Februari 2005. Awal di mana Masjid Salman ITB mulai banyak mengisi lembaran harian cerita hidup saya. Masih ingat betul saat kami mengikuti acara pembinaan calon pengurus sebuah unit di Salman. Kami para ikhwan yang suka bercanda, dan ada para akhwat yang sangat idealis. Dilihat dari database calon pengurus, kebanyakan calon akhwat berasal dari kampus UPI. Mungkin akhwat UPI (tahun 2004-an) pada idealis kali ya? Yah, seperti apapun mereka, amat kontras dengan kami para ikhwan yang beberapa menit sekali tertawa cekakak-cekikikan selama berjalannya acara ini.
Puncaknya saat Ust. Ade (alm.) memberikan sebuah topik diskusi. Beliau bercerita bahwa ada seorang anak tentara yang sangat ingin berjilbab. Namun keinginan si anak ditentang oleh bapaknya, dengan alasan bapaknya akan sangat malu apabila anaknya itu berjilbab. Sedangkan sang anak bersikukuh untuk berjilbab. Ust. Ade meminta kami untuk berdiskusi, “Bila anak tentara ini meminta nasehat pada kalian, apa yang akan kalian katakan padanya?”
Selama beberapa menit kami berdiskusi. Dalam diskusi ini, kami terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok ikhwan dan kelompok akhwat. Ikhwan berdiskusi dengan yang ikhwan, akhwat berdiskusi dengan yang akhwat. Sampai waktunya habis, kami pun siap dengan jawaban kelompok masing-masing.
“Baik, kelompok mana dulu yang mau ngasih pendapat?” begitulah Ust. Ade bertanya. Tak lama setelah itu, salah seorang akhwat, namanya Anggi, dengan pedenya memberikan pendapat hasil diskusi mereka. “Anak itu akan kami dekati secara personal supaya dia tidak menyerah. Sedangkan bapaknya, coba dikasih pemahaman supaya dia bisa mengerti keinginan anaknya itu. Intinya kita berusaha supaya anak ini bisa tetap berjilbab, dan bapaknya yang tentara ini pun bisa menerima keputusan anaknya.” Waw, idealis banget ya! Saya agak terkejut dengan jawaban akhwat ini yang berbicara dengan nada-nada agak keras dan tanpa basa-basi.
“Baik, yang ikhwan gimana?” salah satu dari kami dipilih untuk menjadi juru bicara, dia menyampaikan hasil diskusi kami. Jawabannya singkat, kami akan bilang pada si anak, “Kamu kan ikhwan, ngapain pake jilbab?” (tadi Ust. Ade tak bilang anak tentara ini perempuan atau laki-laki kan?) Sontak kami para ikhwan pun cekikikan mendengar. Sementara itu, para akhwat terdiam tanpa suara sedikit pun, tak berkomentar sama sekali. Entah, mereka gusar akan pendapat kami kali ya? Secara gitu, mereka udah sebegitu seriusnya menanggapi masalah ini, tahunya kami malah tertawa cekikikan.
Seperti minyak dan air, bagaikan asam dan asin. Cerita tentang perbedaan ini pun terus berjalan, bahkan setelah kami menjadi pengurus. Para akhwat yang masih idealis, dan para ikhwan yang masih suka bercanda. Tak jarang kami (khususnya saya) kena semprit akhwat gara-gara bercanda terus. Dalam rapat, dalam forum, atau bahkan saat-saat rehat tanpa ada kegiatan. “Sssssttt! Ikhwan nih, malah bercanda terus!”, “Diem Adit! Jangan bercanda terus!”, dll. Kena semprit, ditegur, dimarahin, mungkin itulah makanan saya sehari-hari apabila ada akhwat-akhwat ini. Wayahna lah!
Gusar, kesal, dan marah. Itulah kesan yang saya tangkap dari cara mereka menyikapi kelakuan kami yang suka bercanda. Begitulah mereka adanya, dan di sisi lain, beginilah kami adanya. Mereka dengan karakternya masing-masing, begitu juga kami dengan karakter kami masing-masing. Begitulah kami mewarnai keseharian dalam aktivitas di organisasi.
Kisah ini berlanjut hingga kami mulai dipercaya untuk langsung membina adik-adik sekolah. Sebulan dua bulan berjalan, rasanya mulai ada perubahan. Saat evaluasi acara, kami mulai jarang ditegur atau dimarahi gara-gara bercanda, padahal tak ada yang berubah dari kami, masih suka bercanda. Rupanya secara perlahan ada yang berubah. Perubahan ini jelas terasa saat saya bercanda saat memeriksa dan menginventaris properti untuk teater. Seperti biasa, saya bercanda dengan menggunakan properti tersebut layaknya orang aneh yang berbuat macam-macam (seperti kelakuan Sule atau Azis di OVJ). Sulit dipercaya kalau ternyata ada akhwat yang malah mengacungkan jempol. Herannya, yang mengacungkan jempol ini adalah Anggi, akhwat yang paling idealis, yang paling gusar bila saya bercanda. Kok bisa jadi begini ya?
Ada yang lebih parah lagi. “Hey, ada yang punya HP yang pake kamera?” begitulah saya bertanya pada orang-orang yang ada di sekre karena mau mencari alat untuk mendokumentasikan sesuatu. Tiba-tiba Anggi menjawab, “Ada juga HP-nya aja. Mau nih?” Beuh! Ini orang malah ngajak bercanda. Kalau HP-nya aja mah saya juga punya. Duh.. duh.. duh.. kenapa dia jadi begini ya? Padahal dulu dia sangat idealis, akhwat bertampang paling ‘galak’ dan ‘garang’ tanpa sedikit pun candaan saat berorganisasi begini.
Ternyata, Anggi bukan satu-satunya akhwat yang berubah. Akhwat yang lain pun banyak yang berubah. Hanya saja, memang Anggi yang tampak berubah secara drastis. Jauh berbeda dari Anggi yang dulu pertama kali saya kenal.
Entah apa yang membuat mereka bisa berubah hingga seperti ini. Mereka yang dulunya begitu idealis, sekarang mendadak jadi tukang heureuy. Yah, begitulah mereka. Saya mesti mengakui, seperti apapun mereka, siapapun mereka, bagaimanapun juga mereka adalah manusia biasa yang bisa saja berubah.
Terkejut, heran, tercengang, aneh, merasa asing, dan kadang ingin mentertawakan kenyataan ini. Begitulah yang ada dalam benak saya saat menyadari adanya perubahan itu sambil mengelus-elus dada. Duh, ya Allah... semoga hijrahnya teman-teman saya itu adalah hijrah pada jalan-Mu, hijrah yang membuat-Mu semakin ridha pada mereka. Seperti Anton Medan, seorang preman ternama yang kini telah hijrah kemudian menjadi ustadz, atau seperti Hari Moekti (mantan rocker) yang sekarang telah jadi mubaligh.
***
Ketika orang-orang di sekeliling kita mulai berubah, terkadang kita merasakan kesan yang lain dari sebelumnya. Bahkan mungkin sampai kita terheran-heran. Tapi begitulah, ada bagian yang berubah, dan ada bagian yang masih sama seperti dulu.
0 comments:
Post a Comment