Balada Si Pengelana

Ada satu komentar seorang teman yang masih saja terngiang hingga akhir-akhir ini. “..Adit itu, suka bagi-bagi ilmu atau pengalaman..” Yah, mungkin ada benarnya juga apa yang dia katakan. Saya pribadi tak bisa memungkiri bahwa begitulah keseharian saya dalam berteman. Bercerita (berbagi ilmu dan pengalaman) seperti menjadi menu wajib dalam obrolan, atau sekedar SMS-an.

Mungkin terispirasi dari film-film silat kali ya? Di mana ceritanya (hampir selalu) ada seorang guru yang berkelana, kemudian bertemu dengan seorang anak, pemuda, atau pemudi. Kemudian dia melatih dan mengajarkan banyak hal pada si anak tersebut. Anak tersebut tumbuh berkembang, sampai akhirnya guru tersebut pergi karena menganggap bahwa sudah tak ada lagi yang bisa dia ajarkan kepada anak didiknya itu. Pergi, menghilang entah ke mana, tanpa ada kabar.

Awalnya sekedar senang nonton film-film silat begituan, tapi pada akhirnya jadi ‘ikut-ikutan’ juga. Walau ceritanya tak sama persis. Ternyata (setelah direnung-renung) saya pun demikian adanya.

Masih ingat, saat dulu waktu tingkat 1 kuliah. Dulu saya pernah berteman akrab dengan Eki dan Uni. Dulu, selalu ada pengalaman yang bisa dibagi. Sampai akhirnya (entah tingkat 2 atau 3) saya mulai ‘jenuh’, ‘mentok’, rasanya tak ada lagi ilmu atau pengalaman yang bisa dibagi. Pendek kata, serasa tak ada lagi bahan obrolan dalam pertemanan kami. Kalaupun bertemu, apa lagi yang mau kami obrolkan? Rasanya tak ada lagi. Rasanya dunia kami telah berbeda. Mereka dengan kehidupannya masing-masing, begitu juga saya dengan kehidupan pribadi sendiri. Eki yang sekarang sudah menjadi dokter, Uni yang menjadi ‘konsultan’ pendidikan, sedangkan saya masih seperti dulu, menulis dan menjadi guru ngaji.

Intinya, begitulah yang saya rasakan. Jenuh, mentok, tak ada lagi yang berkesan dalam hubungan diantara kami.

***

Hal yang serupa terjadi saat menjadi figur kakak bagi beberapa orang. Rasa-rasanya udah jenuh juga, mentok, tak ada lagi pengalaman yang bisa dibagi kepada adik-adik. Sampai akhirnya semenjak pertengahan 2011 kemarin berani mengatakan “Carilah kakak baru yang bisa membuatmu banyak belajar!” Rasanya tak ada lagi yang bisa saya perbuat sebagai kakak.

Sebenarnya, sudah sangat lama terpikir untuk berhenti sebagai kakak. Yah, ada lah semenjak awal 2011. Jadi buat adek-adek, maaf ya!

***

Terakhir, ada Ririungan Penulis. Bersama Eris dan Intan, juga Raudika dan Nova. Kami bersama-sama membangun komunitas penulis ini. Mulai dari buku pertama yang terbit Maret 2011, hingga buku ketiga yang terbit saat momen hari pahlawan di bulan November. Kemudian, saat Desember tidak ada agenda apa-apa. ‘Proyek Serius’ naskah cathar untuk ke penerbit pun tampaknya terbengkalai, terlihat hingga saat ini belum ada respon lanjut dari temen-temen di Ririungan. Coba cek ke email Ririungan, ternyata belum ada naskah yang masuk lagi. Entah sampai kapan ‘Proyek Serius’ ini akan tertunda.

Kesibukan aktivitas, itulah yang menjadi alasan saya untuk mundur sebagai juragan Ririungan Penulis. Kuliah, mendirikan bimbel, ngajar, dan organisasi (Yayasan, forum pemuda, dan LAZ). Baru-baru ini saya memang punya murid baru, ditambah amanat baru sebagai sekretaris LAZ. Hal itu akhirnya memantapkan hati saya untuk mundur dan tak lagi mengurus Ririungan. Untuk selanjutnya, Ririungan saya serahkan pada Intan, Raudika, Eris, dkk.

Jenuh? Jujur saja, iya. Kejenuhan yang pernah saya rasakan dalam pertemanan dengan Uni dan Eki, atau kejenuhan seperti di Jurusan Psikologi dan Salman, saat ini pun saya rasakan di Ririungan Penulis. Setelah beberapa lama merenung, akhirnya mesti ngaku bahwa saya sudah merasa jenuh di Ririungan ini. Sebenarnya semenjak Oktober mulai merasa ada yang berubah. Ibarat bunga, seperti bunga yang melayu. Mencoba tuk bertahan dan melakukan sesuatu tuk mengembalikan keadaan sampai terbitnya buku ketiga di bulan November, namun tetap saja, rasa ‘aneh’ itu tak kunjung menghilang. Serasa makin hambar!

Puncaknya saat kopdar terakhir tanggal 31 Desember di Masjid Cipaganti. Entah kenapa, rasanya jenuh ini kian memuncak. Tak ada lagi gereget dalam obrolan santai di sela-sela kami. Berbeda jauh dengan saat pertama kali hendak membuat buku yang pertama “Kita Pernah Melukis Pelangi”. Sekarang, saya merasa tak lagi ada yang berkesan saat bertemu (atau sekedar SMS-an) dengan Intan, Eris, Raudika, maupun temen-temen penulis yang lainnya.

Mungkin ini yang membuat saya akhirnya semakin pede untuk pamit dari amanat sebagai juragan. Bila ada yang tersinggung karena tulisan ini, saya minta maaf! Selebihnya, mungkin akan seperti dulu lagi, sebagaimana saya dan temen-temen (yang pernah akrab) akhirnya berpisah, lalu saya pergi menghilang begitu saja tanpa kabar.

Hmm.. mungkin memang begitulah kehidupan. Ada pertemuan, ada perpisahan. Ada saatnya harus beranjak. Bila sudah tak ada lagi yang bisa dan perlu dilakukan, mungkin sebaiknya saya pergi untuk melakukan sesuatu di tempat lain.
 
~Good bye!

0 comments:

Post a Comment