"Risih kenapa?"
"Risih karena aku nempel terus."
Saya ingat betul saat beberapa pekan silam ditanya demikian. Saya tak tahu pasti kenapa dia berpikir begitu, karena saya juga masih ingat pertemuan-pertemuan awal kami. Dulu sebelum berteman, saya mengenalnya sebagai sosok yang selalu pasang wajah jutek (pada saya). Ya, setiap kami bertemu, dia selalu pasang tampang garangnya.
Beberapa pekan setelah kami mulai berteman, ternyata dia minta ditemani ke ITB Jatinangor. Perjalanan singkat yang akhirnya memulai keakraban kami. Sejak saat itu, saya mulai menjadi temannya membicarakan hidup, membicarakan banyak hal. "Nyaman, ama bisa ngobrolin segala hal." Begitu katanya. Sejak itu, dia selalu mengajak ngobrol dan bila memungkinkan, kami pulang bersama.
Terkejut? Tentu saja. Dia pernah bercerita bahwa dulu suka sebal bila melihat saya. Kadang saya bengong sendiri, menjadi sering merenung. Dulu dia suka sebal, sekarang malah nempel terus. Untuk yang ke sekian kalinya, saya menggumam: hidup memang punya banyak kejutan.
Bulan demi bulan berlalu. Saya meminta bantuan padanya untuk menjadi pengajar pada Pesantren Kilat (Sanlat) di sebuah masjid dekat rumah saya. Sudah dua hari dia turut serta mengasuh anak-anak Sanlat. Salah satu ceritanya membuat saya kembali geleng-geleng kepala, dan tertawa sendiri.
"Mas, tadi ada anak baru. Namanya Naqta. Malah nempel-nempel nyender-nyender anak itu teh. Terus ngomongnya galak..."
"Wah, merasa risih ga?"
"Risih kenapa?"
"Risih karena dia nempel-nempel gitu."
"Ngga, kayaknya dia teh merasa nyaman."
Divergent |
Seiring mentari terbenam, kami tersenyum dan tertawa bersama. "Ah, terkadang apa yang kita hadapi sebenarnya adalah pantulan diri kita sendiri, Dek."
13 Ramadhan 1436
0 comments:
Post a Comment