Pramuka. Itu adalah organisasi yang menjadi pilihan saya saat masih SMP. Mendaftarkan diri semenjak pertengahan kelas 1, hingga akhirnya lulus SMP tahun 2001 silam. Ada banyak hal yang membuat saya terkesan selama aktif di Pramuka ini. Belajar berorganisasi, persahabatan, dan memiliki kakak-kakak yang baik. Bisa dibilang, inilah organisasi yang membuat saya paling banyak belajar. Saya berani bilang bahwa kalau hingga saat ini saya terbiasa untuk berorganisasi, itu adalah karena saya pernah aktif berorganisasi saat masih SMP.
Dulu, salah satu agenda yang sering dijalani oleh kami para anggota penggalang (pramuka tingkat SMP) adalah mengikuti Wide Games (lomba kepanduan tingkat penggalang). Biasanya, bila akan mengikuti Wide Games, kami berlatih lebih tekun dan keras. Kakak-kakak pembina pun akan lebih tegas menindak kelalaian kami. Rasanya hukuman seperti push-up atau squat-jump 30 kali adalah hal yang biasa. Mereka tak sudi kalau kami menjadi orang yang lalai.
Pada satu sisi mereka tampak keras dan galak, tapi pada sisi lain, mereka juga tak sungkan untuk patungan membelikan kami makan atau jajan. Begitu, begitu, dan selalu begitu. Di luar latihan Pramuka, mereka adalah sosok-sosok yang sangat bersahabat. Maka tak aneh apabila mereka terkadang dianggap sebagai kakak sendiri. Tak hanya sikap mereka yang care layaknya seorang kakak, bila hari-hari latihan, mereka juga suka membawa oleh-oleh. Yah, walau sekedar sebungkus keripik. Lumayan lah. “Sudah biasa,” begitulah kata mereka yang menceritakan bahwa hal ini bisa dibilang sudah membudaya di antara anggota dan alumni. Senior-senior mereka dahulu pernah melakukannya, dan suatu saat nanti mungkin kami akan melakukan hal yang sama. Bagi mereka, seperti itulah menjadi kakak. Tak pernah lelah untuk memberi. Kalau lagi tak mampu ngasih jajanan, membawakan cemilan, setidaknya mereka memberi nasihat dan berbagi pengalaman.
Lambat laun, secara perlahan saya pun mulai belajar untuk melakukan hal serupa dengan apa yang dilakukan oleh kakak-kakak ini. Membiasakan diri untuk tak kenal lelah dalam memberi. Walau sekedar berbagi pengalaman. Malu rasanya saat saya tidak bisa sebaik mereka. Mereka selalu berusaha untuk memiliki sesuatu supaya bisa dibagi. Mereka selalu meluangkan waktu untuk memberi.
‘Tradisi’ ini pun saya bawa setelah lulus SMP. Saat kuliah, tepatnya saat aktif pada sebuah unit di Salman ITB, saya dipertemukan dengan orang-orang yang serupa. Pendek cerita, di unit ini ada kebiasaan saling traktiran. Terutama bagi anggota-anggota unit yang pulangnya malam. Saat malam tiba, kami biasanya makan bareng di Gelap Nyawang. Yang lagi bokek ditraktir oleh yang lagi lancar rezekinya. Begitulah, terus bergantian. Di sinilah saya mulai merasa bahwa ada kebahagiaan tersendiri dari memberi.
Pernah saat hendak mengunjungi baksos, saya dengan seorang teman mampir dulu ke tukang bubur. Maklum, kami berenam belum makan. Jadi, kami sarapan dulu.
“Pak, berapa semuanya?” begitu tanya saya pada penjual bubur.
“6 ya? Jadi 24000 Cep!”
Saya pun segera merogoh kocek untuk membayar bubur yang telah kami nikmati. Dasar saya yang telat, tiba-tiba seorang teman datang dan langsung membayar saat saya baru saja mengumpulkan uang lembar demi lembar.
“Hehe...” begitulah teman saya cengengesan.
“Ya udah, kalo gitu saya bagian bayarin minumnya ya!”
Hmmm... memang indah bila hidup ini kita bisa saling memberi, saling mengisi satu sama lain. Tak adil bila yang satu mengharap, dan yang satunya lagi terus memberi. Dan menyakitkan bila kita saling mengharap tanpa saling memberi.
Bila melihat jejak hidup tokoh-tokoh di negeri ini, semisal Jendral Sudirman, Buya Hamka, hingga M. Natsir, rasanya yang terkenang dari mereka adalah pemberian-pemberiannya yang tak lekang dimakan generasi dan waktu. Seolah-olah mereka berpesan “Jangan penah lelah untuk memberi!”
Sebuah petang nan diguyur hujan
Bandung, 23112011
0 comments:
Post a Comment