Pentingkah? Kan sekarang sudah ada terjemahan dan banyak buku tafsir?! Tetap saja penting, karena pemahaman akan kaidah membaca pada akhirnya akan membantu saya untuk memahami kebahasaan Arab, dan itu penting dalam upaya memahami isi al-Quran. Salah satunya adalah belajar Tahsin Quran.
Secara kebahasaan, tahsin berarti memperbaiki. Maksudnya memperbaiki yang belum bagus, dan menyempurnakan yang sudah bagus. Tahsin Quran berarti memperbaiki bacaan quran saya agar sesuai dengan kaidah yang seharusnya. Ya, yang seharusnya. Karena ada kaidah-kaidah membaca (saat diajarkan di sekolah-sekolah) yang belum sepenuhnya benar, sehingga perlu diluruskan.
Saya pun mendaftar ke sebuah yayasan pendidikan yang menyelenggarakan program tahsin, namanya Maqdis. Saat itu di Bandung tidak banyak lembaga yang menyelenggarakan program tahsin semacam ini, sepengetahuan saya hanya ada 2: Maqdis dan LTQ (Lembaga Tahfizhul Quran) Jendela Hati. Saya memilih Maqdis karena pendiri LTQ Jendela Hati sendiri adalah alumni Maqdis yang mengembangkan metode belajar sendiri. Jadi saya pikir sebaiknya belajar dari "guru utama"-nya saja.
Ada rasa malu? Tentu saja ada, terlebih lagi saya aktif di masjid dekat rumah. Bila seorang pengurus masjid kualitas bacaannya kurang bagus, itu rasanya sebuah aib. Memalukan. Tetapi rasa malu itu secara perlahan mulai pudar karena keinginan belajar. Cuek lah, toh mau belajar. Bukan untuk bergaya.
Saat mendaftar, saya langsung mengikuti test, apakah nantinya akan ditempatkan di level 1 atau level 2. Mirip dengan placement test dalam kursus bahasa Inggris. Tes ini gunanya untuk memperkirakan kemampuan tilawah saya, dan memulai perbaikannya dari tahap mana.
Ustadz yang mengetes rupanya kebingungan, saya jadi diminta membaca beberapa ayat lagi. Saya yang memahami ekspresi kebingungan itu akhirnya memberanikan diri untuk bilang: "Ustadz, kalau bingung, mendingan masukin ke kelas level 1 aja. Sekalian mau belajar lagi." Beliau pun mengiyakan, dan saya masuk kelas level 1.
Awalnya rasa malu itu masih ada. Tetapi saat hari pertama mengikuti kelas tahsin, ada hal yang tak terduga sebelumnya. Rupanya saya satu kelas bersama seorang ustadz dari Pesantren Daarut Tauhid Gerlong, sebutlah namanya Kang Dais. Tentu saja saya terkejut, bagaimana mungkin saya bisa satu kelas bersama seorang ustadz yang kira-kira tilawahnya sudah bagus?
Kang Dais rupanya menjadi murid paling banyak bertanya dan bersemangat untuk dites oleh pengajar. Bahkan Kang Dais meminta ustadz pengajar untuk mengetes bacaan al-Fatihah. Kang Dais juga bukan hanya bertanya tentang kaidah dan bersemangat dites bacaannya, tetapi juga curhat tentang pengalaman mengajar di pesantrennya. "Ustadz, saya tuh punya murid begini.. begini.. begini.. kira-kira cara mengajar yang baik, gimana ya?"
Ternyata, diantara murid-murid ada yang belajar untuk keperluan mengajar. Seperti Kang Dais yang seorang ustadz ini. Padahal tadinya saya berpikir semua yang belajar tahsin hanya untuk dirinya saja. Saya sendiri niatnya adalah memperbaiki tilawah, untuk diri saya sendiri. Tanpa berpikir belajar tahsin untuk mengajar baca Qur'an.
