Beberapa dari kita mungkin berpikir bahwa tulisan -apapun itu- menggambarkan siapa penulisnya, sebagaimana kita mengkategorisasi bermacam-macam tulisan berdasarkan konten, atau jenis tulisan. Ada sebutan yang lebih spesifik untuk menggambarkan bahwa seseorang adalah penulis. Bila kita melihat sisi jenis tulisan, mungkin yang akan kita temukan adalah sebutan-sebutan semacam: jurnalis, novelis, cerpenis, kolumnis, dll. Bergantung tulisan jenis apa yang biasa ditulisnya. Saat melihat dari segi konten, mungkin yang akan kita temukan adalah sebutan-sebutan: inspirator, motivator, ustadz/ustadzah, imaginator, romantic writer, dll. Bergantung dari konten apa yang menjadi trademark-nya si penulis. Tentang keilmiahan, agama, kuliner, hobi, cinta, biografi, berita, dll.
Kenyataannya, -harus diakui- ada cerita yang tak singkat dalam pencarian jati diri penulis. Baik saat menemukan jalannya mau menulis yang seperti apa dan menelusuri proses-proses dalam menyusun tulisan. Kedua hal itu jelas terjadi dalam hidup saya. 2004 saat saya mulai mengenal catatan harian (cathar), dan memutuskan untuk menjadi penulis cathar. Kemudian dilanjutkan dengan episode-episode menelusuri bahan-bahan tulisan. Dari mana saya mendapatkan bahan-bahan itu? Ya tentu saja dari kehidupan sehari-hari yang ada di sekitar, bisa di: dekat sekolah, bawah jembatan, perempatan, warkop, kios emperan, atau bahkan depan rumah. Seperti tulisan "Hijrahnya Seorang Preman Terminal" yang saya dapat dari pengalaman naik angkot Ciroyom-Lembang.
Anda mungkin mengalami hal yang sama. Berapa lama proses untuk menemukan jati diri sebagai penulis?
Karena saya adalah seorang penulis cathar, maka cara terbaik -menurut saya- untuk mengawetkan gagasan adalah dengan membuat catatan-catatan kecil yang harus ada untuk dibawa ke meja komputer. Setidaknya catatan-catatan itu akan berguna untuk membantu saya mengingat-ingat proses kejadian tempat saya melihat ada pelajaran hidup. Ya, pelajaran hidup. Itu yang hendak saya kemas dalam setiap cathar, lalu merangkainya untuk dilihat oleh pembaca. Bagi saya tulisan adalah untuk dibaca, apapun itu macam tulisannya. Itulah sebabnya saya tak pernah menyembunyikan satu pun karya yang sudah saya selesaikan. Posting di media umum seolah sudah menjadi barang wajib. Tentang merangkai isi, mungkin ini bagian tersulit dalam menulis cathar. Karena saya menulis cathar untuk mengemas hikmah, maka yang mesti saya lakukan adalah menentukan sudut pandang dan alur cerita di mana pembaca dapat melihat ada pelajaran untuk hidupnya.
Tapi di luar itu, saya masih belajar. Oh ya, satu lagi. Saya menulis bukan untuk menerbitkan buku. Bagi saya, lebih penting sekedar diposting di web namun banyak orang yang bisa memetik pelajarannya ketimbang dicetak dan menjadi best seller. Yang saya harap dari tulisan-tulisan itu hanyalah kebaikan yang terus mengalir. Insya Allah, semoga saja.
Pelajaran hidup, dan ketenangan. Hal itu yang saya lihat dari tema "Kesederhanaan" dan "Kebersahajaan". Maka kedua tema itu pula yang terus saya jadikan kacamata untuk menemukan gagasan demi gagasan dalam menulis. Selain mendapat pelajaran hidup, saya juga merasakan ada ketenangan yang tersisipkan di hati melalui dua tema itu. Dua tema yang sebenarnya dekat dalam kehidupan kita sehari-hari, meski di perkotaan tempat glamor dan popularitas dikedepankan. Memang agak sulit untuk bisa jelas melihat kedua tema tadi, sehingga membutuhkan kepekaan ekstra supaya bisa melihatnya. Dan satu hal lagi, menempatkan diri sebagai peran yang membuat kita dekat dengan kesederhanaan dan kebersahajaan.
Cara terbaik untuk dekat dengan kesederhanaan adalah menjadi orang yang sederhana. Saya sepakat dengan pendapat ini, dan itu pula yang membuat saya tertarik untuk sederhana dan apa adanya. Sebagaimana saya tertarik untuk menjadi orang yang bersahaja. Perihal tampak kucel, miskin, melarat, dan bau, itu hal lain. Terserah apa kata orang, saya hanya bisa bilang bahwa kesederhanaan dan kebersahajaan ini membuat saya merasa tenang. Dan sebagai keuntungan lainnya, saya mendapat ide-ide tulisan.
Karena temanya adalah kesederhanaan, maka cara menulisnya pun demikian: sederhana, apa adanya tanpa berlebihan. Bila yang saya temukan adalah sosok berpakaian lusuh, maka tuliskan berpakaian lusuh. Bukan berpakaian lusuh serta sobek-sobek di bagian lengan atau ditambah-tambahi ke-lebay-an lainnya. Saya masih berpikir bahwa cara terbaik dalam menyampaikan kesederhanaan adalah menyampaikannya dengan cara yang sederhana (yaitu bercerita), melalui bahasa dan istilah yang merakyat. Seperti lebih memilih istilah "cemas" dibanding "anxiety". Meski kedua istilah tadi maksudnya sama, namun ada kesan yang berbeda.
Pilihan untuk menjadi sederhana ini akhirnya menuntun saya untuk hidup merakyat. Menikmati angkutan umum, dan jalan kaki blusukan ke pelosok. Kenapa? Lagi-lagi jawabannya: rasanya menenangkan dan itu membantu saya untuk menemukan ide menulis. Parah-parahnya, saya mungkin akan menggembel. Pergi belum mandi tanpa membawa duit, lalu jalan-jalan.
Hehe... ngebela-belain jalan sampai kucel, bau, dan mengkhawatirkan demi menemukan ide menulis. Mungkin begitulah jati diri saya sebagai penulis. Penulis gembel. Yah, tak jarang saya menggembel untuk bisa belajar melukis senyum dari tema kesederhanaan dan kebersahajaan.
Malam temaram dalam diam
21/01/2013
0 comments:
Post a Comment