Mengartikan Seseorang

Kamis, 10 Mei 2012
Sore yang tak diguyur hujan. Usai meeting bersama beberapa rekan di cafe S28 jalan Sulanjana, rencananya saya ada janjian dengan Asih di Masjid Salman ITB. Sempat telat, saya menjanjikan pertemuan itu setelah Maghrib, namun saya baru sampai Salman sekitar jam setengah tujuh malam. Yah, setengah jam menjelang Isya.

Asih, begitu dia biasa dipanggil. Dia adalah adik (angkatan) saya di Salman. Saya dan Sari bertemu -kalau tak salah- tahun 2009 silam pada sebuah forum diskusi yang pernah saya bentuk. Saat itu Asih mendaftar untuk ikut Forum Diskusi “Psikologi Politik”, kemudian di hari pertama diskusi kami bertemu. Begitulah cerita pertemuan kami yang pertama. Sebelum pertemuan itu, saya mengenal Asih di Facebook sebagai kakak pembina (sebutan untuk pengurus) di Karisma (Keluarga Remaja Islam Salman), sebuah unit di Salman yang sempat menjadi rumah kedua saya.

“Kenalin! Ini adik saya di Salman.” Begitulah saya memperkenalkan Asih pada teman-teman diskusi yang tak lain adalah para warga yang sejurusan, Psikologi UPI. Mereka menerima Asih sebagai peserta diskusi, juga menerimanya sebagai ‘adik’ saya. Dan Asih pun ternyata demikian, tak berkeberatan saat selain diterima sebagai teman diskusi, juga diterima sebagai ‘adik’ saya. Mau bagaimana lagi? Untuk saat itu saya memang hanya bisa memperkenalkan Asih sebagai adik angkatan saya di Karisma.

Selepas Maghrib itu, kami makan bareng. Kami berempat. Kebetulan saat itu Sari diajak dua temannya untuk makan malam. Ya, saya ngikut aja lah. Yang penting ada waktu untuk menceritakan profil sebuah komunitas sosial tempat saya berkecimpung.

“Gimana TA-nya?”
“Wah...Kang! itu pertanyaan yang berat buat saya. Belum beres. Sama kayak Intan lah! yang adik kelas Akang itu. Eh, dia adik kelas Akang kan ya?”
“Adik kelas? Ahahaha...”
“Lho... Iya kan?”
“Ahaha... entahlah!”
“Emang kenapa?”
“Hmm.. gimana ya? Kalau disebut adik kelas, dia protes. Dianggap sebagai teman, dia pernah bilang kalau saya bukan siapa-siapanya dia. Dianggap bukan siapa-siapa, dia kadang SMS berceloteh menceritakan kejadian-kejadian dalam hidupnya, kadang dia juga curhat tentang sisi personalnya. Jadi, saya sendiri nggak tahu dia itu siapa.”
“Ehehehe...” Asih cengengesan.

Kalau membahasakan ala Pak Dahlan Iskan, betapa relatifnya mengartikan seseorang. Kadang sulit, kadang mudah. Semudah mengartikan Asih, sesulit mengartikan Intan. Itulah kenapa, karena memang merasa tak ada pilihan lain yang lebih bijak, saya putuskan: menerima apa adanya. Menerima Asih apa adanya, juga menerima Intan apa adanya.

Yah, menerima orang lain apa adanya. Mau begini, silahkan! Mau begitu, silahkan! Well, let them do their own way! As i’ll let you do your own way.

Kadang sederhana, dan kadang tak mudah untuk mengartikan orang lain. Namun ternyata bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah tentang bagaimana saya memperlakukan orang lain, tentang bagaimana saya memperlakukan mereka sebagaimana diri mereka adanya.

Dalam ketenangan akhir pekan,
Cijerah, 12 April 2012


0 comments:

Post a Comment