Cinta bukan hanya luapan hati
Cinta tak hanya diam
(Tak Hanya Diam - Padi)
Apa yang terbayang saat melihat kedua orang tua ‘berantem’
mempertahankan pendapatnya masing-masing? Kesal, takut, atau ogah ikut campur.
Itu pula yang terkadang saya alami saat melihat mereka beradu pendapat. Ibu
bersikukuh dengan pendapatnya, dan bapak bersikeras dengan pemikirannya.
Sebagaimana pasangan lainnya, dalam beberapa hal mereka punya
kesamaan-kesamaan, dan dalam beberapa hal lainnya mereka pun punya perbedaan.
Cara mendidik anak, cara membuat keputusan, dan lain-lain.
Saat saya masih SD, ibu pernah mengatakan “Kamu harus selalu siap
apabila sewaktu-waktu guru di sekolah tiba-tiba mengadakan ulangan!” Namun
seketika itu pula bapak menimpal, “Nggak bisa begitu! Nggak baik kalau mendadak
begitu. Harus ada pemberitahuan lebih dulu sebelumnya.” Saya yang bengong
melihat mereka berdua adu pendapat, akhirnya hanya bisa pasrah. Tanpa mengerti
mengapa mereka bisa sampai demikian.
Beberapa tahun kemudian, barulah saya memahami kira-kira apa yang
mereka maksudkan dari pendapatnya itu. Ibu bilang bahwa saya harus siap apabila
sewaktu-waktu ibu guru memberikan ulangan dadakan, itu karena beliau
menginginkan agar saya selalu siap menghadapi berbagai kemungkinan yang bisa
saja terjadi. Sedangkan bapak yang bilang bahwa tidak bisa serba mendadak, itu
dikarenakan pengalamannya dalam berorganisasi. Bapak menginginkan anaknya
pandai-pandai membuat rencana sebelum bertindak, terlebih lagi bagi seorang
anak laki-laki yang kelak akan memimpin. Itulah yang hendak diajarkan oleh ibu,
dan itulah yang hendak diajarkan oleh bapak.
Saat anak sedang sakit, tentunya yang paling diharapkan oleh anak
adalah keberadaan kedua orang tua di dekatnya. Itu pula yang dulu saya rasakan
saat pertama kali masuk dan dirawat di rumah sakit. Namun yang ada justru tidak
demikian adanya. Terkadang hanya ada bapak, atau hanya ibu yang menemani. Namun
demikianlah adanya, dan bahkan mungkin selalu demikian.
Selama ini saya hanya mengetahui bahwa biasanya hanya salah satu saja
dari mereka yang ada untuk menemani. Sebatas itu, tanpa mengetahui apa yang
dilakukan oleh ibu atau bapak saat mereka pergi tanpa ada untuk menemani. Saat
bapak ada untuk menemani, ibu pergi. Beberapa saat kemudian, ibu datang
membawakan makanan kesukaan anaknya. Lain halnya saat ibu yang ada untuk
menemani, dan bapak yang pergi. Saat bapak datang, beliau tidak membawa
apa-apa. Bahkan sampai saatnya untuk pulang pun, bapak tidak membawakan
oleh-oleh. Sekedar tahu bahwa saya sudah bisa dibawa ke rumah, dan bapak datang
untuk menjemput lalu mengantarkan saya pulang.
Hanya itu. Kalaupun ada kabar baik, mungkin selama ini saya yang memang
tak pernah menyadarinya. Memang tak ada oleh-oleh yang bapak bawa, beliau hanya
memastikan bahwa saya akan diantar hingga ke rumah. “Yang penting, sekarang
Kamu udah bisa pulang. Itu aja!” Begitulah kata beliau, tanpa bercerita tentang
apa yang terjadi di luar ruangan. Saya hanya tahu bahwa biaya berobat inap
sudah lunas. Begitulah bapak, beliau tak bercerita tentang berapa biaya
berobat, dan apa yang dia lakukan untuk bisa melunasi biaya rumah sakit.
Mungkin selama ini beliau jarang menemani anaknya karena sedang berusaha
mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan. Yah, entah apapun itu, tampaknya itu
adalah rahasia seorang bapak.
