Tanpa diminta menceritakan, kisah itu terkuak dari salah seorang kakak saya. “Tadi pagi sempat mengantar anak-anak ke sekolah. Lalu sepulangnya, setelah mandi diteruskan main tenis meja. Saat di rumah, duduk di depan meja komputer, mulai tampak ada yang aneh. Beliau muntah-muntah, dibarengi keringat deras yang membasahi pakaiannya.” Tak ada yang menyangka bahwa itu adalah hari terakhirnya tentang kisah hidup beliau yang dijemput malaikat di saat yang sebenarnya cukup sehat untuk menjalani hidup. Masih bisa jalan sendiri, bahkan sempat mengantarkan anak ke sekolah dan main tenis meja. Cerita yang menjadi bukti otopsi bahwa beliau cukup sehat walau penyakit jantung menyelundup di balik kebugarannya. Seperti apapun kisahnya, sebuah kabar baik tersingkap: beliau pergi tanpa banyak menyusahkan, bertempat di rumahnya, di dekat keluarganya, dan tanpa sakit-sakitan (sekarat) berkepanjangan yang menyulitkan dari segi keuangan.
Malam di tengah gerimis, saya beserta ibu dan kakak berkunjung ke rumahnya. Menyalami sanak keluarganya dari pihak istri, juga anak-anaknya yang merupakan keponakan saya. “Dit, jadi imam!” tanpa banyak tingkah, saya pun menghampiri tubuhnya yang telah terbungkus. Menatapnya, terpana, tanpa berkutik sepatah kata pun di hadapan beliau. Segera mengambil tempat di samping kepalanya sambil berdiri menghadap kiblat. Ditemani ibu dan kakak yang berdiri agak di belakang saya. Takbir, al-Fatihah, takbir, shalawat, takbir, do’a memohon ampunan, takbir, do’a khusus jenazah, dan dua salam. Setelahnya, saya mengulang beberapa do’a, lalu termenung. Ini adalah kali pertamanya saya mengimami shalat jenazah. Sebuah peran yang memposisikan saya tepat berada di hadapan jenazah, tepat berhadapan dengan kepalanya. Bagian yang membuat jantung ini berdebar kencang, gugup sekaligus tegang dan takut akan kenyataan yang saya temui di hadapan.
Tak berkutik. Itu 2 kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan saya malam itu.
Pagi harinya. Saya kembali ke rumah tersebut untuk mengantarkannya menuju alamat terakhir beliau di TPU Sirnaraga. Tak ada pikiran apa-apa mengenai apa yang akan terjadi. Masih diguyur oleh rintik gerimis, keberangkatan menuju pemakaman agak terhambat oleh kemacetan di beberapa ruas jalan. Ini bukan yang pertama kalinya saya mengurus jenazah, karena sebagai salah seorang pengurus masjid, mengurus jenazah adalah salah satu ‘tugas dinas’ yang sudah lazim. Namun yang membedakan di hari ini adalah: sepertinya jalan terbuka lebar bagi saya untuk berperan penting di momen ini. Mulai dari menyalatkan, menulis di papan nisan, mengangkut keranda, dan ternyata saya kebagian nyungsep ke lubang galian sedalam hampir 2 meter. Ya, nyungsep untuk peletakkan jenazah. Kembali, jantung berdegup kencang. Peristiwa yang menampar kesadaran saya akan perjalanan hidup. Siang itu pun, saya tercengang, terdiam, termenung, membisu.
Innaa lillaah, wa innaaaa ilaihi raaji’un. Inna lillaah, sesungguhnya kita adalah milik Allah. Wa innaaaa ilaihi raaji’un, dan sesungguhnyaaaa kepada-Nya lah kita akan kembali. Kata “inna” (sesungguhnya) secara bahasa digunakan untuk memperlihatkan penegasan, dan ini yang disampaikan pada dua kalimat dalam salah satu ayat pada Qur’an surah al-Baqarah tersebut. Hanya saja pada “innaa” yang kedua bukan hanya bersifat mad ashli yang 2 harakat, tapi lebih dari itu. Seolah-olah ada penekanan yang lebih untuk kalimat yang kedua. Penting untuk sadar bahwa kita adalah milik Allah, dan sangat penting untuk sadar bahwa kepada-Nya lah kita akan kembali.
Sekitar jam 10, saya pun pulang dengan badan belepotan, sebuah kenang-kenangan yang menjadi saksi perenungan panjang tentang perjalanan hidup. Siang ini hujan seolah tiada henti. Sedikit deras, sedikit gerimis. Sisanya rintik kecil yang ditiup angin. Terus hujan, seolah langit tak berhenti menangis.
Siang di Cijerah
15/01/2013
15/01/2013
0 comments:
Post a Comment