Saat organisasi himpunan ini berjalan, rasanya ada yang berubah. Seperti mulai ada pengkotak-kotakkan komunitas. Mulai dari komunitas departemen-departemen himpunan, status himpunan-non himpunan, sampai senior-junior. Di luar status pengurus himpunan, saya membantu teman-teman di himpunan untuk urusan media, dan selebihnya saya kembali kepada passion di kampus: sepakbola.
Awalnya saya beranggapan perubahan suasana ini sebatas dinamika warga yang membentuk kelompok-kelompok baru berdasarkan kegiatan mereka masing-masing. Itu sih wajar. Namun saat saya mencari beberapa orang, kok orang yang saya cari itu sangat jarang terlihat di kampus? Saya mulai merasa bahwa kampus itu lebih menjadi markasnya orang-orang himpunan. Itu tidak salah, tapi seolah-olah ada efek terpinggirkannya orang-orang non himpunan.
Sebagai orang non himpunan, saya pun sadar merasa lebih diacuhkan oleh teman-teman yang himpunan. Wajar lah, toh mereka memang punya kegiatan yang diprogramkan, sedangkan saya orientasinya kepada penjadwalan main bola, desain, dagang, kuliah, 2 orang kecengan, dan belajar. Jadi, saya pun tidak bisa serta-merta menyalahkan sebagian orang atas suasana terpinggirkannya yang sebagian lain.
Itu bukan keadaan yang disengaja.
Setelah generasi kami pensiun dari kepengurusan himpunan, saya baru menyadari bahwa itu adalah sebuah (mungkin salah satu) efek dari fokusnya teman-teman yang bekerja untuk menjalankan program-program himpunan. Saat melihat mereka bekerja tanpa pamrih untuk himpunan, saya kagum. Tepi ka aya awewe nu beungeutna caludih, guladig, dan bau kesang. Kalau yang laki-laki mah itu sudah sangat wajar. Itu bukti keseriusan mereka.
Saya mulai berpikir bahwa saat kita berada dalam sebuah mesin organisasi, kita mendapat sebuah sudut pandang dari dasbor yang berisikan indikator-indikator dan perangkat kendali. Kita sebatas melihat bagaimana organisasi ini berjalan, tetapi tidak melihat jejaknya. Melihat bahwa kegiatan-kegiatan bisa diselenggarakan, tetapi tidak melihat apa efeknya.
Jeleknya saya (dulu) saat dibajak dari kampus dan Salman ITB ke Baitul Hikmah adalah belum terpikirkan tentang efek sosial ini. Saya baru sampai berpikir bagaimana agar orang-orang yang baru belajar tentang Islam bisa mau ikut ngumpul di masjid. Karena saat itu ada anggapan bahwa yang berhak ngumpul berkegiatan di masjid hanyalah mereka yang sudah seperti aktivis dakwah kampus. Ini sangat sensitif bagi kaum hawa, karena saat itu masih banyak yang aslinya belum berkerudung. Isu-isu semacam itu membuat mereka merasa ditolak di masjid.
Ini seperti ujian mental juga. Dulu saat jadi ketua P3R, siang hari pernah mengambil uang ke rumah bendahara. Di rumahnya, saya bertemu dengan teteh bendahara yang masih mengenakan gaun tidur (model bahu terbuka). Siang hari memang panas, bahkan di dalam ruangan yang teduh pun ternyata bisa panas. Kita seperti bertaruh keputusan, mau bersikap seperti apa? Taruhannya adalah dia, dan targetnya adalah dia tetap nyaman untuk ke masjid.
Fathu Makkah itu bukan menyingkirkan para musuh kaum muslimin untuk keluar dari Mekkah, tetapi membuat semua warga Mekkah memilih untuk menjadi bagian dari kaum muslimin. Jadi, memperlakukan teteh ini adalah tentang bagaimana membuat orang-orang untuk merasa diterima dan nyaman di masjid. Itu dulu saja.
Sarapan, untuk memuliakan jamaah kajian ba'da shubuh |
Program kerja memang penting, tetapi membangun suasana yang membuat orang betah ke masjid pun tidak kalah pentingnya. Pelajaran organisasinya adalah saat saya menjadi pihak yang menjalankan program, saya pun harus membuat orang-orang non pengurus merasa diterima, dinyamankan, dihargai, merasa sama-sama jamaah masjid yang ingin mendapat kebaikan dari shalat berjamaah. Bukan menjadi seperti robot pegawai yang hanya fokus untuk menjalankan kegiatan dan mengistimewakan diri sebagai orang yang paling berhak menikmati fasilitas masjid.
25 Syawal 1439
0 comments:
Post a Comment