Akhir-akhir ini, memang beliau tidak sehat sepenuhnya. Sebelumnya, beliau telah dua kali dirawat di rumah sakit karena penyakit yang tak jelas itu apa. Saya sendiri berpikir bahwa ini mungkin sakit “lanjutan” dari penyakit jantung yang dulu pernah mendera beliau 1998 silam.
Sakit apapun yang dideritanya, setiap orang pasti akan mengharapkan kesembuhan, demikian pula dengan saya. Seringan apapun sakitnya, pasti menginginkan kondisi badan yang fit, demikian pula kami yang mengharapkan a keadaan ayah membaik.
Pagi ini, sekitar jam 9, saya baru saja pulang futsal (sepak bola di lapangan kecil). Begitu tahu saya pulang, ayah dan ibu meminta saya untuk membelikan obat penghilang rasa nyeri. Saya pun segera berangkat untuk mencari obat yang dimaksud.
Alhamdulillah, akhirnya saya mendapatkan obat tersebut pada sebuah apotek yang cukup jauh dari rumah. Namun, karena saya kelelahan setelah tadi futsal, saya pun beristirahat sejenak untuk memulihkan tenaga dan menyegarkan diri dengan menikmati es kelapa. Saya merasa tenang-tenang saja. Toh, obatnya sudah saya beli. Setelah menghabiskan es kelapa, barulah saya pulang. Mengantarkan pesanan obat.
Sungguh tak disangka dengan apa yang terjadi sepulangnya saya ke rumah. Ayah tiba-tiba menghampiri dan memarahi saya dengan tegasnya. Beliau mempertanyakan mengapa untuk membeli obat saja saya begitu lama. Saya pun menceritakan perihal ini (beli es kelapa) pada beliau.
Saya terkejut. Tak biasanya beliau tiba-tiba marah seperti ini karena keterlambatan yang tidak begitu lama, dan tidak biasanya setelah marah suasana reda begitu saja. Ngaku aja lah, ini memang kesalahan saya. Karena memang demikian.
Saya sendiri adalah anak yang terbilang paling dekat dengan beliau. Ibu dan kakak saya pun mengakuinya. Maka dari itu, bila ayah sedang ‘emosi’, biasanya saya yang diminta untuk meredakannya.
Ada satu hal lagi yang membuat saya merasa aneh. Kali ini saya merasa tak begitu ‘sakit hati’ karena kemarahan beliau. Ya mungkin karena itu tadi, marahnya hanya sesaat, dan terkesan amat menegur keteledoran saya. Seakan-akan ada pelajaran berharga yang ingin beliau sampaikan. Setelah beliau marah, dengan begitu saja beliau menghampiri kasur istirahatnya yang bersebelahan dengan meja tempat kami menyimpan obat untuk beliau. Seakan-akan tadi saya tak melakukan salah apa-apa.
Setelah minum obat, beliau sempat berceletuk, “Udah lah, tobat aja. Mungkin udah waktunya pulang...”
Apa maksudnya ya?
###
Menjelang shubuh, saya bersiap-siap untuk ke masjid. Ayah belum bangun. Kadang sebelum shubuh beliau sudah bangun. Sepulang dari masjid, beliau masih tampak berbaring di kasur dengan kamarnya yang masih gelap karena lampu sengaja dimatikan. Tumben beliau belum bangun. Hingga jam setengah 6, saat saya hendak berangkat kuliah, ternyata beliau masih belum bangun. Sudahlah, lagian tak baik bila saya membangunkannya. Mungkin beliau masih kurang fit, butuh istirahat.
Saya pun hanya berpamit pada ibu.
Sesampainya di kampus, segalanya masih berjalan seperti biasa. Sampai akhirnya seorang tetangga -yang juga kuliah di kampus ini- menyusul dan mencari saya hingga ke fakultas hanya demi menyampaikan pesan: “Dit, bapa pupus!”.
Saya yang saat itu sedang ngobrol dengan Agam dan Tegar sambil menunggu masuk kuliah, masih ragu dengan berita tersebut sehingga tidak berkata apa-apa. Mungkin saja hanya mati suri, semoga saja. Sebelum kembali ke rumah, saya hanya sempat pamit pada mereka.
Sepanjang jalan menuju rumah, saya semakin cemas, apakah berita ini benar atau tidak.
Benarlah apa yang disampaikan oleh tetangga saya itu. Sesampainya di rumah, jenazah almarhum telah dimandikan, dikafani, dan siap untuk dikebumikan. Sedangkan saya sendiri hanya terpaku melihat keadaan. Seakan tidak percaya dengan berita kepulangan tersebut. Seakan tidak percaya bahwa segalanya telah berubah di keluarga kami.
Mungkin ini maksud perkataannya yang kemarin. “..Mungkin udah waktunya pulang...”
Tak ada yang menyangka, kalau tegurannya yang kemarin akan menjadi teguran terakhir, sekaligus menjadi pelajaran terakhir. Pelajaran bahwa jangan sekali-kali melalaikan amanat, apalagi bila amanat tersebut menyangkut hayat orang lain. Berhati-hatilah bila orang lain memberikan amanat. Mungkin amanat tersebut remeh, kecil dan sederhana, namun bisa jadi justru amat penting.
