“Cemburu sama buku (nasib istri
pustakawan). Royal beli buku, nyampulin, dan merawatnya.” *Buneradya dalam
buku Catatan Hati yang Cemburu.
Rasanya ingin tertawa saat membaca sebuah kutipan komentar dalam buku
Catatan Hati yang Cemburu karya Asma Nadia dan kawan-kawan itu. Sampai
segitunya cemburu pada seorang pustakawan yang royal beli buku, nyampulin, plus
merawatnya. Selebihnya, sebagai penggila buku mungkin dia juga takkan sungkan
merogoh kocek untuk membeli rak sebagai rumah bagi buku-bukunya yang kian
bertambah butuh penampungan yang layak. Kenyataannya, itu pula yang terjadi
dalam hidup saya di mana dunia perbukuan adalah salah satu hasrat saya.
Sepertinya saya tak bisa memungkiri bahwa sumber-sumber bacaan adalah area yang
selalu saja membuat kedua mata ini jelalatan. Entah kenapa, saya hanya bisa
menjawab: mungkin itulah yang disebut dengan minat. Lebih tepatnya minat baca.
Tiga tahun terlewati semenjak penelitian saya tentang “Minat Baca” dan
“Minat Menulis” dipresentasikan di hadapan penguji. Pokoknya, misionaris banget
tuh skripsi! Saya sendiri tak begitu menyadari sejak kapan saya jadi senang
membaca dan menulis. Saat SD, saya senang baca komik. Beranjak SMA, saya mulai
membaca buku-buku pengembangan diri dan mulai familiar nongkrong di toko buku.
Sedangkan cerita tentang ketertarikan menulis dimulai dari buku harian kala
SMA, padahal sebelumnya pelajaran mengarang adalah salah satu pelajaran yang
tak saya sukai. Hehehehe...
Saya selalu percaya bahwa buku yang bagus bisa mengubah pembacanya
(alias berefek), sebagaimana buku yang tepat membuat pembaca menikmati
momen-momen membaca. Saya juga percaya bahwa membaca adalah hal yang baik untuk
dilakukan, itulah sebabnya selalu ada buku yang saya bawa saat bepergian ke
manapun. Saat hendak pergi ke kampus untuk kuliah, saya pastikan bahwa
setidaknya ada 1 atau 2 buku yang bisa mengisi waktu-waktu senggang. Padahal
bukan buku kuliah. Hehehehe... Teman saya pun ada yang sama-sama gebleg. Tak
jarang di kelas kepergok baca buku semacam “Mediamorfosis”-nya Roger Fidler, “Si
Botak Hagemaru”-nya Nomura Shinbo, atau “Catatan Hati Seorang Istri”-nya Mbak
Asma. Cuek saja!
Kata siapa orang Indonesia minat bacanya rendah? Lupa, statement dari
‘mana’ menyebutkan bahwa orang Indonesia minat bacanya rendah. Sulit untuk
mengiyakan dan menjelaskannya, yang jelas pernyataan itu tak sepenuhnya benar.
Kenapa? Dalam 10 tahun terakhir kita bisa melihat sendiri pertumbuhan jumlah
penyedia buku, entah itu toko, kios, emperan, perpustakaan, taman baca, perpus
keliling, book corner, kafe baca, bahkan komunitas baca. Awal tahun 2000
TB.Gramedia hanya ditemani oleh TB.Karisma dan TB.Gunung Agung di kelasnya,
sekarang sudah ada Togamas dan Rumah Buku (Supratman). Begitu juga dengan penyedia-penyedia
berbasis komunitas macam Tobucil, Bursa Buku Ganesha, Rumah Buku (Secapa),
kios-kios kecil, dan emperan buku jadul yang menjadi tempat huntingnya para
penggila buku. Bila Anda seorang penggila buku, Anda pasti tahu bagaimana
caranya mengincar buku-buku yang murah dan sudah sulit dicari. Yang jelas,
radar Anda akan tertuju pada tempat-tempat selain Gramed yang berani banting
harga. Parah-parahnya, mungkin Anda akan mempelajari pola perilaku ekonomi
perbukuan, seperti menelusuri pola “Best
Price Moment” di Togamas yang diskonnya lebih.
Belum berhenti di situ. Sesekali coba lihat bagaimana kelakuan para
pengunjung toko buku diskon! Kita bisa menemukan pelanggan yang beli 10 buku
sekaligus, bahkan lebih. Perlu diingat, mereka masih waras. Pikirkan juga! Hal
itu terjadi di toko buku diskon yang memberikan harga lebih murah dan pastinya
kebijakan harga ini akan berimbas pada gaji pegawai. Lebih kecil pemasukan,
lebih kecil pula sumber daya untuk menggaji pegawai. Tapi kenyataannya
finansial toko-toko buku diskon tersebut tetap stabil dan mampu menggaji
pegawai. Itu berarti toko buku diskon punya pelanggan yang menunjukkan minat
baca masyarakat Indonesia. Logikanya, bila minat baca masyarakat ini rendah,
takkan ada rangsangan untuk pertambahan bisnis penyedia buku.
Salah satu kios emperan langganan saya adalah kios buku bekas yang ada
di Gegerkalong Girang, dekat kampus UPI. Seingat saya, kios ini ada sejak tahun
2009. Sebagaimana kios-kios lainnya, kios ini pun menyediakan majalah dan buku
bekas. Tapi di tempat seperti inilah kadang kita bisa menemukan buku-buku jadul
yang tak kalah kualitas dengan harga miring. Sejadul apapun buku, isinya
tetaplah informasi yang berguna. Jadi, buku bekas bukan berarti tak layak
dibeli. 2 tahun silam, di kios ini saya pernah beli buku TOEFL seharga 25 ribu.
Memang sudah lusuh, tapi isinya saya yakin masih sama dengan edisi terbaru yang
harganya 200 ribuan. 8 kali lebih murah bo! Itu dulu, sekarang perhatian saya
tertuju pada 2 buku karya Sutarno NS: Perpustakaan & Masyarakat (2003), dan
Manajemen Perpustakaan (2004), yang keduanya merupakan cetakan pertama.
Harganya 10.000 (x + 142 hal.) dan 25.000 (xviii + 268 hal.). Lumayan!
Dua buku tentang perpustakaan, dari penulis yang sepertinya pakar dalam
hal kepustakaan. Saya tertarik mengambilnya untuk mengelola perpustakaan
pribadi di kamar. Walau kecil, tapi mudah-mudahan efektif dan membawa manfaat.
Selebihnya, syukur-syukur kalau bermanfaat bagi orang lain. Alasan lainnya,
karena hasrat saya pada dunia perbukuan yang mengantarkan ketertarikan pada pengembangan
minat baca dan menulis masyarakat Indonesia. Sejauh ini bagi saya semua itu
berawal dari bagaimana orang-orang tertarik pada sumber-sumber bacaan yang
salah satunya adalah perpustakaan dengan segala metamorfosisnya (taman bacaan,
book corner, kafe baca, dll.). Mungkin setelah penelitian tentang “Minat Baca
dan Minat Menulis” tiga tahun silam itu, saya akan melanjutkannya dengan
penelitian bertema “Persepsi Masyarakat Tentang Sumber Bacaan” yang lagi-lagi
bersifat misionaris, karena hasilnya akan digunakan untuk kepentingan
pengembangan minat baca. Bukan untuk kepentingan akademis.
Tenggelam dalam kelam malam
16/01/2013
0 comments:
Post a Comment