Percaya Takdir?

Entah bagaimana menjelaskannya. Saya pikir tiap orang punya cara masing-masing untuk menjelaskan apa itu takdir.

Kenapa sekarang saya seperti ini? Dan kenapa kenapa sekarang anda seperti ini? Sulit bagi saya untuk menjelaskan mengapa saya bisa jadi seperti ini. Tapi yang jelas, salah satu alasan yang berani saya katakan adalah 'mungkin' takdir saya memang demikian. Tepatnya inilah sekenario hidup saya yang telah disusun oleh-Nya.

Suatu hari, ada sebuah pemilihan ketua sebuah organisasi. Kebetulan saat itu ada dua orang kandidat, dan salah satunya adalah saya. Menurut saya, teman saya yang juga menjadi kandidat nampaknya lebih pantas untuk memimpin organisasi ini. Kenapa? karena setahu saya, dia punya kepemimpinan yang lebih baik, dia bisa dibilang lebih berpengalaman dibanding saya, meski saya lebih tua. Tentunya yang saya maksud di sini adalah pengalaman dalam memimpin. Dia kerap dipercaya untuk memimpin rekan-rekannya di kampus.

Bagi saya itu sudah cukup untuk menilai bahwa dalam hal kepemimpinan ia lebih baik dari saya. Kenapa? karena saya melihat 'jejak' sejarah. Dia terbilang kaya akan pengalaman memimpin, sedangkan saya tidak. Bahkan sebaliknya. Di kampus, boro-boro jadi kadept, aktif sebagai pengurus pun tidak pernah. Di Karisma, memang pernah jadi katim, tapi bagi saya pribadi itu adalah masa-masa kelam. Dan yang terakhir -masih di Karisma-, saya 'dipaksa' jadi kordinator "tim perancang kaderisasi". Hanya dua, itu pun sekedar tim yang kecil.

Kalau dia mendebat pendapat saya ini, ya silahkan. Saya akan menceritakan kenapa menurut saya dia lebih pantas.

Dulu saat masih SD, saya tak pernah menjadi KM, saya hanya pernah bantu 'mengajarkan' beberapa mata pelajaran pada beberapa teman. Beranjak SMP, di Pramuka saya tidak menjadi Pratama, saya hanya menjadi sie. kerohanian dan dipercaya untuk membimbing adik angkatan. Kemudian di SMA, saya dipercaya jadi kakak pelatih Pramuka. Entah kenapa demikian. Saya pun belum menyadarinya. Tapi menurut saya, inilah yang dinamakan takdir. Lalu atas takdir inilah sekenario hidup saya adalah melanjutkan sekolah di sebuah kampus yang bertitel Pendidikan. Kampus pencetak para guru. Yah, meskipun saya mengambil bidang non kependidikan. Di Karisma saya langsung diminta menjadi kakak mentor, dan saya pun mengiyakan. Tahun kedua menjadi pembina Karisma, seorang senior bertanya "Dit, mau jadi kepala tim?" dan pertanyaan itu saya jawab dengan spontan "Nggak ah Kang, biar saya mah jadi mentor aja." Rasanya lebih ngeh menjadi mentor dibanding jadi ketua. Kemudian yang terakhir, di kampus, oleh Program Tutorial saya dipaksa-paksa jadi tutor PAI.

Beberapa bulan yang lalu, seorang teman kuliah bilang "Dit, tolong ajarin gimana caranya ngajarin orang lain! Aku pengen jadi dosen." Dua bulan yang lalu, teman kuliah berceloteh "Kalau mas adit yang presentasi, aku tuh ngerti gitu." Sebulan yang lalu ada 3 orang warga dekat rumah yang minta saya untuk jadi guru ngaji buat mereka. Beberapa tahun yang lalu, di Remaja Masjid, saya dipercaya jadi kordinator bidang tarbiyah (pembinaan), bukan sebagai ketua. Tahun lalu saya jadi kordinator pengajian, bukan sebagai ketua.

Sebelumnya saya tak pernah memikirkan hal ini, karena selama ini saya cuma melakukan yang terbaik. Itu saja. Dulu saat ada teman sekelas yang minta diajari matematika, saya cuma mengajari dia semampu yang bisa saya lakukan. Sekarang pun demikian. Saya cuma melakukan yang terbaik. Tak terpikir akan jadi begini. Tak terpikir bahwa masa lalu menjadi sejarah yang mengantarkan saya pada Adit yang saat ini kalian kenal. Itulah sekenario hidup.

Saya terbilang miskin pengalaman dalam memimpin atau jadi ketua. Bahkan dibanding kalian pun, kalau untuk masalah jadi ketua, saya masih terbilang miskin pengalaman lah.

Ada sesuatu yang tanpa saya sadari akhirnya membuat saya jadi seperti ini, dan saya menyebutnya sebagai sekenario hidup, alias takdir.
 

1 comment:

  1. Entah seperti apa Intan memaknai takdir Intan, tapi Intan percaya, takdir itu kayak mozaik. Pecahan yang kita susun sekarang turut "mengantarkan" kita untuk masa selanjutnya. Wallahua'lam bish shawaab.
    [nice writing, Kak!]

    ReplyDelete