara dingin, dan badan
letih, wayahna we berangkat lagi untuk membagikan sisa daging. Ke mana? Ya
tentu saja mencari orang-orang yang tepat untuk menerimanya, dan saya sudah
mengantongi nama si penerima. Mereka adalah pegawai TU di jurusan tempat saya
berkuliah, rumahnya di daerah Cipedes dekat Gerlong Hilir. Saya tak begitu tahu
berapa jarak dari Cijerah ke sana, namun ongkos bolak-balik sekitar sepuluh
ribu dengan waktu tempuh 1 jam sekali perjalanan. Setidaknya dengan waktu
tempuh dan ongkos angkot tersebut, bisa diperkirakan lah berapa jauh jaraknya.
*Bila nasib lagi baik, ada sahabat yang bisa mengantar ke TKP. Menemani
sebaran distribusi daging kepada mustahiq, pulangnya bisa nongkrong dulu beli
pempek di Pujasera Cijerah. Lagi-lagi, bila nasib sedang baiknya, saya bisa
ditraktir. Yah, namanya juga sahabat. Tak aneh untuk mau susah menemani. Karena
di jalan pun kenyataannya kami ngobrol banyak, termasuk hal-hal yang amat
personal. Juga tak aneh untuk traktir-mentraktir. Saya tak minta dia mentraktir
lho ya! Yah, terkadang ada saatnya saya yang mentraktir. Yang jelas,
persahabatan bisa membuat letihnya aktivitas seharian itu seolah tak terasa.
Tapi itu kalau ada, kalau tidak ya berarti sendiri saja mendistribusikannya.
Sampailah saya di TKP. Sebuah rumah kecil yang amat sangat sederhana
sekali. Sengaja diistilahkan demikian, supaya terbayang betapa minimnya keadaan
di sana. Lampu penerangan yang remang, 1 rumah dihuni oleh 3 keluarga, 1
keluarga menghuni 1 kamar, sedangkan ruang tamunya -yang terkadang dijadikan
garasi- digunakan untuk bersama-sama. Satu hal lagi, hanya ada 1 WC. Keadaan
yang sama sekali tak pernah terpikir saat berada di kampus.
Meski saya pun orang kampung yang tak aneh dengan model WC terapung
yang setengah terbuka, kenyataannya saya kembali menemukan WC dengan model yang
serupa di rumah tersebut. Bedanya hanya atap yang dipasang untuk mengantisipasi
hujan. Yang membuat saya tak habis pikir adalah bentuk sanitasinya yang amat
jauh dari standar ‘baik’ ala pemerintah. Dan hal itu ternyata masih ada di kota
tempat saya tinggal. Sayangnya lagi, itu ada di tempat tinggal orang yang saya
kenal. Duh.. duh.. duh.. Hampura abdi ya
Allah! Tak adakah yang lebih layak dari ini bagi mereka? #tepok jidat.
Hati ini terketuk melihat penampakan belakang dari rumah tersebut.
Serasa merasakan suasana acara ‘Bedah Rumah’ di sebuah stasiun TV swasta.
Kebetulan saat sampai di sana, saya yang numpang buang air besar merasakan
betul bagaimana suasana cubluk ala tradisional itu. Pintu berupa papan yang
bisa dipindahkan untuk menutup jalur masuk cukup disandarkan pada tembok. Bila
saya berdiri, bahu dan dada bagian atas bisa terlihat jelas. Siapapun yang
menggunakan fasilitas tersebut akan sangat memungkinkan untuk terintip. Anda
yang perempuan mungkin akan bergidik membayangkan bagaimana kesannya buang air
di tempat seperti itu. Sedangkan bagi Anda yang terbiasa fasilitas mewah dan
serba memenuhi standar, mungkin akan merasa jijik lalu takut untuk buang air di
sana.
Usai buang air, saya pun segera cebok lalu berwudhu. Maklum, momen
maghrib tak lama lagi berakhir. Shalat maghrib pun saya tunaikan di kamar
beliau yang berukuran sekitar 4 x 5 meter. Ah, mungkin lebih tepat disebut
bangunan rumah yang sebenarnya bagi beliau sekeluarga. Karena di ruangan kecil
itulah mereka sekeluarga tidur dan beristirahat. Di dalamnya ada tv, meja kecil
untuk belajar anaknya, buku-buku pelajaran. Jadi tak tepat lagi kalau sekedar
disebut kamar. Mengenal keadaan dalamnya, berkali-kali terlintas dalam benak:
“Masihkah kurang dua kantong daging qurban ini bagi mereka?”
*Maaf bila foto-fotonya kurang
jelas. Itu karena hape saya tak cukup kuat untuk optimal menangkap cahaya di
rumahnya yang amat redup itu.
***
Bila ada rezeki lebih dan berkesempatan untuk kembali berkunjung ke rumahnya,
ingin sekali memberi yang lebih dari itu. Memberi yang lebih dari yang biasa
saya beri. Tak mengapa bila mesti kehujanan hingga basah kuyup, keluar ongkos
lumayan banyak, kedinginan, dan keletihan. Bagaimanapun juga mereka adalah
orang-orang yang saya kenal, sebagaimana mereka pun mengenal saya. Beliau,
istrinya, anaknya, adik-adiknya. Mereka telah menerima dan menjamu saya di
rumahnya. Jadi, rasanya tak pantas bila saya begitu saja tak mempedulikan
keadaan mereka. Terlepas dari keadaan ekonomi yang melilit mereka,
tetap terbesit keinginan untuk berbagi dengan mereka.
Terkadang tak perlu alasan untuk memberi, meski terkadang ada alasan yang menguatkan keinginan tuk memberi.
Teringat rumah beliau
02/12/2012
0 comments:
Post a Comment