Saat wawancara pada seleksi masuk magister, ada yang berkomentar “Wah, baru lulus sudah daftar lagi...” saya yang mendengarnya pun hanya membalas, “Yah, kurang lebih begitulah.” Mungkin dalam pikirannya, biasanya yang nerusin kuliah itu orang yang sebelumnya telah bekerja selepas lulus S-1. Memangnya aneh kalau seseorang yang baru lulus S-1, lalu beberapa bulan kemudian keterima kuliah S-2 di PTN?
Masih ingat, dulu saat pertama kali menjadi mahasiswa, rencana saya kuliah S-1 adalah selesai dalam jangka waktu 6 tahun. Apakah itu terlalu lama? saya pikir biasa-biasa saja. Saat itu alasannya adalah karena saya ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin selagi masih kuliah.
Beberapa tahun kemudian, semuanya berubah. Beberapa teman telah melaju sidang untuk segera merampungkan studinya. Menyadari hal ini, rasanya jadi ‘gerah’ juga, dan nampaknya saya pun harus segera menyelesaikan kuliah. Akhirnya, saya jadi terpikir untuk juga segera menyelesaikan jenjang ini. Rencana yang tadinya 6 tahun, mungkin bisa dipercepat jadi 5 tahun. Sepertinya hal itu sangat memungkinkan.
Tibalah saatnya untuk menggarap skripsi, yang katanya sangat menjenuhkan. Ternyata benar, memang menjenuhkan. Sampai akhirnya kejenuhan ini membuat saya termenung dan secara tak sengaja terpikir bahwa memang baik untuk segera lulus, tapi saya merasa masih ada ada yang ingin saya ‘cari’ selama kuliah S-1 ini. Intinya, saya belum puas, dan sayang kalau lulus begitu saja. Saat itulah saya nyadar kalau ada banyak hal yang tak bisa direpresentasikan oleh ijasah.
Seperti dulu kata seorang guru di ITB yang melantik seorang wisudawan, “Ijasah ini hanya sebuah kertas, kualitas yang sebenarnya ada pada dirimu!” beberapa tahun kemudian, sarjana yang satu itu menjadi pemimpin di sebuah negara, dan menjadi sosok yang amat dihormati, disegani, dan memberikan perubahan pada situasi di dunia saat itu. Yang terngiang oleh saya adalah: dia adalah seorang sarjana -sama seperti saya nanti-, tapi apa yang membuatnya jadi demikian?
Takdir akhirnya mempertemukan saya dengan seorang alumni ITB, dan dia bercerita tentang bagaimana orang-orang yang saat itu berkuliah.
Katanya, “Orang dulu itu kalau ditawari untuk lulus kuliah, dia akan cenderung menolak.”
“Kenapa?” tanya saya yang heran.
“Ya kebanyakan mereka bilang: nggak ah! Saya mau cari pengalaman dulu.”
Mungkin ada benarnya apa yang dia katakan, sayang amat kalau lulus kuliah cuma dapat ijasah, dan toga.
Obrolan ini membuat saya semakin merenung, dan akhirnya berpikir untuk menunda beresnya skripsi. Alasannya sederhana saja, saya belum puas dengan apa yang saya dapatkan selama S-1 ini. Masih ada yang ingin saya cari. Barulah kalau saya sudah puas, dan merasa tak ada lagi yang mau dicari, saya akan merampungkan skripsi untuk segera sidang.
Sebelum lulus, saya ingin menyelesaikan sebuah naskah buku. Hanya itu.
Kalau saya diwisuda, yang akan saya dapat adalah ijasah. Dan itu yang akan dilihat oleh orang-orang. Orang-orang akan bercerita bahwa saya telah menjadi sarjana. Tapi adakah orang lain yang tahu, proses apa yang saya jalani dibalik cerita tentang kesarjanaan ini?
Saya bisa saja menceritakan enaknya jeruk setelah mengupas dan memakannya, tapi sebenarnya jeruk juga punya cerita tentang bagaimana ia menjadi jeruk yang enak. Sayangnya, jeruk biasanya hanya dinilai dari mulusnya kulit.
Saya pikir begitulah hidup. Selalu ada cerita di balik kisah.
Lain kali, kalau ada yang bertanya "bagaimana kamu bisa melakukannya?" Saya cukup menjawab "ada proses yang saya jalani jauh hari sebelum itu".
