Saatnya Berpisah

Berpisah. Siapa yang senang dengan istilah yang satu itu? Rasanya tak ada, kecuali mereka yang dengan sengaja memikirkan perpisahan dengan nasib buruk, kabar duka, atau hal-hal jelek lainnya. Sedangkan saya sendiri, tentu saja tidak menyukainya. Terlebih lagi berpisah dengan orang-orang yang selama ini sudah akrab. Memang tak mengenakkan, namun begitulah kenyataan dalam perjalanan hidup yang mesti dilalui. Yang tersisa hanyalah pesan terakhir: “Keep in touch ya!” Meski jarak terbentang hingga sulit lagi bercengkrama, semoga adanya teknologi dapat melipat jarak hingga jadi lebih singkat. Seperti kata orang terdahulu, “Teknologi membuat jarak menjadi tak berarti.” Semoga saja benar demikian. Karena untuk dapat berkomunikasi secara langsung pun butuh waktu yang tepat.

Perkembangan teknologi memang memudahkan untuk berkomunikasi. Bahkan teknologi terkini sangat memfasilitasi untuk itu. Namun bukan berarti sama. Pertemuan di dunia maya bukan berarti sama dengan pertemuan di dunia nyata. Benarlah yang dikatakan oleh seorang bapak di bilangan Cikutra. “Orang-orang sudah pakai hape, tapi hanya sebatas itu. Orang-orang sering bicara lewat alat komunikasi, tapi jarang bertemu. Silaturahimnya ndak ada...” Bertukar pesan lewat alat komunikasi memang dapat menyampaikan makna, namun tak mampu menyampaikan kesan. Teknologi komunikasi bisa menyampaikan cerita, namun tak sanggup menyampaikan kesan kerinduan.

Perlahan saya mulai memahami cara berpikirnya bapak ini. Beliau yang kerap menemukan rumahnya disinggahi sebagai tempat ngumpul -markas- teman-teman kedua putrinya, selalu memperhatikan bagaimana tingkah mereka saat bertemu. Dari tahun ke tahun ada perbedaan. Terlebih lagi setelah putrinya beranjak dewasa. Lain SMP, lain pula SMA, kuliah, dan pasca kuliah. Namun dari pertemuan dengan kawan lama, ada ekspresi yang terluapkan sebagai tanda ikatan emosi. Mungkin ini yang dimaksud oleh beliau. Ada ekspresi dan emosi yang terluapkan dalam perjumpaan, itulah yang tak mampu disampaikan oleh teknologi komunikasi. Tak heran bila beliau selalu berpesan “Sering-seringlah main ke rumah!” bahkan beliau tak sungkan mengungkapkan keluhannya mengenai sepinya rumah gara-gara kami (saya dan teman masa SMA) jarang ngumpul. Beliau tak mau silaturahim ini meluntur.

Sisi lain, pertemuan secara tak langsung membuat kita rasanya lebih memilih untuk ngobrol seperlunya. Perlunya ini, ya hanya ini yang disampaikan. Butuhnya itu, ya cuma itu yang diutarakan. Lain halnya dengan bertemu langsung di mana orang biasanya akan mengumpulkan banyak topik obrolan untuk dibicarakan. Beres dari topik ini, melantur ke topik yang lain, lalu sambung ke yang lain. Tak heran bila event reunian biasanya menghabiskan waktu berjam-jam, dan setelahnya dilanjutkan acara non-resmi berupa ngerumpi. Bukan karena tanpa alasan, tapi sekedar ingin lebih lama menikmati kebersamaan. Mumpung bisa bertatap muka langsung, kapan lagi bisa banyak cerita?

Begitulah adanya. Pertemuan langsung biasanya mempengaruhi orang untuk bercerita ini itu. Hal yang sama hampir selalu saya alami. Bila bertemu, teman bisa cerita ini itu. Di kampus, di masjid, di sekre, di manapun itu. Ada yang diselingi candaan, ada juga yang diselingi tangisan. Yah, memang ada yang sampai nangis bombay. Sedangkan saya hanya tercengang. Sebelum bertemu tak terpikir mau ngobrol apa, seolah tak ada bahan obrolan. Namun saat bertemu tiba-tiba saja jadi terpikir banyak yang ingin diceritakan, seolah tak ada yang tak penting untuk disampaikan. “Eh..eh.. Kamu tau nggak?...” Aya we piobroleun teh. Kira-kira itulah yang dipahami dari kelakuan teman-teman saya saat bertemu. Beda dengan saya yang lebih senang heureuy-bercanda daripada cerita ini itu.

