Sejoli #2: Berteman

Saat kita bisa memandangi lembayung, sambil mereguk secangkir teh hangat dan saling bertukar cerita tentang hidup. Lalu kita bisa tersenyum dan tertawa bersama. Itulah berteman, kata seseorang yang saya kenal.

Saya mengiyakan. Karena berpikir bahwa ada orang-orang yang sebatas kenal, tapi merasa tak ada hubungan sama sekali. Saya punya banyak teman sekolah atau kuliah, tapi yang benar-benar teman sepertinya tidak banyak. Teman yang benar-benar teman rasanya bisa dihitung sejumlah 2 tim futsal. Saya bilang begitu karena 10 orang itulah yang sering ngobrol, saling ngerti, saling bantu, dan saling melengkapi.

Melihatnya meminta diajari menulis seperti melihat adik meminta dituntun. Awalnya begitu. Menyadari usianya yang beda 6 tahun, saya belum bisa merasa bahwa dia adalah teman. Seandainya saya bercerita tentang main telepon umum (koin), terjun ke kali, titip salam melalui request lagu ke penyiar radio, atau hanya menikmati lagu-lagu 80's sampai 2000-an, sepertinya tak akan nyambung. Dia mungkin lebih familiar dengan lagu-lagunya Adele, sedangkan playlist saya isinya Saras Dewi, Memes, D'Cinnamons, Dewa 19, Scorpions, Bedil & Mawar, dan lagu-lagu jadul lainnya. Dia yang generasi Ardan Radio, sedangkan saya generasi B-Radio.

Kalau kami dalam perjalanan bersama, bisa-bisa dia mengganti channel yang memutar musik kesukaan saya.

Jadi salah satu tantangan saya saat membantunya belajar nulis adalah membiarkan dia dengan dunianya dan apa yang mau dia tulis. Saya juga harus mau belajar melihat sesuatu yang selama ini belum saya ketahui. Saat membaca tulisan-tulisannya, saya beberapa kali bengong: "Oh, generasi dia tuh begitu ya." Kami memang sama-sama kuliah di UPI, tapi saya yang generasi 2000-an harus belajar melihat dari sudut pandang generasi 2010-an melihat kampus.

Awal pertemanan adalah saat saya mulai melihat dunia dari sudut pandangnya, dan dia mulai melihat hidup dari sudut pandang saya. Kami saling menerima cara pandang, dan belajar untuk bisa melihat dari sudut yang sama.

Dia pernah bilang bahwa dia ingin bisa membuat tulisan yang serupa dengan tulisan saya, walaupun sampai saat ini kenyataannya dia belum bisa. Saya tak pernah berharap tulisan kami akan serupa. Saya hanya berharap dia bisa membuat tulisan terbaiknya, sesuai dengan seperti apa dirinya. Biarlah dia pandai menulis esai tentang pemerintahan dan idealismenya, tak perlu menjadi seperti saya yang lebih suka cathar.

Suka kegiatan outdoor

Saya lebih menginginkan dia menjadi dirinya sendiri ketimbang mengarahkannya untuk menjadi pantulan atau jiplakan diri saya sendiri.

Dia punya caranya sendiri untuk bahagia, dan saya pun begitu. Selama ini kami berbahagia dengan cara masing-masing, sampai akhirnya kami melihat sesuatu yang sama-sama kami nikmati: traveling. Pertemanan bukan lagi mempertemukan dua pikiran yang berbeda di pinggir lapangan dan membahas naskah blog, tetapi membawa kami pada perjalanan bersama.

25 Jumadil Ula 1440

0 comments:

Post a Comment