Pertama kali bertemu, rasanya biasa saja. Bahkan terkesan sangat biasa, terlebih bila melihat penampilannya. Aktif di Salman membuat saya menghabiskan banyak waktu di gedung kayu, tempatnya para warga Salman beraktivitas. Di tempat itu pula saya mengenal sosok dia lebih dekat. Sosok yang bisa dibilang kontroversial. Mengapa saya mengatakannya demikian? Karena dia memang lain dari yang lain. Contohnya: mengontrak sebuah mata kuliah sampai 3 kali. Yang pertama dapat nilai C, lalu mengontrak kembali di tahun berikutnya hingga mendapat nilai A. Namun tahun berikutnya mengontrak kembali mata kuliah tersebut karena merasa tidak mengerti apa-apa, padahal sudah mendapat nilai A.
Saya sengaja menyebutnya "Beda", bukan menyebutnya "Hebat". Karena dia tak tampak "bersinar" layaknya artis yang populer melalui peran atau posisinya. Di unit tempat kami beraktivitas, secara hierarkis dia bukanlah siapa-siapa. Dia bukanlah sosok yang digandrungi dan dikenal oleh banyak orang. Dia juga bukanlah termasuk figur penting di unit ini. Lantas? Saya hanya terkesan pada bagaimana dia menjalani hidupnya. Salah satunya adalah pengalaman tentang mengulang mata kuliah tadi. Sebuah keputusan hidup yang membuat saya sangat tercengang, hingga banyak merenung.
Apa yang sebenarnya saya cari dari kuliah? Bila ilmu yang saya cari, seharusnya nilai tak menjadi ukuran. Apa yang sebenarnya saya cari dalam hidup ini? Bila keridhaan Allah yang saya cari, mestinya penghormatan dan penghargaan orang lain bukan ukurannya.
Selain cerdas, apa lagi yang saya lihat dari beliau? (sepertinya lebih tepat untuk menyebut "beliau" ketimbang "dia") Bila memperhatikan penampilannya, ada satu hal yang tampak jelas. Pakaian yang dikenakannya itu-itu terus. "Bila bukan kemeja yang merah, berarti yang kuning." Begitulah kata seorang teman. Memang demikian adanya. Dari awal saya menemukannya di sekitaran kampus hingga beliau lulus, memang begitulah penampilannya. Kemejanya itu-itu terus, sepatu hanya yang itu, begitu juga dengan tasnya. Jauh dari kesan mahasiswa berprestasi, padahal di Jurusan Teknik Mesin beliau adalah mahasiswa paling cerdas di angkatannya.
Beliau tak sungkan untuk mengajarkan tentang fisika praktis pada saya yang seorang mahasiswa Psikologi. Itu pun menjelaskan dengan porsi dan bahasa yang sederhana, sehingga bisa saya pahami. Seperti Termodinamika sederhana tentang pergerakan atom dalam sel. Tak jarang kami berdiskusi hal-hal semacam bahasan sains demikian."Kalor itu representasi dari aktifnya atom. Kalau saya pegang tembok, lalu temboknya jadi terasa lebih panas, itu karena atom-atom yang bergerak pada tangan saya bertumbukan dengan atom-atom di t embok, sehingga atom-atom di tembok pun ikut bergerak. Jadilah tembok pun ada panasnya." Lantas dari hal demikian, bisa saja jadi nyambung pada hal-hal yang filosofis. "Itulah sebabnya, panas identik dengan bergerak dan dingin identik dengan diam. Jadi bila dengan teman kita cuma saling diam, berarti tak ada kehangatan dalam pertemanan."
*Benar juga apa kata beliau. Semakin ricuh, justru semakin terlarut dalam suasana pertemanan.
Selain tak sungkan berbagi ilmu, beliau juga tak sungkan untuk meminjam buku. "Tak ada duit", begitu katanya. Begitu saya memiliki buku yang belum dibacanya, beliau tak sungkan untuk menghampiri dan bilang "Eh, pinjem dong!" Tak ada yang aneh. Sebagai teman, wajar bila saling berbagi dan mengisi. Kadang saya mentraktirnya, kadang beliau yang mentraktir saya. Rezeki siapa yang mengira? Kadang saya sedang dilancarkan, kadang giliran beliau yang dilapangkan. Yang penting adalah alokasi yang tepat, dan kalau memungkinkan, bisa berbagi.
Semuanya berjalan seperti biasa dan apa adanya, hingga suatu hari saya kesampaian juga main ke rumahnya. Beliau yang selalu bilang "Nggak ah.. nggak! ngapain?", akhirnya mengalah juga dan bersedia dikunjungi rumahnya. Tak ada prasangka apa-apa sebelum saya sampai ke rumahnya.
"Allahu akbar!!" Bila melihat bagaimana penampilan beliau selama ini, lumrah bila tak ada yang mengira apa saja yang ada di rumahnya. Rumah besar di sebuah komplek. Garasinya sanggup menampung beberapa mobil. Mencengangkan memang. Beliau yang di rumahnya terparkir mobil Mercedes Benz hanya naik angkot tiap ke kampus, begitu pula untuk pulang. Bahkan terkadang sampai cari tumpangan untuk pulang atau pergi. "Wan.. Wan.. bawa motor? Saya nebeng ya?!" Begitulah yang sering disampaikannya pada Wanda yang pernah tinggal tak jauh dari rumahnya. Padahal saudaranya pernah menyuruh beliau: "Bawa dong mobilnya! Jangan diparkir terus. Seenggaknya bawa gitu yang Mercy!"
Mencengangkan, tapi saya mengerti bahwa itu adalah pilihan hidupnya. Yang membuat saya terkesan adalah pilihannya itu yang berbanding terbalik dengan kebanyakan orang. Sementara orang-orang lebih suka tampil mentereng dan glamour, beliau malah memilih untuk tampil biasa-biasa saja. Padahal saat taraf ekonomi kebanyakan mahasiswa ITB baru motor sekelas Supra, tarafnya beliau adalah mobil Mercy.
Orang lain mungkin akan menyebutnya aneh, namun mesti saya akui. Itulah yang saya suka darinya. Sederhana, tak suka pamer.
Ke kampus bisa saja membawa Mercedes Benz, namun beliau lebih memilih naik angkot. Dari segi penampilan bisa saja tampil modis seperti kebanyakan orang, namun beliau lebih menikmati pakaiannya yang hanya beberapa. Melihat sosoknya serasa jelas bila hidup sederhana adalah pilihan, bukan masalah taraf ekonomi. Beliau adalah salah satu buktinya.
Ah, inginnya saya pun begitu, terlihat biasa-biasa saja. Bukan karena ingin dianggap sederhana, tapi selalu ada perasaan tenang saat melihat kesederhanaan. Setidaknya dengan melihat diri sendiri, jadi lebih tenang. Teu gagayaan. Punya sesuatu bukan untuk dipamerkan, namun untuk dimanfaatkan. Terima kasih, Bang Erik! Karena menunjukkan pada saya seperti apa itu hidup sederhana.
Sela-sela memori Turangga
20/12/2012
20/12/2012
0 comments:
Post a Comment