Ketika Orang Tua Belajar dari Anaknya

“Dit, nggak ke masjid?”
Begitulah tanya ibu yang seketika itu pula mengejutkan saya. Terkejut? Tentu saja iya, karena saya tak pernah menduga ibu akan bertanya seperti itu. Bila maghrib atau isya saya ada di masjid, ibu selalu SMS, bahkan menelfon menanyakan keberadaan saya. Tapi dibalik menanyakan keberadaan itu, maksud sebenarnya adalah meminta saya untuk segera pulang. Rasanya aneh. Bila saya getol ke masjid, ibu tak jarang meminta saya untuk pulang. Namun bila saya ngebela-belain untuk maghrib, ashar, atau shubuh di rumah, ibu malah bertanya “Kenapa sekarang mah nggak ke masjid lagi?”

Entah kenapa ibu jadi demikian. Entah karena saya yang tampak ‘lain’ karena jadi jarang ke masjid, entah gara-gara pas belanja sayur ibu ditanya oleh ibu-ibu tetangga yang bertanya “Bu, kalau Adit ke mana? Kok nggak kelihatan lagi di masjid?” Yah, apapun itu penyebabnya, yang jelas saya tak tahu mengapa.

Sebenarnya bukan hanya itu yang membuat saya heran, melainkan ada hal lain yang rasanya lucu (buat saya sih demikian) untuk diingat. Saya ingat betul bahwa dulu ibu pernah nyinggung sikap saya yang jadi rutin shalat di masjid. Emang sih, rasanya tak enak juga. Niat mau ibadah memakmurkan masjid, eh malah diledek, bahkan oleh ibu sendiri. Saya yang mulai aktif di masjid pun sebenarnya merasa tak enak saat mulai banyak menghabiskan waktu untuk kegiatan-kegiatan di masjid. Tak enak karena ledekan dari ibu. Ledekan dari beliau seolah menyiratkan bahwa aneh bila anaknya memilih untuk aktif di masjid.

Ngerti lah andai beliau merasa aneh bila anaknya yang satu ini sering ke masjid. Maklum, di keluarga besar kami, memang jarang (bahkan tak ada) yang familiar dengan hiruk-pikuk aktivitas di masjid. Alhasil, saya jadi satu-satunya orang ‘aneh’ di keluarga ini. Sendirian menjadi orang yang ‘kontroversial’.

“Bu, ke masjid duluuuu... Assalamu’alaykum!”
Begitulah bila waktu shalat tiba atau saat ada kegiatan di masjid. Bermodalkan sifat cuek, akhirnya saya melenggang dari rumah menuju masjid. Biarlah orang tua mau berkomentar apa, terserah. Kajeun! Begitu, begitu, dan begitulah saya menjalani hari-hari sebagai orang aneh, kontroversial di rumah.

Setahun kemudian, orang tua mulai terkesan berubah dan bisa menerima sosok saya yang bersikeras untuk aktif di masjid. Walau ibu tak langsung mengungkapkan rasa penerimaannya tersebut, setidaknya terlihat dari bagaimana beliau yang mulai rutin ikut pengajian ibu-ibu. Entah kenapa demikian? Saya juga tak tahu-menahu. Mungkin ibu tak enak pada ibu-ibu tetangga yang rutin pengajian. Akui saja, semenjak aktif di masjid, ibu-ibu pengajian yang juga adalah ibu-ibu tetangga memang sering melihat saya yang kerap menjadi panitia kegiatan. Bahkan beberapa diantara mereka cukup familiar. Jigana emak urang eraeun ka ibu-ibu!

Entah kenapa jadi demikian, yang jelas secara perlahan ibu mulai rutin mengikuti pengajian ibu-ibu. Syukur lah.

Begitu juga saat saya mulai intensif untuk mengikuti program tahsin qur’an di sebuah lembaga tahfizhul qur’an. Gara-gara mengikuti program tahsin, saya pun jadi sering ngaji di rumah karena punya targetan perbaikan tilawah. Perbaikan kaidah bacaan, sampai vokal. Mau tak mau suara mesti agak keras dan jelas. Latihan mengaji ini saya lakukan secara rutin di ruang tamu, jadi ibu pun tahu akan rutinitas saya yang baru ini. Begitu, begitu, dan terus begitu.

Beberapa bulan kemudian, entah dapat angin segar dari mana, tiba-tiba saja ibu bilang “Dit, mamah juga pengen belajar ngaji lagi ah. Nanti mau minta ustadzah buat dateng ngajarin ngaji tiap malem kamis.” Alhamdulillah. Senang mendengarnya, walaupun di sisi lain saya juga kaget. Senang karena beliau akhirnya bersemangat untuk belajar ngaji, dan kaget karena beliau tiba-tiba saja jadi pengen intensif belajar ngaji.

Sebelumnya, sama sekali tak terpikir bahwa ibu akan mengikuti irama kehidupan saya, anaknya. Saya aktif di masjid, beliau jadi rajin ke pengajian. Saya intensif perbaikan tilawah, beliau pun jadi bersemangat untuk belajar mengaji.

Mungkin ada benarnya pesan dari pak guru, “Tegurlah dengan kepribadianmu! Perlihatkan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah. Perlihatkan, bukan sekedar omongan.” Setidaknya, apa yang dikatakan oleh pak guru itu benar-benar terjadi dalam keseharian. Saya baru ‘ngeh’. Diam-diam, ternyata orang tua pun bisa belajar dari anaknya.

Mereka bukan tipikal orang yang senang diceramahi, apalagi digurui. Mungkin semua orang tua (begitu juga kalangan eksekutif, petinggi, atau senior) pun demikian. Seandainya saya menceramahi mereka, pasti mereka tak mau dengar dan bersikeras dengan pendiriannya. Ya iya lah, memangnya saya siapa di hadapan mereka? Namun di balik itu semua, di balik sisi kerasnya, mereka sebenarnya belajar dari kehidupan saya sehari-hari. Yang mereka perhatikan selama ini adalah kesungguhan dan keistiqamahan, bukan omongan saya.

Saat mentari pagi mulai naik
Jatinangor, 30 Desember 2011

0 comments:

Post a Comment