Penulis Gembel

Beberapa dari kita mungkin berpikir bahwa tulisan -apapun itu- menggambarkan siapa penulisnya, sebagaimana kita mengkategorisasi bermacam-macam tulisan berdasarkan konten, atau jenis tulisan. Ada sebutan yang lebih spesifik untuk menggambarkan bahwa seseorang adalah penulis. Bila kita melihat sisi jenis tulisan, mungkin yang akan kita temukan adalah sebutan-sebutan semacam: jurnalis, novelis, cerpenis, kolumnis, dll. Bergantung tulisan jenis apa yang biasa ditulisnya. Saat melihat dari segi konten, mungkin yang akan kita temukan adalah sebutan-sebutan: inspirator, motivator, ustadz/ustadzah, imaginator, romantic writer, dll. Bergantung dari konten apa yang menjadi trademark-nya si penulis. Tentang keilmiahan, agama, kuliner, hobi, cinta, biografi, berita, dll.

Perpusku Surgaku


Cemburu sama buku (nasib istri pustakawan). Royal beli buku, nyampulin, dan merawatnya.” *Buneradya dalam buku Catatan Hati yang Cemburu.

Rasanya ingin tertawa saat membaca sebuah kutipan komentar dalam buku Catatan Hati yang Cemburu karya Asma Nadia dan kawan-kawan itu. Sampai segitunya cemburu pada seorang pustakawan yang royal beli buku, nyampulin, plus merawatnya. Selebihnya, sebagai penggila buku mungkin dia juga takkan sungkan merogoh kocek untuk membeli rak sebagai rumah bagi buku-bukunya yang kian bertambah butuh penampungan yang layak. Kenyataannya, itu pula yang terjadi dalam hidup saya di mana dunia perbukuan adalah salah satu hasrat saya. Sepertinya saya tak bisa memungkiri bahwa sumber-sumber bacaan adalah area yang selalu saja membuat kedua mata ini jelalatan. Entah kenapa, saya hanya bisa menjawab: mungkin itulah yang disebut dengan minat. Lebih tepatnya minat baca.

Suatu Sore

Suatu sore. Setelah mendapat kabar tentang yang bersangkutan, saya langsung menyiapkan diri untuk berangkat menuju kediamannya di sebuah kawasan pemukiman yang letaknya di perbatasan Kota Bandung dengan Kabupaten Bandung. Saya tak begitu memikirkan ini-itu tentang bagaimana kronologisnya, yang penting segera datang -setidaknya- dapat bertemu untuk kali terakhir. Alasan lainnya: mungkin karena peduli pada sosok-sosok di sekitarnya yang kelak membutuhkan pelipur, dan tentu saja karena ada cinta yang membuat diri ini tergerak mendatanginya.

Tanpa diminta menceritakan, kisah itu terkuak dari salah seorang kakak saya. “Tadi pagi sempat mengantar anak-anak ke sekolah. Lalu sepulangnya, setelah mandi diteruskan main tenis meja. Saat di rumah, duduk di depan meja komputer, mulai tampak ada yang aneh. Beliau muntah-muntah, dibarengi keringat deras yang membasahi pakaiannya.” Tak ada yang menyangka bahwa itu adalah hari terakhirnya tentang kisah hidup beliau yang dijemput malaikat di saat yang sebenarnya cukup sehat untuk menjalani hidup. Masih bisa jalan sendiri, bahkan sempat mengantarkan anak ke sekolah dan main tenis meja. Cerita yang menjadi bukti otopsi bahwa beliau cukup sehat  walau penyakit jantung menyelundup di balik kebugarannya. Seperti apapun kisahnya, sebuah kabar baik tersingkap: beliau pergi tanpa banyak menyusahkan, bertempat di rumahnya, di dekat keluarganya, dan tanpa sakit-sakitan (sekarat) berkepanjangan yang menyulitkan dari segi keuangan.

