Saat Allah Menjaga Titipan Hamba-Nya

Sebutlah namanya Udin, begitulah seorang montir tamatan SMK bernama lengkap Wahyudin ini biasa disapa atau dipanggil. Udin bekerja sebagai seorang montir di sebuah bengkel kecil yang terletak di daerah tengah kota, cukup jauh dari rumahnya yang berada di pinggir kota.


Orangnya sederhana, bersahaja. Namun bagi teman-temannya, terutama teman di bengkel, Udin lebih dari sekedar sederhana dan bersahaja. Bagi mereka, Udin adalah sosok yang dermawan, ramah, menyenangkan, dan tak pernah sungkan untuk menolong. Sedangkan di mata pemilik bengkel, Udin adalah seorang pekerja yang tekun. Itulah yang membuat Udin disukai oleh teman-temannya, juga bosnya di kantor.

Suatu ketika, Pak Bos (pemilik bengkel) merasa ada yang ganjil dengan sikap Udin selama beberapa hari terakhir. Pak Bos yang terheran akan sikap Udin pun bertanya-tanya kepada karyawan lain di bengkel.

“Udin kenapa? Kok dia jadi lebih pendiam begitu?”
“Waduh, nggak tahu Pak! Saya juga heran.”

Rupanya bukan hanya Pak Bos yang terheran pada sikap Udin akhir-akhir ini, ternyata montir-montir lain pun demikian. Terheran dengan perubahan sikap yang terjadi pada Udin, seorang montir yang selama ini dikenal ramah dan menyenangkan. Akhirnya, rasa penasaran tersebut menuntun Pak Bos untuk bertanya langsung kepada Udin. Dengan gayanya yang ‘diplomatis’, Pak Bos memanggil Udin ke ruang direksi.

“Udin, ada apa denganmu? Kok tumben jadi lebih pendiam gitu?” tanya Pak Bos.
“Ah, tidak apa-apa Pak. Hanya ada sedikit masalah di keluarga.”
“Jangan dipendam sendiri begitu lah. Bilang saja ada masalah apa! Kamu kan bekerja di bengkel saya. Kalau Kamu kerjanya enjoy, kan saya juga jadi enak, montir-montir lain juga lebih senang melihatnya.”
“Anu Pak, begini... istri saya sedang hamil 8 bulan. Jadi mungkin beberapa hari atau minggu lagi dia akan melahirkan. Saya bingung mencari uang tambahan untuk biaya persalinannya Pak.”
“Din, Kamu itu kan udah cukup lama bekerja di bengkel saya. Jadi, jangan sungkan buat bilang! Baik, saya siapkan uang dulu ya. Lumayan untuk jaga-jaga, kalau-kalau nanti ada apa-apa dengan istri Kamu.”
“Tapi Pak...”
“Tapi kenapa?”
“Anu...”
“Sudahlah, anggap aja ini sebagai penghargaan atas pengabdian Kamu selama ini.”
“Tapi kan Bapak udah memberi saya gaji bulanan...”
“Iya, benar. Tapi selama ini kalau saya perhatiin, Kamu nggak sekedar bekerja. Kadang Kamu suka ngasih nasehat-nasehat buat montir-montir lain di sini, jadi tempat konsultasi, ngasih saran. Itu yang mau saya hargai.”
“Ah, saya insya Allah Ikhlas kok Pak! Nggak ngarep dikasih apa-apa.”
“Ya sudah, kalau begitu anggap aja ini pemberian.”
“Tapi Pak..”
“Kenapa? Nggak mau juga? Kalau begitu, anggap aja pinjaman.”
“Tapi Pak..”
“Sudah! Keadaan istri Kamu lebih penting.”

Setelah mengetahui seluk-beluk di balik kabar tentang Udin ini, akhirnya Pak Bos memberikan pinjaman uang Rp. 2.000.000,- untuk biaya persalinan istrinya Udin. Udin yang menerima pinjaman dari Pak Bos pun sumringah mendapatkan kabar baik ini lantaran beban yang selama ini menghantui pikirannya pun terkurangi. Begitulah Udin dengan raut yang penuh haru bahagia keluar dari ruangan Pak Bos. Pak Bos pun senang sembari berharap Udin akan kembali bekerja sebaik biasanya.

Hari telah sore. Matahari mulai tampak tenggelam di langit sebelah barat. Beberapa montir dan karyawan mulai berbenah, karena sebentar lagi bengkel akan tutup. Udin yang baru saja mendapat pinjaman uang dari Pak Bos masih tak mampu membendung kebahagiaan yang meluap di hatinya, sehingga wajahnya tampak cerah, ceria, penuh senyum.

Seperti biasa, sebelum pulang, Udin selalu mampir ke warteg dekat bengkel, membeli lauk pauk untuk dibawa ke rumah. Seperti biasa pula, Udin menyempatkan diri untuk ngobrol sejenak dengan beberapa temannya di warteg itu.