Sakit apapun yang dideritanya, setiap orang pasti akan mengharapkan kesembuhan, demikian pula dengan saya. Seringan apapun sakitnya, pasti menginginkan kondisi badan yang fit, demikian pula kami yang mengharapkan a keadaan ayah membaik.
Pagi ini, sekitar jam 9, saya baru saja pulang futsal (sepak bola di lapangan kecil). Begitu tahu saya pulang, ayah dan ibu meminta saya untuk membelikan obat penghilang rasa nyeri. Saya pun segera berangkat untuk mencari obat yang dimaksud.
Alhamdulillah, akhirnya saya mendapatkan obat tersebut pada sebuah apotek yang cukup jauh dari rumah. Namun, karena saya kelelahan setelah tadi futsal, saya pun beristirahat sejenak untuk memulihkan tenaga dan menyegarkan diri dengan menikmati es kelapa. Saya merasa tenang-tenang saja. Toh, obatnya sudah saya beli. Setelah menghabiskan es kelapa, barulah saya pulang. Mengantarkan pesanan obat.
Sungguh tak disangka dengan apa yang terjadi sepulangnya saya ke rumah. Ayah tiba-tiba menghampiri dan memarahi saya dengan tegasnya. Beliau mempertanyakan mengapa untuk membeli obat saja saya begitu lama. Saya pun menceritakan perihal ini (beli es kelapa) pada beliau.
Saya terkejut. Tak biasanya beliau tiba-tiba marah seperti ini karena keterlambatan yang tidak begitu lama, dan tidak biasanya setelah marah suasana reda begitu saja. Ngaku aja lah, ini memang kesalahan saya. Karena memang demikian.
Saya sendiri adalah anak yang terbilang paling dekat dengan beliau. Ibu dan kakak saya pun mengakuinya. Maka dari itu, bila ayah sedang ‘emosi’, biasanya saya yang diminta untuk meredakannya.
Ada satu hal lagi yang membuat saya merasa aneh. Kali ini saya merasa tak begitu ‘sakit hati’ karena kemarahan beliau. Ya mungkin karena itu tadi, marahnya hanya sesaat, dan terkesan amat menegur keteledoran saya. Seakan-akan ada pelajaran berharga yang ingin beliau sampaikan. Setelah beliau marah, dengan begitu saja beliau menghampiri kasur istirahatnya yang bersebelahan dengan meja tempat kami menyimpan obat untuk beliau. Seakan-akan tadi saya tak melakukan salah apa-apa.
Setelah minum obat, beliau sempat berceletuk, “Udah lah, tobat aja. Mungkin udah waktunya pulang...”
Apa maksudnya ya?
###
Menjelang shubuh, saya bersiap-siap untuk ke masjid. Ayah belum bangun. Kadang sebelum shubuh beliau sudah bangun. Sepulang dari masjid, beliau masih tampak berbaring di kasur dengan kamarnya yang masih gelap karena lampu sengaja dimatikan. Tumben beliau belum bangun. Hingga jam setengah 6, saat saya hendak berangkat kuliah, ternyata beliau masih belum bangun. Sudahlah, lagian tak baik bila saya membangunkannya. Mungkin beliau masih kurang fit, butuh istirahat.
Saya pun hanya berpamit pada ibu.
Sesampainya di kampus, segalanya masih berjalan seperti biasa. Sampai akhirnya seorang tetangga -yang juga kuliah di kampus ini- menyusul dan mencari saya hingga ke fakultas hanya demi menyampaikan pesan: “Dit, bapa pupus!”.
Saya yang saat itu sedang ngobrol dengan Agam dan Tegar sambil menunggu masuk kuliah, masih ragu dengan berita tersebut sehingga tidak berkata apa-apa. Mungkin saja hanya mati suri, semoga saja. Sebelum kembali ke rumah, saya hanya sempat pamit pada mereka.
Sepanjang jalan menuju rumah, saya semakin cemas, apakah berita ini benar atau tidak.
Benarlah apa yang disampaikan oleh tetangga saya itu. Sesampainya di rumah, jenazah almarhum telah dimandikan, dikafani, dan siap untuk dikebumikan. Sedangkan saya sendiri hanya terpaku melihat keadaan. Seakan tidak percaya dengan berita kepulangan tersebut. Seakan tidak percaya bahwa segalanya telah berubah di keluarga kami.
Mungkin ini maksud perkataannya yang kemarin. “..Mungkin udah waktunya pulang...”
Tak ada yang menyangka, kalau tegurannya yang kemarin akan menjadi teguran terakhir, sekaligus menjadi pelajaran terakhir. Pelajaran bahwa jangan sekali-kali melalaikan amanat, apalagi bila amanat tersebut menyangkut hayat orang lain. Berhati-hatilah bila orang lain memberikan amanat. Mungkin amanat tersebut remeh, kecil dan sederhana, namun bisa jadi justru amat penting.
Mengenang peristiwa Oktober 2007
Pinggir kota Bandung
0 comments:
Post a Comment