Ada ikatan emosi. Mungkin itulah yang menjadi nilai dari silaturahim. Yang bila berjumpa bertatap muka, kadang sampai terkesan lebay ingin berpelukan (biasanya perempuan) atau menggebuk pundak (biasanya lelaki). Maklum lah, namanya juga silaturahim, yang berarti: tali cinta/kasih sayang. Ar-Rahim adalah sebuah istilah dalam bahasa ‘Arab yang kerap diartikan “Kasih Sayang”, namun ada pula pakar tafsir yang mengartikannya sebagai “Cinta”. Lebih spesifiknya, cinta yang awet tak luntur terkikis waktu dan tanpa syarat. Jadi, wajarlah bila pertemuan dengan orang-orang yang kita kenal bisa disebut silaturahim. Sebagaimana kita main ke rumah tetangga, teman, kerabat, saudara, keluarga, dll.

Semakin ingin kita bertemu, semakin kuat ikatan emosinya. Semakin tak terpikir bertemu, semakin lemah ikatan emosinya. Pada teman, semakin ingin bertemu, semakin kuat dan jelas persahabatannya. Semakin tak terpikir bertemu, semakin patut dipertanyakan persahabatannya. Hehe.. ingin rasanya mentertawakan diri sendiri untuk bab yang ini. It really happened to me.

Sahabat sejati selalu ingin bertemu. “Dul, di mana euy? COD nyo!”, “Ka mana wae euy? Urang putsal deui yu ah! Ngumpul rame2..”, “Weekend aya di Bandung teu euy? Urang nongkrong yu ah!”, dll. Sejauh-jauhnya dan sejarang-jarangnya berkontak-kontakkan, tetap saja ada keinginan untuk bertemu. Setidaknya ada kesan sumringah saat berjumpa, seperti saat bertemu dengan kawan lama di sebuah walimahan. “Addiiiiittt... ke mana aja ih? Meni ga pernah ada kabar-kabar..” Meski jarang saling mengontak dan bertemu, mungkin ekspresi itulah yang menunjukkan adanya ikatan emosi. Rasanya saya mulai mengerti kenapa saat dulu baru S1 dan mampir ke SMA, ada adik kelas yang begitu ekspresifnya ingin berpapasan dekat. Padahal dia lagi ada di ruang OSIS atau PMR. “Aakkaaaaang..” yang perempuan sih gayanya begitu. Kalau yang lelaki: “Euuuuhh.. ka mana wae euy? Awis tepang lah!”

Begitulah ikatan emosi mewarnai persahabatan. Ingin hati bertemu, meski entah kapan kesampaian. Entah itu melalui pertemuan yang tak disengaja, reunian, kopdar, atau sekedar janjian. Then, let the meetings tell about real friendship.

Seberapa lamanya berpisah, siapa yang tahu? Rencana reuni pun belum tentu bisa dipenuhi. Padahal ingin bertemu. Namun apa daya, naskah hidup rupanya menentukan jalan cerita masing-masing. Untuk saat ini, hanya itu yang bisa saya simpulkan. Karena memang demikianlah adanya. Saya punya kesibukan sendiri sebagaimana yang lain pun punya kesibukannya sendiri. Yah, kita punya jalan hidup masing-masing. Ada yang melanjutkan studi di luar negeri, berkarir ke luar kota, berkutat dengan keluarga, dan lain sebagainya. Bisalah dimaklumi mengapa sulit untuk berjumpa dan sekedar ngopi bersama.

Memang sayalah yang mesti memahami saat sudah waktunya jalan hidup memisahkan. Seperti dulu saat Anggi diterima sebagai PNS di Dephub dan pindah ke Jakarta. Begitu juga saat Adith yang diterima di Dephumham Jakarta dan Bagus yang pindah ke perusahaan swasta di Jakarta. Uni yang jadian dan separuh hidupnya tercurah untuk calon suaminya itu. Sekarang, Edy yang baru diterima di Bulog akan segera pindah ke Banyumas. Beuki hese weh rek ngumpul bareng teh euy! Tak ada yang perlu dipersalahkan, karena memang begitulah adanya. Berbeda saat dulu jaman masih senggang untuk ngumpul bareng. Sekarang saya punya kesibukan sendiri sebagaimana mereka punya kesibukan sendiri. Yah, sekarang kita memang punya kesibukan masing-masing yang berbeda-beda, yang juga menunjukkan bahwa kita sudah punya jalan hidup yang berbeda-beda.

Karena keinginan berjumpa adalah pertanda adanya ikatan emosi, setidaknya kehadiran mereka dalam benak ini menjadi pertanda bahwa mereka adalah orang-orang yang dekat di hati. Someone is nothing for us if we don’t think about him/her.

*Teruntuk seorang teman yang akan berangkat menjalani penghidupan di kota lain, selamat menjalani episode hidup yang baru! Sukses selalu di sana, semoga Allah menjagamu dan melancarkan rezekimu.
 
Gerimis di perbatasan kota
15/12/2012

0 comments:

Post a Comment