Suatu hari, Pak Guru yang memberikan beberapa lembar uang kepada empat orang muridnya. Jumlah yang sama kepada setiap muridnya, tanpa pandang bulu, tanpa pandang usia, tanpa pilih kasih. Dengan kata lain, pak guru membanginya dengan adil. Pak Guru tak meminta mereka menggunakan uangnya untuk apa, apa, atau apa. Terserah anak-anak mau menggunakannya untuk apa, tergantung keinginan mereka.
Kata anak yang ke satu, “Mau ditabung aja ah!”
Kata anak yang ke dua, “Mau beli buku.”
Kata anak yang ke tiga, “Assiiikkk! Jajan..jajan..”
Kata anak yang ke empat, “Ada temen yang lagi susah, mungkin cukup buat nolongin dia.”
***
Kalau saya punya sesuatu, mau dipakai buat apa ya?
Ini mirip sekali dengan apa yang saya alami akhir-akhir ini. Walau telah lama terngiang, semenjak semester kedua kuliah (tahun 2005), hal ini semakin terngiang. Saya telah cukup lama kuliah, menimba ilmu, lalu ilmunya mau digunakan untuk apa?
Pastinya ada banyak macam jawaban, terutama bila melihat apa yang dilakukan oleh teman-teman kuliah. Ada yang demi prestasi (ngejar IPK), demi karir, eksistensi diri, dan lainnya. Bahkan ada yang demi mencari penghasilan atau mencari jodoh. Harus saya akui, bahwa memang ada yang demikian. Walau terkesan aneh atau lucu. Tapi begitulah orang-orang dengan segala keunikan dan pandangannya masing-masing.
Saat itu, yang terbayangkan oleh saya adalah andai apa yang saya pelajari ini tak ada manfaatnya buat hidup, maka sia-sialah saya belajar dengan tekun. Percuma saja belajar susah-susah sampai lelah. Maka selama kuliah pun, sesuatu yang selalu akan selalu saya ingat adalah “Untuk apa saya belajar?”
2004 silam, saat memilih jurusan, yang terpikirkan hanyalah sebuah do’a singkat. “Ya Allah, saya ingin menjadi seseorang yang dapat menjadi jalan kebaikan bagi ummat-Mu, bagi agama-Mu.” Sampai akhirnya do’a itu mengantarkan saya masuk ke Psikologi di UPI, dan do’a itu juga yang akhirnya (tahun 2006) mengantarkan saya untuk aktif di sebuah masjid yang ada di dekat rumah. Masjid Baitul Hikmah. Sejak itulah saya mulai menemukan jawaban. Saya akan tekun belajar Psikologi demi mengembangkan syiar Islam di lingkungan masjid tersebut.
Terserah saat orang memandang saya aneh, lain, dan sebagainya. Yang penting saya mendapatkan manfaat (benar-benar manfaat) dari kuliah di kampus. Seperti yang pernah ditanyakan oleh seorang dosen di awal perkuliahan, “Apa yang mau Anda cari dari perkuliahan ini?” Saya pun demikian, menentukan sendiri apa yang ingin saya dapatkan dari perkuliahan.
Alasan itu pula yang akhirnya membuat saya memilih bidang Psikologi Sosial. Melalui Psikologi Sosial, saya bisa belajar tentang perilaku masyarakat dan masalah-masalahnya. Setidaknya, ini jalur yang paling memungkinkan bagi saya untuk memahami problematika ummat. Demikian pula saat di kelas. Pendalaman-pendalaman materi lebih saya tujukan pada hal-hal apa saya yang akan terpakai saat saya menghadapi masyarakat. Saya pikir, begitulah caranya bila ingin ilmu yang saya pelajari menjadi manfaat. Sejak awal sudah memikirkan, apa yang bisa saya lakukan dengan ilmu ini?
Saya tahu, bahwa saya bukanlah mantan mahasiswa berprestasi, dan saya bukanlah mahasiswa terbaik di kampus. Saya juga dulu bukan public figure yang dikenal dan dihormati banyak orang. Saya juga tak pernah jadi pengurus BEM. Karena memang bukan itu yang saya cari selama belajar. Namun saat sebuah penelitian yang saya tekuni di tahun 2009 (tentang minat baca dan minat menulis) pada akhirnya melahirkan sebuah komunitas kepenulisan, saya sudah cukup senang. Saat tulisan-tulisan yang saya posting -pada akhirnya- menggerakkan orang untuk berbuat (beramal), saya juga cukup senang. Saat hasil belajar saya di kampus memberikan kontribusi bagi berkembangnya da’wah di tempat asal saya, itu sudah cukup.
Skripsi saya bukanlah yang tertinggi nilainya di kampus, namun ada sesuatu yang bisa saya hasilkan dari buah perjuangan menyusun skripsi. Lebih dari itu, saya tahu potensi kawan-kawan di jurusan ini untuk mengembangkan budaya menulis, dan itu pula yang membuat saya cukup pede untuk bersama mendirikan komunitas kepenulisan. Percayalah! Ada hal-hal dalam diri kita yang takkan bisa diukur oleh nilai (terutama indeks prestasi).
