Melawan Wajah Sendiri

Suatu hari, ada seorang wanita berusia cukup tua yang datang meminta saya untuk mengajarinya mengaji. Beliau bercerita tentang kelompok mengaji sebelumnya, yang disebut-sebut tidak membuatnya betah. "Cara berbahasa pengajarnya tak enak. Niatnya benar, tapi caranya ngomongnya bikin kesal." Begitu kata beliau. Atas alasan itulah beliau ingin mendapatkan guru mengaji yang baru. Guru mengaji yang cara mengajarnya lebih enak, dan bisa diterima oleh wanita usia bijak.

Di lain kesempatan, saya juga teringat dengan apa kata orang mengenai beliau. Kurang lebih, sama seperti cerita beliau tentang guru mengaji di kelompok sebelumnya. Beliau orang berpendidikan, berasal dari keluarga berada, dan punya banyak pengalaman hidup. Demikian pula guru mengaji di kelompok sebelumnya, beliau menceritakan bahwa guru mengaji di kelompok tersebut adalah seorang wanita yang berpendidikan, berasal dari keluarga berada, dan punya banyak pengalaman hidup. Kalau disebut punya banyak pengalaman hidup, ya jelas lah. Usianya sudah cukup senja.

Saya berdiam cukup lama untuk bisa memutuskan apakah akan mengajar beliau atau tidak. Saya tahu betul bahwa beliau memiliki niat yang baik untuk belajar. Tetapi pada sisi lain, saya pun ragu lantaran niat baik saja tidak cukup. Seperti guru mengaji beliau sebelumnya, niat baik untuk mengajarkan al-Qur'an saja tidak cukup. Perlu cara yang baik pula. Saya masih merasa bahwa beliau pun seperti guru mengaji yang beliau ceritakan. Saya masih ingin melihat lebih jauh, apakah beliau benar-benar ingin belajar untuk memperbaiki diri, atau ingin dinyamankan. Kalau beliau sebenarnya bukan ingin belajar untuk memperbaiki diri, itu di luar kemampuan mengajar saya yang ala kadarnya.

Catatan saya: ada orang yang suka berkelit apabila ditunjukkan dan dijelaskan kesalahannya, walaupun bilang ingin belajar. Orang seperti inilah yang sebenarnya bukan ingin belajar untuk memperbaiki diri. Pada satu sisi, inilah yang saya sukai dari belajar membaca Qur'an. Latihan memperbaiki bacaan, sebenarnya adalah latihan untuk memperbaiki hidup sendiri. Karena saat saya berusaha memperbaiki bacaan, pola hidup pun harus saya perbaiki. Dan ternyata, orang lain pun demikian. Apa yang mau diperbaiki, apabila kesalahan yang kita ketahui saja, tetap tidak kita akui dan kita terima dengan rendah hati?

Kalau hanya kaidah panjang dan pendek harakat yang sudah diajarkan sejak SMP saja sebegitunya dilabrak, bagaimana dengan hal-hal dalam hidup? Kalau hanya membaca yang satu baris saja saya sudah tidak tertib untuk mengikuti kaidah, bagaimana dalam menjalani hidup?  Saya tak perlu cerita banyak tentang sulitnya negeri ini untuk bebas sampah berserakan, atau sulitnya orang-orang di negeri ini (yang disebut berpendidikan) untuk tertib.

Seni memperbaiki hidup

Selama berdiam, saya beberapa kali geleng-geleng kepala. Saruana atuh da. Jelema nu diomongkeun jiga kitu, nu ngomongkeun sarua jiga kitu. Mirip maling teriak maling. Setidaknya seperti maling yang bersuara menginginkan kebaikan dan keadilan lantaran menjadi korban sesama maling.

6 Sya'ban 1438

2 comments:

  1. Long time no mampir~
    because long time no post~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Ceu. Udah lama ga nulis. Ada fokus lain, jadi beralih libur posting dulu. Tapi ini jg udah rencana rutin blogging lagi..

      Delete