Pinggir kota, 2011
Masih ingat, dulu saat pertama kali menjadi mahasiswa, rencana saya kuliah S-1 adalah selesai dalam jangka waktu 6 tahun. Apakah itu terlalu lama? saya pikir biasa-biasa saja. Saat itu alasannya adalah karena saya ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin selagi masih kuliah.
Beberapa tahun kemudian, semuanya berubah. Beberapa teman telah melaju sidang untuk segera merampungkan studinya. Menyadari hal ini, rasanya jadi ‘gerah’ juga, dan nampaknya saya pun harus segera menyelesaikan kuliah. Akhirnya, saya jadi terpikir untuk juga segera menyelesaikan jenjang ini. Rencana yang tadinya 6 tahun, mungkin bisa dipercepat jadi 5 tahun. Sepertinya hal itu sangat memungkinkan.
Tibalah saatnya untuk menggarap skripsi, yang katanya sangat menjenuhkan. Ternyata benar, memang menjenuhkan. Sampai akhirnya kejenuhan ini membuat saya termenung dan secara tak sengaja terpikir bahwa memang baik untuk segera lulus, tapi saya merasa masih ada ada yang ingin saya ‘cari’ selama kuliah S-1 ini. Intinya, saya belum puas, dan sayang kalau lulus begitu saja. Saat itulah saya nyadar kalau ada banyak hal yang tak bisa direpresentasikan oleh ijasah.
Seperti dulu kata seorang guru di ITB yang melantik seorang wisudawan, “Ijasah ini hanya sebuah kertas, kualitas yang sebenarnya ada pada dirimu!” beberapa tahun kemudian, sarjana yang satu itu menjadi pemimpin di sebuah negara, dan menjadi sosok yang amat dihormati, disegani, dan memberikan perubahan pada situasi di dunia saat itu. Yang terngiang oleh saya adalah: dia adalah seorang sarjana -sama seperti saya nanti-, tapi apa yang membuatnya jadi demikian?
Takdir akhirnya mempertemukan saya dengan seorang alumni ITB, dan dia bercerita tentang bagaimana orang-orang yang saat itu berkuliah.
Katanya, “Orang dulu itu kalau ditawari untuk lulus kuliah, dia akan cenderung menolak.”
“Kenapa?” tanya saya yang heran.
“Ya kebanyakan mereka bilang: nggak ah! Saya mau cari pengalaman dulu.”
Mungkin ada benarnya apa yang dia katakan, sayang amat kalau lulus kuliah cuma dapat ijasah, dan toga.
Obrolan ini membuat saya semakin merenung, dan akhirnya berpikir untuk menunda beresnya skripsi. Alasannya sederhana saja, saya belum puas dengan apa yang saya dapatkan selama S-1 ini. Masih ada yang ingin saya cari. Barulah kalau saya sudah puas, dan merasa tak ada lagi yang mau dicari, saya akan merampungkan skripsi untuk segera sidang.
Sebelum lulus, saya ingin menyelesaikan sebuah naskah buku. Hanya itu.
Kalau saya diwisuda, yang akan saya dapat adalah ijasah. Dan itu yang akan dilihat oleh orang-orang. Orang-orang akan bercerita bahwa saya telah menjadi sarjana. Tapi adakah orang lain yang tahu, proses apa yang saya jalani dibalik cerita tentang kesarjanaan ini?
Saya bisa saja menceritakan enaknya jeruk setelah mengupas dan memakannya, tapi sebenarnya jeruk juga punya cerita tentang bagaimana ia menjadi jeruk yang enak. Sayangnya, jeruk biasanya hanya dinilai dari mulusnya kulit.
Saya pikir begitulah hidup. Selalu ada cerita di balik kisah.
Lain kali, kalau ada yang bertanya "bagaimana kamu bisa melakukannya?" Saya cukup menjawab "ada proses yang saya jalani jauh hari sebelum itu".
Pinggir kota, 2011
tapi kang, pengalaman kan bisa dicari diluar waktu kuliah, ga mesti pas kita kuliah s1 aja, pas s2 atau saat kita kerja bisa jd pengalamannya lebih dasyat...
ReplyDeletejadi bukan alasan juga untuk menunda waktu lulus, lagi pula menimbang berbagai aspek, termasuk orang tua.hehe