"Palay naon, Cu?" tanyanya.
"Hoyong ieu ah, gorengan. Punten, Bu. Aya pisin?"
"Manawi teh bade sangu koneng. Kanggo sambel nya? Aya ge piring. Nganggo piring we. Wios. Da biasa dianggo kanggo sangu koneng."
"Muhun, kanggo gorengan."
Beliau pun memberikan piring dan menuangkan sambal ke piringnya. "Sareng kopina hiji, Bu. Nu ieu we, wait kopi." Setelah itu, saya pun segera mengambil beberapa gorengan. Ada bakwan, bala-bala, pisgor, dan tempe goreng. Awalnya saya agak bingung. Apa bedanya bakwan dengan bala-bala? Beliau bilang: beda isi sayurnya. Bala-bala lebih banyak jenis sayurnya.
Segelas (kecil) kopi beliau simpan di meja, saya pun menyimpan piring berisi gorengan itu di meja. Sambil duduk di kursi, saya pun menyantap hidangan ala bumi Priangan era modern. Ya, gorengan dan kopi. Dua hidangan yang sepertinya sudah membudaya di pusat kota Sunda ini. Sambil menikmati, nenek pemilik lapak mengajak ngobrol. Beliau mulai bercerita.
Hidangan pagi |
Nenek ini melanjutkan cerita tentang suka-dukanya selama berjualan. Sempat ada keluhan bahwa kalau malam sekitar pukul 2, di Jalan Pasteur terdengar suara keras dari knalpot pembalap-pembalap jalanan. Ya, pukul 2 malam. Pukul setengah 2 malam Ma Entin sudah mengangkut-angkut peralatan masak dari rumah ke lapaknya. Jadi pukul setengah 3, sudah bisa mulai berjualan. Berbeda dengan kebanyakan penjual nasi kuning yang baru buka lapak pukul 5 atau 6 pagi. Saya pun berpikir, siapa yang mau beli nasi jam segitu?
"Ah rejeki mah ti Gusti Alloh we, Cu. Sok aya we nu meser tabuh tiluan ge. Sapertos nu damel di hotel Aston. Pan upami wengi teh sok meser di dieu."
"Upami shubuh kumaha atuh, Ne? Pan nyalira."
"Ah dikantunkeun heula we, titip ka Gusti Alloh. Da rejeki mah ti Alloh. Alhamdulillah, teu aya nanaon. Pernah harita aya nu nyandak gas alit. Nya panginten eta sanes rejeki kanggo Nene."
Buka lapak di sepertiga akhir malam, tutupnya sekitar pukul 9. Tergantung apakah nasi kuningnya sudah habis atau belum. Selain digunakan untuk berjualan nasi kuning, lapak dan gerobaknya disewa penjual ayam goreng. Katanya, setiap sore ayam goreng si penyewa selalu laris. "Alhamdulillah, jadi Nene kenging rejeki oge ti nu nyewa."
Setelah pulang, Ma Entin beristirahat sejenak sampai zhuhur. Lalu berangkat ke pasar untuk belanja keperluan jualan. "Siang angkat ka pasar, balanja. Teras nyiksikan. Ba'da maghrib ngaos dugi isya." Dapat dibayangkan? Siang hari pergi belanja ke pasar. Seorang nenek berangkat dari sekitar Hotel Aston ke pasar sederhana.
Ma Entin terbiasa demikian bukan tanpa sebab. Sejak usia 4 tahun, Entin muda sudah kehilangan kedua orang tua kandungnya. Lalu ada seorang ajengan yang kemudian mengasuhnya sampai Entin muda menikah. Suatu hari, ada seorang lelaki yang berkonsultasi masalah keluarganya pada ajengan ini. Nasihat dari sang ajengan: "Menikahlah lagi, tapi cari yang sangat solehah!" Maka dinikahkanlah Entin muda dengan sang lelaki. Saat itu, sang lelaki duda telah memiliki 4 anak, sedangkan dari Ma Entin, sang lelaki memiliki 2 anak, tetapi telah tiada. Maka dari itu, saat saya bertanya tentang apa anaknya ada yang tinggal bersamanya? beliau menjawab "Nene mah teu gaduh putra." Anak-anaknya yang dibesarkan hingga berkeluarga sebenarnya adalah anak tiri, tetapi Nene asuh sedemikian baik. Lagi-lagi beliau bilang: "Nu penting mah salamet dunia-akherat."
