Belajar Menikmati Proses

Mengeluh. Kira-kira itulah yang bisa saya simpulkan dari kebanyakan orang yang curhat. Walau sebenarnya saya sendiri terkadang masih suka mengeluh. Tapi setidaknya, selalu saja ada keluhan saat kita menceritakan masalah. Entah itu orang lain, maupun saya sendiri. Sejauh ini sih begitu. Kalau bukan keluhan, tidak akan jauh dari kesan-kesan yang bernada negatif lah. Jarang ada orang yang sabar menghadapi masalah.


Obrolan malam bersama tetangga sepulang shalat isya di masjid. Setidaknya usai isya berjamaah, kami punya ‘sejenak’ waktu untuk ngobrol. Biasa lah, obrolan malam. Sebagai lelaki, obrolan kami pun tak jauh dari masalah rencana hidup, agama, penghasilan, keluarga, masyarakat, bahkan sampai membahas politik. Kalau dipikir-pikir, hampir tiap hari begini. Pulang shalat isya atau mengajar, saya hampir selalu menyempatkan diri ke rumah seorang teman yang biasa dijadikan tempat ngumpul.


Di sini jangan sekali-kali mengeluh, “Huhh, selalu saja ada masalah!”, karena akan langsung direspon dengan ledekan keras “Sejak kapan hidup nggak ada masalah???” atau “Kalau tak mau punya masalah, mending gak usah hidup aja sekalian!!!” Mungkin bagi beberapa kalangan, sikap kami ini cukup keras. Tapi beginilah kami adanya, dan semenjak masih sekolah kami memang menyikapi hidup dengan cara seperti ini.Setiap hari, selalu saja ada yang bisa diobrolkan. Setidaknya dengan cara begini, kami bisa menemukan pemecahan masalah, atau sekedar sudut pandang baru. Bahkan kalau memungkinkan, bisa dapat ilmu yang baru.


“Gimana hidupmu sekarang?” Tanya seorang teman.
“Biasa saja, cuma sekarang lagi banyak begadang.” Jawab saya setelah mereguk kopi.
“Ooo, sama kalau begitu. Saya juga lagi banyak kerjaan.”
“Ya gitu lah, namanya juga hidup.”
“Biar lah ya! Itung-itung belajar hidup susah. Siap-siap kalau nanti udah punya anak.”
“Iya. Tul!”
 ...


“Kamu kok lempeng-lempeng aja sih!” tak jarang saya mendapat teguran seperti itu. Habisnya mau bagaimana lagi? Mau gelisah atau tegang pun, masalahnya tetap sama dan takkan selesai. Jadi saya pikir, akan lebih baik kalau menghadapinya dengan lebih tenang. Saya hanya berusaha untuk tenang, supaya bisa berpikir lebih ‘jernih’. Begitulah, walaupun terkadang sebenarnya keadaan membuat saya terbawa emosi.


Beberapa hari terakhir ini, seorang teman menggerutu mengeluhkan keadaannya. Bisa ditebak, pasti dia mengalami sesuatu yang tak enak. Saya sudah mendengar cerita darinya, dan kalau saya menjadi dia pun, nampaknya saya akan merasakan hal yang serupa. Ya tapi mau bagaimana lagi, inilah kenyataan yang mesti dihadapi. Memang tak ada masalah yang enak, tapi mungkin inilah yang bisa membuat kita jadi tambah dewasa.


Dulu waktu kita masih kecil, baju dicuciin, kamar diberesin orang lain, ibu atau pembantu. Beranjak akhir SD, kita harus nyuci sendiri, beres-beres kamar sendiri. Bagi kita itu adalah masalah, entah gagal atau berhasil, justru itulah yang membuat kita belajar untuk bisa mandiri.


Yah, terkadang masalah lebih tahu bagaimana caranya membuat kita makin dewasa. “Nambah tua itu pasti, nambah dewasa belum tentu.” Begitulah kata seorang kakak tingkat di Salman ITB.


Malam yang dingin
November 2010

0 comments:

Post a Comment