Jalan-Jalan

Ehehehe... Jalan ya jalan. Naik mobil ya naik mobil. Ngojeg ya ngojeg. Ngangkot ya ngangkot. Numpak bus ya numpak bus. Bagi saya yang namanya jalan-jalan ya jalan kaki. Setidaknya bila ada bagian naik kendaraannya, porsi jalan kaki tetap lebih besar. Ke manapun itu, pokoknya jalan kaki. Entah bertujuan untuk langsung ke suatu tempat, sekedar melihat-lihat, atau luntang-lantung mendinginkan batin. Yang jelas, saya senang jalan kaki. Di manapun itu. Di pinggir kota, tengah keramaian, hiking, menyusuri perkebunan, menepi pinggir pantai, atau ke pelosok-pelosok tempat. Mungkin ini adalah hal yang melelahkan, hingga orang-orang menganggapnya aneh dan kadang mentertawakan: "Seneng amat jalan kaki.." Yang jelas, saya menikmatinya.

Bagian yang paling saya sukai dari sebuah perjalanan adalah bisa melihat dan mengenal diri sendiri. Meski ada dalam hiruk-pikuk perkotaan, setidaknya berjalan kaki (sendiri) membuat saya merasakan betul yang namanya sepi di tengah keramaian. Lagipula, memang itulah yang saya cari. Berjalan sendiri memberikan saya banyak ruang untuk merenung. Menemukan sudut-sudut pandang baru dalam melihat diri sendiri, mengulas kejadian yang telah lalu, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Sekalian merenung, dengan jalan-jalan saya juga bisa melihat realita sekitar. Mungkin saja saya bisa belajar dari keadaan yang tengah terjadi di sekirat. Saya percaya setiap orang selalu butuh waktu untuk memahami dirinya sendiri. Entah itu sebentar, lama, atau bahkan sangat lama. Saya sepakat saat menemukan pepatah: "The most difficult phase of life is not when no one can't understand us. It is when we don't understand our self".

Hingga sekarang, saya masih berpikir bahwa hidup ini dinamis. Tak heran bila ada iklan yang mengatakan "Karena hidup punya banyak warna..", atau "Because life is never flat". Bahkan untuk beberapa orang, hidup ini terlalu dinamis. Sehingga tak bisa diprediksi. Rasa-rasanya saya adalah salah satu diantara yang merasa hidupnya terlalu dinamis. Tak jarang saya berpikir: Ya Allah, kok begini amat hidup saya? Kenapa jadinya begini? Banyak hal yang terjadi di luar harapan, lain dengan prediksi, tak sejalan dengan niat dan amal yang dirintis. Mesti diakui dan diterima, begitulah hidup saya. Saya butuh banyak waktu untuk memahami diri sendiri. Bahkan mungkin, selama saya hidup, selama itu pula saya perlu memahami diri sendiri. Karena kenyataannya, saya terus menyadari -sedikit demi sedikit- sisi-sisi dari diri ini. Seperti menemukan kepingan puzzle. Butuh perenungan untuk menemukannya, juga butuh perenungan untuk menyusun puzzle-puzzle itu. Saat telah berhasil menyusunnya, barulah bisa melihat: It's me!

Singgah sejenak ke masalah kepenulisan. Saya bisa bilang bahwa menulis adalah sebuah cara bagi saya untuk merapikan puzzle-puzzle yang masih berserakan itu. Jadi saat kumpulan tulisan digabungkan dalam blog atau dibukukan, bisa dibilang itu sama saja dengan mengumpulkan puzzle. Terlebih lagi bila dibukukan secara sistematis, puzzle-nya pasti lebih rapi tersusun.

Baiklah, kembali ke jalan cerita. Mungkin tak banyak yang tahu bahwa saya adalah seorang pendiam. Hingga seorang teman yang kuliah praktek di tempat bibi saya mengajar pun menyangkal: "Iiidih.. Pendiam dari mana? Usil gitu!" Tapi bibi saya tetap tak bergeming menyebut saya ini pendiam. Keduanya tak salah. Saya memang suka usil dan senang bercanda, namun di balik itu semua. Saya adalah seorang pendiam yang menikmati penyendirian. Saat-saat sendiri (mengobrol dengan diri sendiri) adalah salah satu momen yang paling saya sukai, dan itu saya temukan dalam jalan-jalan sendirian. Tak salah bila saat kuliah kepribadian, saat dijelaskan tentang tipikal phlegmatis, semua pandangan tertuju pada saya.

Orang berpesan untuk berhati-hati pada yang pendiam, karena saat emosinya panas bisa lebih parah dibanding yang ekspresif. Meledak, tak terkendali. Pendiam juga manusia. Benarkah begitu? Bisa iya, bisa juga tidak. Tergantung dari bagaimana emosi itu dikelola. Yang saya garis bawahi dalam hal ini adalah: emosi butuh penyaluran. Seperti halnya air pada bendungan, perlu ada celah-celah kecil untuk mengurangi tegangan akibat daya tekan air. Saya adalah pendiam, dan saya butuh saluran untuk meredam emosi. Salah satu caranya adalah dengan jalan-jalan. Sambil merenung, sambil menyalurkan emosi.

Jadi, jalan kaki itu baik untuk kesehatan badan dan psikologis. Hehehe...

Jalan-jalan membuat saya bisa melihat realita sekitar. Setidaknya itu yang membuat saya tertarik untuk jalan-jalan ke pelosok dan menemukan sisi lain kehidupan yang jarang terekspose (atau bahkan terlupakan). Seolah-olah menjadi jurnalis jalanan, atau luntang-lantung seperti di film Hikayat Pengembara. Yah, tiap sisi kehidupan punya cerita. Dalam hal ini, seperti yang saya pernah bilang, tema yang saya cari adalah: kesederhanaan dan kebersahajaan. Selalu saja itu yang menjadi daya tarik untuk disimak. Tentang pariwisata, saya berpikir bahwa gedung-gedung berarsitektur tua adalah pemandangan yang eksotis. Jauh lebih mengesankan dibanding gedung-gedung pencakar langit dan hotel yang mewah dan futuristik. Jadi bila ditanya: Mau jalan-jalan ke mana? Jawaban saya: bukan ke gunung, pantai, danau, tempat belanja, atau tempat-tempat wisata lainnya. Ke mana saja, yang penting bisa melihat sisi lain kehidupan. Temanya tentu saja: kesederhanaan dan kebersahajaan.


Jalan kaki itu lebih merakyat. Saya menyukai kesederhanaan dan kebersahajaan. Mungkin itu yang membuat saya lebih senang jalan kaki, atau naik angkutan umum untuk destinasi tertentu. Rasanya seperti menjadi rakyat kalangan menengah ke bawah yang dekat dengan cara hidup sederhana dan bersahaja. Praktis dan gratis, meski lebih lama dan lebih melelahkan.

Bandung, 4/1/2013

0 comments:

Post a Comment