Belajar untuk diri sendiri dan dinikmati oleh diri sendiri. Baik untuk tilawah sendiri, maupun untuk shalat sendiri. Keadaannya berubah setelah seorang guru mengaji di masjid meminta saya untuk menggantikannya sementara karena beliau sedang sakit, dan pada suatu hari sebelum Ramadhan beliau mengajukan nama saya -pada ketua DKM- untuk memimpin shalat tarawih.
Kemampuan baru ternyata mengundang tuntutan baru, dan membawa saya pada peran baru. Belajar tahsin membuat saya terdesak untuk mengajar ngaji, dan menjadi tokoh agama di tengah masyarakat. Meski saya secara pribadi tak mau disebut ustadz karena sadar bahwa pemahaman saya tentang Islam belum begitu baik.
Selanjutnya, ada tetangga (siswa SMP) yang bertanya "Bisa ngajarin baca Quran?" Niat awalnya saya belajar tahsin adalah untuk diri saya sendiri, tetapi akhirnya hati saya luluh karena menyadari kesungguhannya. Bukan hanya itu, saya mulai tahu bahwa tidak banyak guru ngaji yang ada di dekat rumah, dan beberapa guru ngaji yang ada pun sudah bukan usia produktif lagi. Kiranya, tidak ada alasan untuk menolak, dan saya sepertinya memang harus mengajar.
Saat itu, jadwal mengajarnya adalah selepas shalat maghrib berjamaah di masjid. Jadi saya pulangnya isya. "Bu, pulangnya nanti udah isya. Mau ngajar dulu." Begitu ijin saya sebelum berangkat, sambil menenteng bahan belajar. Ibu pun jadi tahu bahwa anaknya ini mulai menjadi guru ngaji, dan entah bagaimana prosesnya, keluarga besar saya pun mulai tahu bahwa saya menjadi guru ngaji. Ternyata tidak berhenti sampai situ. Ibu jadi bersemangat untuk mulai rutin mengaji, teteh meminta diajari dari awal buku Iqro, dan kakak meminta anak-anaknya diajari.
Perasaan malu tercampur aduk dengan terharu, sekaligus sungkan. Malu karena disebut sebagai ustadz oleh keluarga, terharu karena kemauan mereka untuk kembali rutin mengaji, dan sungkan karena saya menjadi pengajar di lingkungan keluarga sendiri.
Berikutnya, setelah salah seorang kawan lawas mengetahui bahwa saya menjadi guru ngaji di dekat rumah, mereka pun jadi ingin ikut belajar. Luluhlah lagi hati ini. Ada kawan yang memiliki niat baik, malulah diri ini kalau tidak menyambut niat baiknya, dan lagi-lagi saya tidak memiliki alasan untuk menolak.
Kalau mengulas balik pengalaman ini, rasanya ingin mentertawakan hidup sendiri. Awalnya saya belajar tahsin adalah untuk diri sendiri, tetapi jadinya untuk orang lain juga. Seperti pesan seorang kakek, "Nak, pada akhirnya kesholehanmu bukan hanya untuk Tuhanmu, tetapi juga untuk orang lain. Imanmu untuk-Nya, dan akhlaq baikmu untuk makhluk-makhluk-Nya." Saya belajar mengaji, pada akhirnya adalah untuk orang lain juga. Saya memperbaiki diri, pada akhirnya adalah untuk yang lain juga (ya kecuali kalau saya ingin egois, shalih sendirian).
1 Jumadil Ula 1435
:))
ReplyDelete#jiwaMenolakGengsi *tosss ka!
"tuntutlah ilmu sampai ke liang lahat"
sebenernya bagian yg paling menyentuh nurani saya di tempat belajar tahsin itu adalah saat melihat seorang kakek yang nggak menyerah saat ustadz banyak mengkoreksi.. si kakek juga nggak malu dengan temen sekelasnya yang berusia 20-an.
Delete