Beranjak SMP, bapak jadi lebih pendiam, sedangkan ibu tetap cerewet
banyak aturan. Ibu semakin banyak memberikan tuntutan dan keharusan, sedangkan
bapak semakin memberikan kebebasan. Bahkan kadang bapak memberikan uang jajan
lebih. Begitu pula saat SMA, bapak tak pernah ikut campur saat saya hendak
memilih jurusan IPA atau IPS. Beliau hanya bertanya “Mau masuk apa? IPA atau
IPS?” tanpa berkomentar apapun saat saya menjawabnya “Mau ke IPA.” Berbeda dengan
ibu yang banyak bicara soal pemilihan jurusan. Buat ibu, yang paling penting
adalah nantinya kuliah di jurusan Akuntansi, karena itu akan memudahkan untuk
mencari kerja. Maklum, ibu bekerja di sebuah kantor akuntan, jadi
sejelek-jeleknya kuliah saya (kalau saya kuliah di jurusan Akuntansi), ibu
setidaknya ibu bisa membantu untuk membawa saya bekerja di kantornya.
Tibalah saat pemilihan jurusan di SPMB (2004). Ibu bersikukuh agar saya
mau mengambil kuliah jurusan Akuntansi. Mungkin beliau takut nanti anaknya ini
akan kesulitan mencari pekerjaan. Berbanding terbalik dengan bapak yang
diam-diam saja tanpa banyak berkomentar. Hampir tiap hari ibu membahas
pemilihan jurusan, sedangkan bapak hanya sekali mendatangi untuk membicarakan
tentang pemilihan jurusan. Beliau duduk di kursi belajar yang ada di kamar
sembari menatap saya yang terduduk di kasur.
“Jadinya pilih jurusan apa?”
“Yang pilihan pertamanya Farmasi ITB, keduanya Psikologi UPI, Pak...”
“Beneran?”
“Iya, Pak. Insya Allah.”
“Ya udah. Bapak mah nggak akan maksa buat milih jurusan apa-apa. Yang
penting mah Kamu serius, bener-bener, ama komitmen ama pilihan. Bertanggung
jawab ama keputusan...”
Bapak pun beranjak dari kamar, dan tak ada lagi obrolan tentang itu
dengan beliau. Begitulah bapak. Bila ibu ketakutan saya akan susah dapat
pekerjaan bila setelah lulus kuliah nanti, bapak lebih menginginkan saya untuk
bisa membuat keputusan sendiri, berani menentukan, berkomitmen, bertanggung
jawab, bersungguh-sungguh dalam memperjuangkan hidup, dan mau menanggung
resiko. Itulah kenapa bapak lebih memilih untuk tak banyak berkomentar dan
memberikan kebebasan pada anaknya. Bagi bapak, yang penting adalah mau
bertanggung jawab dan menerima resiko.
Begitulah ibu dan bapak. Ibu punya pendapat sendiri untuk anaknya,
bapak pun punya pandangan sendiri tentang anaknya. Ibu punya cara tersendiri
dalam mencintai anaknya, begitu pula bapak yang punya cara tersendiri dalam
mencintai anaknya. Ada ‘warna’ yang berbeda dalam mencintai anak-anaknya.
Selama puluhan tahun ini, begitulah ibu dan bapak. Ibu mencintai dengan
caranya sendiri, bapak pun mencintai dengan caranya sendiri. Kakak punya cara
tersendiri dalam mencintai, adik pun punya cara tersendiri dalam mencintai.
Teman dan sahabat punya cara tersendiri dalam mencintai, orang lain pun punya
cara tersendiri. Cinta punya banyak warna, sebagaimana kita punya cara
tersendiri dalam mencintai.
Tiba-tiba cinta datang
kepadaku
Saat ku mulai mencari cinta
Tiba-tiba cinta datang
kepadaku
Kuharap dia rasakan yang sama
(Tiba-Tiba Cinta Datang, Maudy Ayunda)
From this note with love.
Maghrib, 10 Februari 2012
0 comments:
Post a Comment