Istimewanya Jum'at

Hari Jum'at rasanya istimewa bila dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Kalau buat saya sih demikian, tak tahu kalau menurut orang lain.

Akhir-akhir ini, saya seringkali shalat jum'at di masjid Nurul Jamil, sebuah masjid yang ada di daerah Dago atas. Letaknya tak jauh dari Dago Tea House. Tepatnya di sebuah area perumahan. Masjid ini punya halaman yang lumayan luas, dan sebagiannya adalah tempat parkir kendaraan.

Biasanya kalau jum'atan, saya datang lebih awal supaya bisa rehat dulu di pelataran masjid. Rehat di sini bisa sekalian makan, karena beberapa tukang dagang -seperti cuankie, baso malang, baso tahu- sudah datang untuk siap-siap menunaikan shalat jum'at.

Beberapa menit kemudian, kendaraan-kendaraan berdatangan. Mulai dari motor, sepeda, mobil, hingga truk. Barangkali inilah yang membuat saya sangat terkesan untuk shalat di sini. Terkesan karena di tempat parkir ini sebuah angkot bisa parkir berdampingan dengan sedan mewah. Truk pengangkut barang atau truk pengangkut gas bisa parkir berdampingan dengan kendaraan hasil modifikasi.

Siswa sekolah datang dengan mengendarai sepeda, lalu ia memarkirnya di sebuah sudut area parkir khusus kendaraan roda dua. Tak lama kemudian, ada pegawai kantoran yang datang dengan motor, dan ia parkir di samping sepeda tadi. Tahukah apa artinya?

Saya pikir hanya di tempat parkir inilah sepeda anak sekolahan, motor pegawai kantoran, mobil mewah, angkot dan truk bisa parkir bersama. Sama derajatnya, tak ada yang lebih rendah, tak ada yang lebih tinggi. Tak lupa juga, di sini masih ada gerobak baso, es puter, dan cuankie. Di tempat ini, gerobak baso sama terhormatnya dengan sedan mewah.

Sekira beberapa menit lagi, adzan zhuhur akan segera berkumandang. Orang-orang semakin berdatangan, ada yang langsung masuk ke ruang utama masjid, ada juga yang ke tempat wudhu terlebih dahulu.

Sudah waktunya untuk mencari tempat di ruang utama. Ini adalah yang ke sekian kalinya saya jum'atan di sini, jadi beberapa jama'ah di sini adalah orang yang sudah tampak tak asing, bahkan beberapa diantaranya sudah saya kenal. Ada tukang baso, supir, mahasiswa, pelajar, pensiunan, marbot, pegawai kantoran, office boy, juga tak ketinggalan, ada dosen (sudah bergelar doktor). Di tempat ini, seorang pegawai bisa saja duduk di samping pensiunan. Seorang bos bisa saja duduk di samping supir angkot. Seorang office boy bisa saja duduk di shaf terdepan, jauh di depan seseorang yang bergelar doktor.

Pemilik mobil mewah turun dari kendaraannya dengan lengan kemeja dan celana yang digulung, dan sajadah yang disemampaikan di bahunya. Supir truk turun dengan mengenakan baju koko, peci haji, dan menenteng sajadah. Kedua-duanya keluar dari kendaraan masing-masing. Kedua-duanya juga mengenakan sendal jepit yang mereknya sama.

Sepertinya tempat ini tak pernah membedakan jabatan, gelar, tingkat pendidikan, dan penghasilan. Dan sepertinya hanya pada hari ini supir truk tampak sama saja dengan dosen perguruan tinggi. Si kaya tampak sama dengan si miskin. Orang berpendidikan tinggi tampak sama dengan tamatan SMA.

I love this day, like i love this place.

Pinggir sebuah kota, Januari 2011

0 comments:

Post a Comment