Ini tentang 'pendekatan' yang dilakukan manajemen Jogokarian kepada warga.
Mas Krisna (warga Jogokarian) pernah bercerita bahwa dulunya Masjid Jogokarian tidak berada di tempat yang sekarang, tetapi agak masuk daerah jalan yang lebih sempit. Bukan di samping jalan utama kampung. Manajemen masjid berpendapat bahwa itu kurang bagus untuk kejamaahan, kesannya kurang terbuka. Bayangkan saja bila mall terletak di tengah-tengah komplek perumahan, bukan di pinggir jalan raya. Maka dengan segala upaya, masjid berpindah ke tempat yang lebih strategis untuk sebuah kampung. Kades, ketua RW, dan ketua RT berperan penting dalam memindahkan masjid ke tempat yang lebih mudah diakses.
Setelah itu, manajemen mulai menjalankan gagasan berikutnya: pendataan. Ini bagian yang terkenal di blog-blog. Mas Krisna sendiri menyebutnya dengan sensus warga yang bertujuan untuk mendapatkan data-data perihal jama'ah. Hebatnya, data sensus ini lebih lengkap dari sensus penduduknya BPS, sehingga melalui sensus jamaah ini manajemen Jogokarian bisa mengetahui mustahik zakat, demografis, profil warga, dll. Data-data inilah yang kemudian dijadikan sebagai peta da'wah Jogokarian.
Data tersebut kemudian diolah menjadi pengareaan jamaah. Tujuannya untuk penempatan 'utusan' dan program da'wah yang dijalankan. Kabarnya, Ustadz Salim A. Fillah dulunya adalah salah seorang yang ditempatkan di area merah (awam tentang ajaran Islam) agar bisa membina area tersebut. Perlahan tapi pasti, orang-orang yang awam di daerah tersebut kian tertarik untuk belajar Islam ke Rumah Belajar yang dibuka oleh Ust.Salim. Warga di area merah ini mulai berubah, mereka semakin percaya diri untuk ke masjid.
Selanjutnya, bagaimana membuat jama'ah menjadi senang ke Jogokarian?
Selain karena kemauan warga, Jogokarian memiliki daya tarik lain. Ada tembok yang bisa menjadi tempat selfie, jalur untuk kursi roda, klinik, angkringan, penginapan, sampai tetangga masjid yang merupakan rumah usaha.
Angkringan di Jogokarian* |
Saya sendiri sempat mencicipi angkringan yang terkenal dengan gratisannya. Bila sedang beruntung, pengunjung tak perlu membayar jajanan yang dimakan. Dalam sehari, biasanya ada pengunjung yang datang dan jajan, lalu membayar lebih. Ada yang membayar 50 ribu, ada juga yang sampai 200 ribu, padahal hanya jajan senilai 10 ribu. Sisanya dipakai untuk gratis jajan sampai senilai dengan uang kembalian. Tak heran bila angkringan ini tak pernah sepi. Kenangan tiba-tiba mendapat rezeki membuat orang tertarik untuk berkunjung lagi. Setidaknya ke angkringan, namun bila saat adzan masih tetap ngangkring, malu lah!
Keunikan ini membuat Jogokarian bukan hanya menjadi sebuah masjid, tetapi juga sebuah pusat aktivitas sehari-hari.
Selesai di angkringan, saya bertemu dengan seorang tukang pijat. Dia ditangkan dari luar Yogyakarta untuk memijat tamu penginapan yang berasal dari Bogor. Ada 2 orang dari luar Yogyakarta bertemu di tempat ini, itu menunjukkan masjid ini bisa menjadi meeting point. Kiranya kita sama-sama tahu, tempat yang bisa dijadikan meeting point setidaknya harus nyaman untuk lebih dari sekadar tempat singgah.
Ya, nyaman. Akhirnya saya terpikirkan kata "nyaman" sebagai alasan kenapa orang bisa betah di Jogokarian, dan membuat mereka datang kembali. Itulah cara maintenance komunitasnya.
Bagaimana dengan anak-anak? Sebelum iqamah isya, saya menemukan seorang pemuda yang sedang bermain dengan anak-anak di selasar selatan masjid. Mereka terlihat ceria dengan permainan itu (yang biasanya di masjid lain membuat para sepuh terusik karena keributannya). Saat iqamah berkumandang, kakak pengasuh tadi segera memasuki ruangan utama. Siapa sangka, ternyata dialah imam shalat berjamaahnya.
Keceriaan anak-anak di Masjid Jogokarian* |
Di Jogokarian, anak-anak dibuat ceria. Wajarlah bila setelah dewasa (seperti generasi Mas Krisna) mereka senang ke masjid. "Di sini (Jogokarian) punya kenangan indah." Begitu katanya.
24 Rajab 1439
*gambar didapat melalui google
0 comments:
Post a Comment