Jum’at, pagi hari. Pagi ini saya berangkat untuk kuliah. Tapi setelah beberapa saat di kelas, seorang staf jurusan memberi kabar bahwa dosennya ada rapat fakultas. Maklum lah, dosen yang sekarang harusnya mengajar ini adalah pembantu dekan. Apa boleh buat, akhirnya saya memutuskan untuk beranjak dari kampus, karena memang hari ini tidak ada lagi jadwal kuliah.
Nanggung, masih jam 10an. Teringat bahwa ini hari Jum’at, dan salah satu tempat langganan saya adalah Salman. Karena di Salman memang ada pasar Jum’at saat siang hari. Yah, sekitar jam 10-an sampai ba’da jum’atan. Shalat Jum’at masih lama, sekitar satu setengah jam lagi, jadi saya pun jalan-jalan menyusuri pasar ‘dadakan’ ini. Setelah jalan-jalan, dan sempat beli kaos, akhirnya saya berhenti di sebuah tempat langganan, yaitu tukang es cendol. Lumayan lah, menikmati segelas es cendol sembari memperhatikan hiruk pikuk pasar dadakan ini.
Memang, ada sesuatu yang membuat saya merasa menikmati es cendol di sini. Itu tak lain karena di sini saya merasakan kehidupan sebagai warga kelas menengah ke bawah. Jajan di tukang cendol yang ada di pinggir jalan, dan mengintari pasar dadakan. Kalau kalian tahu, sebenarnya pasar dadakan juga kadang disebut pasar murah, karena di sini harga barang biasanya lebih murah dibanding barang-barang di pasar pada umumnya. Di sini juga banyak tukang loak, makanya celana panjang (yang untuk dipakai ke kantor) seharga 10 ribu pun ada. Pendek kata, saya betah di sini karena saya merasa telah seutuhnya tampak menjadi orang biasa. Ya, benar-benar orang biasa. Tempat ini adalah pasar dadakan, bukan mall atau supermarket. Tempat makan di sini adalah emperan, bukan resto/café. Hiburan yang ada hanyalah tukang ngamen yang lewat, bukan bioskop.
Yah, saya masih ingin menjalani hidup sebagai Adit yang biasa dan apa adanya. Entah kenapa, saya jadi kepikiran obrolan tempo hari. Intinya, ada seseorang yang bilang bahwa ia kagum pada saya. Dan sampai saat ini pun, saya masih mikir “kenapa?”. Sejujurnya, selama ini saya selalu berusaha tampil sebagai orang biasa, dan bersikap sewajarnya. Pada siapapun, tanpa pengecualian. Sejak tahun 2004, saya sudah niat untuk tampil apa adanya, menjadi orang biasa, tidak ‘mempertontonkan’ kelebihan yang saya miliki. Bahkan saya tak menutupi ‘hal-hal memalukan’ yg ada pada diri ini. Makanya, saya heran saat ada orang yang bilang “Dit, lo hebat!”
###
Saat masih SMP, saya memang sempat menjadi public figur di sekolah. Tapi untungnya tidak diidolai oleh banyak orang. Setidaknya itu membuat saya bisa hidup lebih tenang. Sejujurnya, saya kasihan pada seorang teman yang hampir setiap saat selalu ‘diganggu’ oleh para penggemarnya. Itu pula yang akhirnya membuat saya memilih untuk benar-benar tampak menjadi orang biasa, mencegah hal-hal yang bisa membuat saya jadi public figure.
Dibanding foto bareng pejabat, tokoh, atau orang-orang terkenal, saya lebih senang bila difoto bareng tukang becak, tukang batagor, dan sejenisnya. Saya pun tak begitu senang difoto, andai ada foto bareng, saya lebih senang berada di pinggir barisan, bukan di tengah. Yah, setidaknya posisi itu membuat saya tidak tampak dominan.
Saya belajar, bahwa di kampus, terasa ada dorongan yang kuat untuk mendapatkan popularitas, dan menjadi tokoh di kampus. Tapi sayangnya, saya lebih memilih untuk tampil menjadi orang biasa, bukan yang dikagumi, disukai, atau diidolai orang-orang. Saya tampak inferior, karena memang tak mau tampak superior.
Dulu, pernah ada orang yang berkomentar bahwa seakan ada sesuatu yang saya sembunyikan, atau sesuatu saya ‘tahan’ sehingga tak terlihat. Saya rasa, inilah hal yang ia maksud. Tepatnya, ia adalah seorang teman KKN saya tahun 2007 silam.
Sebuah tulisan lama di tahun 2008
0 comments:
Post a Comment