Sederhana Bukan Berarti Miskin

2004. Suatu siang. Saya sedang duduk nyantai di ruang sebuah sekretariat salah satu unit kegiatan di Salman. Adalah sebuah kebiasaan, tiap perjumpaan diawali dengan bersalaman. Sedangkan bila belum saling kenal, maka perjumpaan pertama adalah bersalaman sambil berkenalan. Itu yang terjadi ketika ada seorang -tampaknya senior- yang baru datang ke sekre, tanpa basa-basi langsung menghampiri dan mengajak berkenalan. Tampangnya amat khas bila dibandingkan yang lain. Dia mengenakan kemeja merah buram, dan celana katun hitam. Berkacamata, dengan kumis yang agak tipis membentuk rupa wajah model etnis Tionghoa. "Erikson" Begitulah dia menyebutkan namanya saat menyodorkan tangan untuk bersalaman. Seorang mahasiswa Jurusan Teknik Mesin di ITB.

Lingkaran Setan

Begitulah saya menyebutnya. Sebuah keadaan dimana saya (bahkan mungkin setiap orang) terjerembab dalam keadaan, situasi, atau faktor-faktor yang mempengaruhi diri ini untuk sulit beranjak dari keadaan yang tak/kurang baik. Ada yang mengartikan lingkaran setan sebagai lingkungan-lingkungan yang memberikan pengaruh buruk. Ada juga yang mengartikannya sebagai lingkungan-lingkungan yang membuat sulit beranjak dari zona nyaman. Intinya, mungkin bisa disimpulkan sebagai variabel-variabel yang mengganggu produktifitas.

Rupanya bukan hanya di dunia nyata saja. Kenyataannya di jejaring sosial pun saya mengalaminya, terutama di Fb. Ada tarikan-tarikan tersendiri yang memenyita perhatian saat saya mengikuti forum-forum tertentu. Entah itu yang di-invite maupun yang saya ikuti karena keinginan sendiri. Namun pada akhirnya sebagai seseorang yang tengah menjalani kehidupan, ada saat-saat di mana perlu lebih fokus pada beberapa hal yang menjadi pilihan hidup. Sehingga jadi lebih penting untuk memilah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi performa saya. Lalu, mengesampingkan faktor-faktor yang tampaknya bisa mengganggu kefokusan. Dalam hal ini, mungkin sudah saatnya untuk mundur dari forum-forum yang bukan 'dunia' saya lagi. Dan tentunya move on dari forum-forum yang meng-invite di luar keinginan saya. Yang sudah bukan 'dunia' saya lagi: mungkin FLP (karena sudah jelas-jelas saya tak lagi aktif Kamisan sejak 2005, dan teman sejawat saya di FLP sudah tak lagi aktif di sana seperti: Adew, Veejay, Lian, Kang Topik, Teh Mia, Teh Gigi), dan UKDM (karena sudah terlalu jelas saya bukan alumni LDK, lagian saya juga bukan ADK). Sedangkan yang meng-invite di luar keinginan: ada aja entah dari mana, tiba-tiba ada group yang invite. Grup inilah-itulah-dll.

Hmmm.. Sepertinya sudah saatnya. Saya mesti keluar! Mengurangi forum-forum (group) yang membuat saya sulit beranjak.


Menjelang Jum'atan
11/01/2013

Jalan-Jalan

Ehehehe... Jalan ya jalan. Naik mobil ya naik mobil. Ngojeg ya ngojeg. Ngangkot ya ngangkot. Numpak bus ya numpak bus. Bagi saya yang namanya jalan-jalan ya jalan kaki. Setidaknya bila ada bagian naik kendaraannya, porsi jalan kaki tetap lebih besar. Ke manapun itu, pokoknya jalan kaki. Entah bertujuan untuk langsung ke suatu tempat, sekedar melihat-lihat, atau luntang-lantung mendinginkan batin. Yang jelas, saya senang jalan kaki. Di manapun itu. Di pinggir kota, tengah keramaian, hiking, menyusuri perkebunan, menepi pinggir pantai, atau ke pelosok-pelosok tempat. Mungkin ini adalah hal yang melelahkan, hingga orang-orang menganggapnya aneh dan kadang mentertawakan: "Seneng amat jalan kaki.." Yang jelas, saya menikmatinya.