Membereskan peralatan |
Mengingat masa-masa yang telah dilewati, Ma Entin sampai menangis. Pasang-surut kehidupan, pengorbanan, sampai segala kepahitan hidup yang dialami karena ada orang yang membuat anaknya menangis karena mengatakan "Maneh teh sabenerna anak tere!". Ma Entin tidak segan-segan untuk mendatangi dan menampar, atau menyiram wajah si pelaku dengan sambal. Setidaknya itu yang dapat dilakukan untuk membela anak kesayangannya, yang sebenarnya bukan anak kandung.
Siapa yang tak sedih kehilangan orang-orang yang disayangi? Anaknya sudah ada yang menjadi guru di luar kota, ada pula yang seorang insinyur tetapi memilih untuk jadi supir travel. Katanya dengan menjadi supir untuk bule-bule, penghasilannya lebih besar. Bisa sampai 10 juta setiap bulan. Kalau kisahnya demikian, bagi saya itu adalah menjadi tour guide, bukan supir biasa. Tetapi Ma Entin bersikukuh pada keyakinannya, tak pernah memaksa ingin ditemani putra-putranya. Lagi-lagi beliau mengatakan "Nene mah ngadu'a we, sing salamet dunia-akherat. Wios Nene mah di dieu dagang we. Da ti kapungkur oge tos dagang."
Ma Entin berbagi kisah hidupnya |
***
Hidangan sudah habis. Saya pun segera membayar. Segelas kopi seharga 2000 rupiah, dan satu gorengan seharga 500 rupiah. Jadi saya perlu membayar 4.500 rupiah untuk segelas kopi dan 5 gorengan. Selembar uang 5.000 saya siapkan, tetapi rasanya nanggung kalau sisa 500 rupiah. Maka saya pun memborong pisang gorengnya, sampai seluruhnya seharga 10.000 rupiah. Dua lembar uang 5.000 saya berikan pada beliau, dan ternyata beliau malah menambahkan 2 buah bala-bala.
"Wios.." Saya bengong menatapnya.
"Duh, nuhun pisan, Ne." Kata saya.
"..Nene mah, mun aya murangkalih nu teu gaduh ge, pasihan we. Da rejeki mah ti Alloh."
Saya pun berpamit pada beliau. Pergi sambil menenteng sekantong keresek berisi gorengan plus sambal. Sekantong keresek yang menjadi jalan rezekinya dan membuat beliau tampak berseri-seri, serta sebungkus gorengan yang membuat saya lebih berbahagia karena dipertemukan dengan seorang wanita yang Allah lapangkan dan kuatkan hatinya.
Sambil menghela nafas panjang, saya melamun. Ah, ternyata hidup ini... *Entahlah, bagian ini sulit saya ungkapkan dengan kata-kata. Jadi simpulkan sendiri saja.*
1 Dzulqa'dah 1435
minta pisang gorengnya dong, Dit :)
ReplyDeletedi Bandung n Cimahi banyak. atau bikin sendiri we.. ;P
DeleteJd ingat 2 wanita hebat,emak & nenek..
ReplyDeletewah, mereka pastilah hebat.. :)
DeleteAdit, pengen nangis ih baca cerita Mak Entin. :(
ReplyDeleteWew.. barangkali kalo ada kesempatan, Teh Efi coba datengin. Denger cerita langsung dari beliau.
ReplyDelete