“Gimana kerjanya Mas? Lancar.” Sapa Parjo, teman sesama langganan di warteg.
“Alhamdulillah baik. Mas gimana?” Tanya Udin balik.
“Alhamdulillah, lancar. Cuma lagi lebih ngos-ngosan aja Mas.”
“Wah, ngos-ngosan kenapa Mas?”
“Iya nih Mas, lagi cari tambahan uang untuk biaya bersalin istri saya.”
“Wah, segera punya anak nih? Kapan?”
“Doain aja, moga lancar. Kata dokternya, insya Allah dalam waktu dekat ini. Sekarang istri saya lagi di rumah bersalin.”
“Lalu, sekarang?”
“Belum dapet.”

Udin yang menyadari keadaan Parjo pun mulai merenung, memikirkan keadaan istri Parjo yang ternyata lebih dekat dengan masa-masa melahirkan. Sama-sama sebagai suami dari seorang istri yang sedang mengandung, mereka sama-sama membutuhkan uang untuk biaya persalinan istrinya. Hanya saja, usia kehamilan istri Parjo lebih mendekati kematangan.

Ada keinginan untuk menolong teman, padahal tahu bahwa dirinya sendiri pun sedang membutuhkan. Begitulah Udin yang masih saja mencari-cari alasan untuk bisa membantu orang lain, terutama temannya.

“Mas Jo, bener Kamu lagi butuh uang?”
“Iya Mas.”
“Saya baru dapet pinjaman uang dari bos, ini juga untuk biaya persalinan istri saya. Tapi nanti, mungkin beberapa minggu lagi. Jadi, kalau Mas Jo mau, pakai dulu aja uangnya!”
“Beneran Mas?”
“Iya. Buat sekarang Mas Jo kayaknya lebih butuh.”
“Duh, makasih banget Mas. Entah gimana bisa ngebalas kebaikan Mas. Nanti pas gajian saya segera gantiin Mas.”
“Iya, Mas Jo. Sekarang keadaan istri Mas Jo lebih penting.”

Begitulah jawaban Udin seperti pesan dari Pak Bos. Udin yang baru saja mendapat pinjaman uang dari Pak Bos akhirnya merelakan uang tersebut untuk beberapa saat demi menolong temannya yang sedang membutuhkan. “Ah, sudah lah. Anggap aja beramal. Ya Allah, hamba titipkan uang itu pada-Mu, hamba titipkan uang ini di jalan-Mu...” lirih Udin dalam hati.

Segepok uang yang baru saja Udin dapat tadi sepulang kantor pun dibawa oleh Parjo ke rumah bersalin. Sore itu pun, Udin menghela nafas panjang sambil berharap semoga saja uang itu benar-benar bisa menolong Parjo, dan kembali pada waktunya saat nanti dibutuhkan untuk biaya persalinan istri. Lalu, seperti biasa, Udin pulang dengan menggunakan angkot.

Saat dalam perjalanan, terjadi peristiwa yang tak disangka-sangka, juga tentunya tak dinginkan. Tak ada orang yang mengharap untuk dirampok dan dirampas semua hartanya. Namun apa mau dikata, terjadi perampokan di angkot yang ditumpangi oleh Udin. Harta para penumpang dirampok habis, hanya ponsel Udin yang selamat dari perampasan.

 “Alah, hape butut! Kagak laku dijual...” begitulah kata salah seorang perampok.Sore yang naas. Tampaknya itulah ungkapan yang tepat bagi para penumpang angkot tersebut di sore ini. Tak ada yang tersisa selain barang-barang yang dianggap tidak begitu berharga.

Entah apa jadinya bila Udin masih membawa segepok uang pinjaman dari Pak Bos?

***

Beberapa hari kemudian, Parjo mendatangi rumah Udin untuk mengembalikan uang yang tempo hari Parjo pinjam untuk biaya persalinan istrinya. Hanya beberapa hari semenjak Parjo diberi pinjaman oleh Udin. “Ada proyek penelitian.” Itulah alasan Parjo. Apapun alasannya, yang jelas bagi Udin adalah kembalinya uang yang dia pinjamkan pada Parjo itu. Sesuai dengan yang diharapkan, uang pinjaman itu pun bisa dipergunakan tepat waktunya untuk persalinan istrinya Udin.

Seandainya saja uang itu tidak dipinjamkan kepada Parjo, mungkin nasib Udin beserta keluarganya akan berbeda. Seandainya saja tak ada niat untuk menolong sesama hamba-Nya, mungkin Allah tak akan menjaga ‘titipan’ untuk biaya persalinan istrinya.

Maha Penyayang Allah dengan segala kehendak dan rencananya.

Malam nan dingin di antara hujan
Bandung, 14022012

1 comment: