Suatu hari, di sebuah bus dalam perjalanan menuju rumah, saya berjumpa dengan seorang penumpang yang ramah. Lelaki beruban yang murah senyum, intonasi suaranya lembut, dan nyaman diajak bercengkrama. Dari curhatannya tentang jadwal pengajian pekanan di Viaduct dan sekolahnya di Pajagalan, obrolan beralih pada sebuah pertanyaan darinya: “Cik, kinten-kinten ceuk Ayi sabaraha yuswa abdi?” (Coba, kira-kira menurut Adek berapa umur saya?).
Dari penampilan wajahnya, saya menduga umurnya kisaran 50-an. “Sanes. Tos 70-an abdi mah.” Jawabnya sambil tertawa singkat. Sepertinya beliau sudah memperkirakan bahwa saya akan salah menebak. “Seueur da nu nyarios kitu” (Banyak yang bilang demikian). Begitu katanya. Jangankan saya, beliau pun terheran dengan dirinya yang orang kampung bisa tampak lebih muda ketimbang adiknya yang memilih hidup di kota. Padahal di kota, adiknya bisa lebih banyak makan enak.
Beliau hanya melihat dari perbedaan bagaimana adiknya dan dirinya menjalani hidup. Adiknya seorang perokok sedangkan beliau tidak merokok. Di kampung, makan seadanya dengan lauk-pauk berupa sayuran yang kebanyakan adalah mentah. Layaknya makanan ala kampung: nasi, lalapan, dan ikan plus sambal. Jam 3 malam bangun, shubuh ke masjid untuk shalat, mengaji sesaat, lalu berangkat berkebun saat langit belum terang. Siang pulang berkebun, istirahat sejenak dan merapikan hasil tani di dapur. Sore bercengkrama dengan tetangga, setelah maghrib kembali mengaji dan istirahat malam. Rutinitasnya seperti sudah dihafal. Beliau tahu kapan akan terdengar adzan, sehingga tahu kapan perlu bersiap ke masjid. Semua shalat wajib dan rawatibnya dilaksanakan di masjid.
Bagi orang kampung, perjalanan melewati satu gunung (tanjakan dan turunan) disebut dekat. Terbayanglah kiranya berapa jarak yang ditempuh kakinya, dan terbayar oleh beberapa ikat bahan makanan. Berkebalikan dengan di kota yang tinggal pilih, lalu bayar. Makanannya pun berbeda. Santapan lezat mengundang selera nan berminyak, sangat pedas, berpengawet. Tanpa banyak berkomentar tentang lezatnya makanan ala kota, beliau bilang “Syukuri aja!” sambil tersenyum.
Pict from google |
Pikiran saya mengawang teringat pada kehidupan ala kota yang berpenghasilan lebih tinggi, mewah, banyak makanan enak, dan lebih pemalasan. Untuk shalat isya ke masjid yang jaraknya ratusan meter pun mengendarai motor, padahal badan masih segar.
Seorang tukang urut pernah berpesan, “Kalau kolesterol, obatnya ya banyak bergerak sampai berkeringat. Kalau stress, bisa rentan sakit.” Jadi, adalah baik untuk banyak beramal, dan bersyukur. Seperti Pak Tua tadi, orang kampung yang berkebun dan murah senyuman.
Pergilah ke masjid dengan cara berjalan kaki, agar bisa lebih sehat tubuh dan punya banyak kesempatan untuk bercengkrama dengan sesama jamaah. Kalau rezeki menyapa, kadang diajak ngopi, minum teh, atau makan di rumah tetangga. Karena begitulah silaturrahim.
*Tulisan ini telah diterbitkan di RZ Magz edisi Maret 2015.
Nah, saya jarang olahraga, nih. Padahal kadar kolestrol udah kasih warning.
ReplyDeleteIya Teh. Minimal jalan kaki mondar-mandir.. ;P
Deletejalan kaki mondar-mandir mah bukan olahraga da kayaknya :P
DeleteJaman pemalesan da sekarang mah Mir.. ke masjid atau warung aja banyak yg pake motor, padahal deket (< 300 m).
Deleteleres, kang adit.
Deletetapi da aku mah apa atuh. motor ga punya, bawanya ge gak bisa. ke pasar ge jalan sama bunda aku :P
biarin. seenggaknya mah ampe keringetan we..
Delete