Mungkin
sudah menjadi sebuah pemandangan yang jarang ditemukan melihat Bandung yang
berkabut di pagi hari, sekitar jam 6 sampai jam 7. Terlebih lagi dalam beberapa
tahun terakhir pasca 2004 di mana terjadi peningkatan volume kendaraan yang amat
pesat. Sebagai catatan, sebelum 2004 jalanan di Bandung tak begitu padat selain
di area pusat keramaian seperti Bandung Indah Plaza, Cihampelas, Pasar Baru,
dan Dalem Kaum. Bahkan jalan Cipaganti merupakan salah satu jalan yang
terbilang cukup sepi sehingga kendaraan bisa dipacu dalam kecepatan yang cukup
tinggi.
Mengenai
kesejukannya? Tak perlu ditanyakan bagaimana terkenalnya kesejukan udara di
kota yang pernah mendapat julukan Kota Kembang ini. Sepertinya hampir semua
referensi yang memperkenalkan Bandung secara umum selalu menyampaikan tentang
sejuknya atmosfer wilayah yang disebut “kota” ini. Bahkan -anehnya- hingga
2010-an masih saja ada buku yang menyebutkan Bandung sebagai kota yang sejuk.
Secara gitu! Istilah kota identik dengan bangunan-bangunan di mana pohon-pohon
ditebang untuk dijadikan lahan bangunan. Beberapa dekade silam Bandung memang
sempat dikenal sebagai Kota Kembang, hal itu dikarenakan memang banyak di tanam
pohon-pohon bunga di berbagai tempat umum, seperti: taman kota, ruang terbuka
hijau, pot-pot di trotoar, atau bahkan sepanjang pinggiran jalan raya. Menurut
kabar warga di daerah Pajajaran, dulu di sepanjang pinggiran jalan Pajajaran
berjejer pohon Kamboja. Bukan tanpa alasan, namun karena kabarnya itu adalah
jalur kendaraan dari Bandara Husein ke kantor-kantor pemerintahan, di mana
Presiden RI pertama kita menggunakan jalur tersebut. Menurut cerita warga, Bunga
Kamboja adalah bunga kesukaannya Founding Father negara kita. Itu dulu, lain
dengan sekarang.
Tahun
2000-an, pohon-pohon besar di area umum mulai banyak yang ditebang. Termasuk
pohon-pohon Kamboja. Kontan hal itu membuat keadaan jelas berubah, terutama
saat siang matahari tengah teriknya. Jalanan yang semula teduh adem ayem
menjadi panas silau. Salah satunya adalah perempatan Pasteur-Pasirkaliki
(Rancabadak), yang menjadi salah satu area ditebangnya pepohonan untuk
pelebaran jalan, fly over, dan gedung komersil. Salah satunya adalah area yang
kini telah menjadi salah satu pusat belanja, Bali Heaven. Dulunya area itu adalah
salah satu tempat yang amat teduh saat siang. Sekarang? Bisa dilihat dan
dirasakan sendiri. Rasanya tak pantas lagi menyebut tempat ini sebagai Kota
Kembang dan kota yang teduh.
Ada
satu lagi cerita yang tersisip mengenai pepohonan di Bandung pada dekade 90-an.
Banyaknya pohon besar di Bandung menyediakan banyak oksigen dan hawa sejuk bagi
seisi wilayah kota, itu belum ditambah kebun-kebun, persawahan, dan tanaman
liar. Melihat bagaimana banyaknya rupa tanaman hijau di kota ini, tak aneh bila
orang seperti melihat kota di tengah hutan. Karena memang kontur tanahnya yang
tak merata disertai volume tanaman yang tumbuh, dan kontur jalur Sungai
Cikapundung. Bahkan sebuah sekolah (SMA 2, sakola urang baheula) pernah
dikomentari: “Ieu sakola atawa leuweung?” (Ini sekolah atau hutan?).
Banyak
oksigen. Siang hari masih cukup sejuk, padahal banyak kendaraan bermesin
berlalu-lalang setiap harinya. Jadi, bayangkan saja bagaimana hawa kota ini
saat dini hari, shubuh, dan pagi-pagi. Sepertiga malam akhir hingga shubuh merupakan
momen suhu terendahnya, kemudian suhunya berangsur naik saat matahari mulai
tampak. Bila shubuh kita ke luar rumah, bisa ditemukan mobil yang kaca dan
body-nya berembun. Demikian pula dengan dedaunan-dedaunan. Tembok-tembok dan
tiang-tiang dingin lembap, maka tak heran bila di tembok-tembok mudah ditemukan
lumut.
Beberapa
menit selepas shubuh, embun-embun itu terpanaskan oleh matahari. Efeknya kabut
menyelimuti kota, seperti melihat bangunan dan objek-objek yang terhalangi asap
atau awan. Hembusan nafas bisa dengan jelas terlihat sebagai lugasnya perbedaan
antara suhu udara lingkungan dengan suhu udara keluaran metabolisme. Suasana
ini sering terjadi kisaran jam setengah 6 hingga jam 7. Berikutnya, karena
matahari semakin jelas dan menyebarkan panasnya, embun itu pun naik hingga
-puncaknya siang- dapat dilihat sebagai awan di langit biru. Sebagai catatan,
fenomena alam ini dapat terjadi bukan pada musim hujan.
Membandingkan
iklim Bandung yang sekarang dengan tempo dulu, tentu saja saya lebih menginginkan
yang dulu. Sejuk, teduh, adem ayem. Salah satu indikatornya adalah dengan
melihat keadaan ba’da shubuh hingga pagi. Berkabutkah?
Setelah
sekian lama, akhirnya 2012 ini diberikan kesempatan lagi untuk melihat Bandung
yang berkabut di pagi hari. Ah, beruntungnya diri ini karena setelah beberapa
kali tak kehilangan momen tersebut akhirnya saya dapat menuliskannya. Selama
beberapa tahun terakhir ini, sulit sekali menemukan kabut pagi meski kemarin
dan malamnya diguyur hujan. Semoga saja ini pertanda baik.
Kabut pagi di Cijerah
30/11/2012
0 comments:
Post a Comment