Bila ada yang tertinggal, biasanya terasa ada yang aneh. Seperti merasa ada yang tidak biasa dan tidak seharusnya. Perasaan semacam ini yang akhirnya membuat saya segera membuka tas kembali, dan memeriksa isinya. Bilamana sudah dicek dan ternyata lengkap, saya melanjutkan perjalanan. Tanpa perlu kembali ke rumah untuk membawa barang lain yang sekiranya perlu.
Serasa ada yang aneh. Sepertinya ada sesuatu yang tertinggal, tapi apa ya? Setelah memeriksa isi tas, semua yang perlu dibawa sudah dimasukkan ke dalam tas.
Tanpa lama menunggu di pinggir jalan, angkot yang saya cari pun datang, menepi, lalu berhenti. Saya segera naik, dan duduk di pojok belakang. Pikiran tentang perasaan ada yang tertinggal itu pun lenyap seketika begitu duduk di bangku angkot, tempat penumpang menikmati perjalanan. Tempat saya naik adalah depan sebuah gang kecil, bukan pusat keramaian, jadi angkotnya langsung berangkat tanpa mengetem terlebih dahulu.
Bagus lah, karena saya pun tidak suka dengan angkot yang mengetem. Apalagi kalau mengetemnya lama.
Selama perjalanan, pikiran saya teralihkan pada pemandangan-pemandangan di luar angkot, dan sesama penumpang. Eksotisme kota tua cukup menjadi pemandangan yang enak untuk dilihat, walaupun dilihatnya dari dalam mobil angkutan umum. Setidaknya pemandangan yang indah di dalam kota bisa menjadi penyegar pikiran sebelum menghadapi seabreg pekerjaan.
Belum sampai satu jam, angkot sudah hampir sampai pada tempat di mana saya hendak turun. Supaya praktis dan tangkas dalam membayar saat turun nanti, saya merogoh-rogoh saku tempat biasa menyimpan uang.
Lho, kok di saku kemeja tidak ada uang ya? Dirogoh pula kedua saku celana, ternyata tidak ada juga. Bahkan sama sekali tidak ada apa-apa, alias saku celananya kosong. Sulit dipercaya, saya naik angkot tanpa membawa uang sepeser pun. Saya mulai panik. Kembali, saya merogoh semua saku pakaian. Tetapi hasilnya nihil, tidak ada selembar atau sekeping pun uang di saku pakaian saya. Bingung.
"Turunnya di mana, Mas?"
"Di ITB, Bu." Jawab saya.
Rupanya ada seorang ibu yang sepertinya menangkap kebingungan saya. Memang, di angkot itu tinggal saya dan beliau yang naik dari Jalan Pasirkaliki. Jalan Pasirkaliki ke ITB jaraknya sekitar 2 km lebih. Beliau mengenakan kemeja dan celana katun yang bahannya sama, warna keduanya biru keabu-abuan, serta kerudung lipat yang warnanya serupa namun agak muda.
Sekilas, sosoknya mengingatkan saya pada seorang artis senior, Susan Bachtiar. Mirip. Terutama suaranya yang lembut dan tegas, serta senyumnya yang lebar. Kiranya, umur wanita ini tidak jauh beda dengan Susan Bachtiar. Yang jelas berbeda adalah profesinya. Susan Bachtiar adalah seorang artis, sedangkan wanita paruh baya ini adalah staf admin di kampus ITB, sebagaimana pembicaraan beliau bersama temannya yang tak sengaja saya dengar sebelumnya.
Meski wajahnya belum begitu tua, tetap saja saya tidak berani memanggilnya Mbak. Walaupun karyawan seumuran beliau di kampus biasanya dipanggil Mbak.
"Tadi naiknya dari mana, Mas?"
"Saya dari Cijerah, Bu."
"Kita turunnya bareng aja, Mas."
Beliau mengambil selembar uang senilai Rp. 10.000 dari dompetnya, turun lalu membayar ongkos. "Dua, Pak. Satu dari Pasirkaliki, satu lagi dari Cijerah."
Saya merasa tak enak, karena sudah merepotkannya. Bila beliau adalah orang yang saya kenal, mungkin saya tak sungkan untuk meminta bantuan karena pada lain waktu besar kesempatan untuk menebusnya. Tetapi pada beliau yang belum pernah saya lihat, saya bingung bagaimana akan membalas kebaikannya.
"Duh, Bu. Jadi ngerepotin begini. Saya mesti gimana ya?"
"Ah nggak apa-apa kok, Mas. Lagian saya juga sering ada yang nolongin."
Jawabannya membuat saya tercekat, kelu, tak bisa berkata lagi perihal bayar ongkos itu. Kesannya sebelum ini beliau mendapatkan kebaikan dari orang lain berupa pertolongan yang tak sempat dibalasnya, dan beliau menolong saya karena ingin mensyukuri kebaikan yang dulu pernah diterimanya. Rasanya seperti tidak ada celah bagi saya untuk membalas kebaikannya.
Sambil tersenyum, beliau berjalan ke dalam kampus. Saya hanya bisa bilang "Makasih ya, Bu." yang dijawabnya "Iya, Mas."
Saya termenung. Ongkos dari Cijerah ke ITB besarnya Rp. 4.000. Itu jumlah uang yang dia keluarkan untuk menolong saya. Memang tidak besar, tapi sangat membantu saya dari perasaan bersalah karena keadaan tidak berdaya membayar ongkos. Mungkin saja baginya itu kecil, tetapi bagi saya itu penting karena membayar ongkos adalah kewajiban saya sebagai penumpang, sedangkan bagi supir angkot itu adalah haknya yang kelak akan digunakan untuk nafkah. Mengambil uang bernilai kecil dari dompet itu mudah, tetapi setiap orang belum tentu terbuka hatinya untuk menolong.
Dulu ibu ini pernah ditolong, yang entah bagaimana kisahnya, dan atas alasan itulah dia menolong saya. Kejadian ini mengingatkan saya pada kisah 11 tahun silam saat saya pernah ditolong oleh seorang kakak kelas (yang tak sempat saya balas kebaikannya). Atas kebaikan "Si Teteh" kelas, saya pun jadi ingin menolong orang lain. Bila kebaikannya tak dapat saya balas, setidaknya saya bisa membiarkan kebaikannya mengalir.
Mungkin itu pula yang ingin dilakukan ibu ini. Membiarkan kebaikan yang diterimanya mengalir pada orang lain. Saya? Kiranya perlu sesegera mungkin mengalirkannya.
29 Safar 1435
:)
ReplyDeletePasti naek angkot Sadang Serang Caringin dan naeknya setelah Borma, ya? Hehehe... biasanya setelah Borma Cijerah yang rawan ngetem itu di Batas atau Rajawali depan YWKA. :D
ReplyDeleteJadi penasaran sama kembarannya Susan Bachtiar itu.
Justru saya naeknya sebelum Borma.. Yah, saya juga masih penasaran ama jelmaannya Susan Bachtiar itu..
ReplyDelete