Ini mirip sekali dengan apa yang saya alami akhir-akhir ini. Walau telah lama terngiang, semenjak semester kedua kuliah (tahun 2005), hal ini semakin terngiang. Saya telah cukup lama kuliah, menimba ilmu, lalu ilmunya mau digunakan untuk apa?
Pastinya ada banyak macam jawaban, terutama bila melihat apa yang dilakukan oleh teman-teman kuliah. Ada yang demi prestasi (ngejar IPK), demi karir, eksistensi diri, dan lainnya. Bahkan ada yang demi mencari penghasilan atau mencari jodoh. Harus saya akui, bahwa memang ada yang demikian. Walau terkesan aneh atau lucu. Tapi begitulah orang-orang dengan segala keunikan dan pandangannya masing-masing.
Saat itu, yang terbayangkan oleh saya adalah andai apa yang saya pelajari ini tak ada manfaatnya buat hidup, maka sia-sialah saya belajar dengan tekun. Percuma saja belajar susah-susah sampai lelah. Maka selama kuliah pun, sesuatu yang selalu akan selalu saya ingat adalah “Untuk apa saya belajar?”
2004 silam, saat memilih jurusan, yang terpikirkan hanyalah sebuah do’a singkat. “Ya Allah, saya ingin menjadi seseorang yang dapat menjadi jalan kebaikan bagi ummat-Mu, bagi agama-Mu.” Sampai akhirnya do’a itu mengantarkan saya masuk ke Psikologi di UPI, dan do’a itu juga yang akhirnya (tahun 2006) mengantarkan saya untuk aktif di sebuah masjid yang ada di dekat rumah. Masjid Baitul Hikmah. Sejak itulah saya mulai menemukan jawaban. Saya akan tekun belajar Psikologi demi mengembangkan syiar Islam di lingkungan masjid tersebut.
Terserah saat orang memandang saya aneh, lain, dan sebagainya. Yang penting saya mendapatkan manfaat (benar-benar manfaat) dari kuliah di kampus. Seperti yang pernah ditanyakan oleh seorang dosen di awal perkuliahan, “Apa yang mau Anda cari dari perkuliahan ini?” Saya pun demikian, menentukan sendiri apa yang ingin saya dapatkan dari perkuliahan.
Alasan itu pula yang akhirnya membuat saya memilih bidang Psikologi Sosial. Melalui Psikologi Sosial, saya bisa belajar tentang perilaku masyarakat dan masalah-masalahnya. Setidaknya, ini jalur yang paling memungkinkan bagi saya untuk memahami problematika ummat. Demikian pula saat di kelas. Pendalaman-pendalaman materi lebih saya tujukan pada hal-hal apa saya yang akan terpakai saat saya menghadapi masyarakat. Saya pikir, begitulah caranya bila ingin ilmu yang saya pelajari menjadi manfaat. Sejak awal sudah memikirkan, apa yang bisa saya lakukan dengan ilmu ini?
Saya tahu, bahwa saya bukanlah mantan mahasiswa berprestasi, dan saya bukanlah mahasiswa terbaik di kampus. Saya juga dulu bukan public figure yang dikenal dan dihormati banyak orang. Saya juga tak pernah jadi pengurus BEM. Karena memang bukan itu yang saya cari selama belajar. Namun saat sebuah penelitian yang saya tekuni di tahun 2009 (tentang minat baca dan minat menulis) pada akhirnya melahirkan sebuah komunitas kepenulisan, saya sudah cukup senang. Saat tulisan-tulisan yang saya posting -pada akhirnya- menggerakkan orang untuk berbuat (beramal), saya juga cukup senang. Saat hasil belajar saya di kampus memberikan kontribusi bagi berkembangnya da’wah di tempat asal saya, itu sudah cukup.
Skripsi saya bukanlah yang tertinggi nilainya di kampus, namun ada sesuatu yang bisa saya hasilkan dari buah perjuangan menyusun skripsi. Lebih dari itu, saya tahu potensi kawan-kawan di jurusan ini untuk mengembangkan budaya menulis, dan itu pula yang membuat saya cukup pede untuk bersama mendirikan komunitas kepenulisan. Percayalah! Ada hal-hal dalam diri kita yang takkan bisa diukur oleh nilai (terutama indeks prestasi).
***
Akhirnya, kembali lagi pada kita. Kita sudah banyak belajar, kita sudah banyak menghabiskan waktu untuk mencari ilmu, menimba pengalaman, berguru. Lalu, ilmunya mau dipakai untuk apa?
Saya masih berpikir, ada banyak yang bisa kita lakukan dari sekedar belajar demi mengejar nilai IPK atau eksistensi. Kita bisa membuat hal lain yang lebih bermanfaat. Hal lain yang bisa membuat kehidupan kita jadi lebih baik.
Saya masih berpikir, ada banyak yang bisa kita lakukan dari sekedar belajar demi mengejar nilai IPK atau eksistensi. Kita bisa membuat hal lain yang lebih bermanfaat. Hal lain yang bisa membuat kehidupan kita jadi lebih baik.
From Cijerah with heart
1 April 2012
1 April 2012
0 comments:
Post a Comment