Saat Tulisan Bertemu Pembacanya

Setiap tulisan memiliki pembacanya, jadi biarkan dia bertemu dengan pembacanya!

Suatu siang di tahun 2007, saya menemukan posting di sebuah mailing list yang menceritakan sebuah pengalaman yang mengesankan dari si penulis. Tulisan yang memotret pengalaman dari sebuah sudut pandang dimana si penulis (juga pembaca) bisa memetik pelajaran dari kejadian yang diceritakan. Saya berpikir bahwa itu bukan sebuah tulisan fiksi, karena tulisan itu menceritakan pengalaman si penulis. Juga tak sepenuhnya berpikir bahwa itu adalah fitur (berita), walau gaya bertuturnya seperti kronologis kejadian. Entah itu jenis tulisan apa, yang jelas saya menyukainya. Kenapa? Karena saya merasakan kejujuran, apa adanya, tidak mendayu-dayu seperti roman, dan yang tak kalah penting, tulisan yang satu ini memandang kejadian dari sebuah sisi di mana pembaca dapat belajar. Setelah beberapa kali mengikuti posting-posting di milis, barulah saya tahu kalau jenis tulisan tersebut dinamai ‘CatHar’, singkatan dari Catatan Harian.

Memang, sebelumnya saya pernah beberapa kali menemukan tulisan jenis ini, namun amat jarang. Saat itu masih belum sepopuler novel atau cerpen. Hanya ada beberapa buku yang isinya berupa cathar. Saya sendiri yang aktif menulis sejak 2001, rasanya mulai menemukan ‘jati diri’ saat mencoba menulis cathar di awal 2005. Terasa lebih lancar, jauh lebih mengalir dibanding menulis artikel, sajak, atau jenis tulisan lainnya. Sense-nya lebih terasa, begitu apresiasi beberapa teman yang membaca kumpulan cathar saya. Saat itulah saya mulai berpikir: “Cocok pisan ama tulisan yang begini nih!”

Beberapa bulan berselang, masih di tahun 2007, secara tak sengaja menemukan posting di milis yang mencantumkan link ke sebuah website, yaitu eramuslim.com. Di web eramuslim.com ini ada sebuah rubrik bernama “Oase Iman”, yang memuat kumpulan cathar. Karena merasa senang dengan rubrik yang satu itu, saya pun meng-copy posting-posting cathar di sana, lalu memindahkannya ke flashdisk, lalu ke komputer rumah. Ya buat dibaca di rumah. Maklum, sayang uang kalau bacanya di warnet. Pernah juga sampai mengirimkan naskah ke eramuslim, namun sepekan dua pekan sebulan dua bulan berlalu ternyata tak ada kabar.

Tulisan tidak diposting ternyata tidak menyurutkan hasrat untuk tetap menulis cathar. Paling parah, ya ngeprint sendiri, jilid di tukang fotokopi, lalu kasihkan. Begitulah kalau ada teman yang ingin baca tulisan-tulisan saya. Awal 2007 saya belum mengenal blog, barulah akhir 2007 saya mengenal blog. Langsung bikin di wordpress, lumayan lah walau tak tahu konsep macam apa yang mau dipakai untuk blog ini. Serius nge-blog sejak 2009-an setelah mengenal blogspot yang (buat saya) lebih mudah diutak-atik. Konsepnya lebih jelas, yaitu: kumpulan cathar.

Begitulah di blog, sama halnya dengan di Facebook yang saya buat akunnya di tahun 2008 (jaman Fb belum populer). Kerjaan saya di Fb kebanyakannya adalah posting notes, lalu nge-tag beberapa teman. Dari komentar-komentar mereka di notes itulah, saya mulai melihat siapa saja para pembaca tulisan-tulisan saya. Karena terkadang mereka menagih “Posting lagi dong!”, dan ada juga yang nge-add friend saya karena senang baca tulisan-tulisan tersebut. Saya yang menyadari bahwa tulisan-tulisan saya itu mulai bertemu dengan pembacanya, ya senang lah! Walau hanya beberapa.

Awal 2012, saat membaca sebuah posting di laman berita Fb, ada yang memberi link pada sebuah judul posting di sebuah web. Saya hafal betul tipe-tipe judul yang begitu, tipe-tipe judul cathar. Itulah awal perkenalan saya dengan web dakwatuna (dakwatuna.com). Sepertinya cocok. Coba ngirim naskah ah, kali aja diterima.

Alhamdulillah. Terhitung dua pekan setelah mengirim naskah, akhirnya diposting di web. Judulnya “Akhir Yang Indah”, itulah tulisan saya yang pertama kali diposting di web. Senang bukan kepalang. Ada 109 pembaca yang nge-like postingan itu. Kaget juga. Jauh melebihi perkiraan. Jauh melebihi note di Fb yang like-nya paling banter sekitar 15 orang. Lumayan untuk pemula. Tulisan-tulisan selanjutnya: Saat Allah Menjaga Titipan Hamba-Nya (410 likes), Warna Cinta (601 likes), Hijrahnya Seorang Preman Terminal (1023 likes). Ternyata ada peningkatan.

Benar-benar tak menyangka, bisa menembus angka 1000 likes. Berbeda dengan di Fb yang entah kebanyakannya adalah pembaca tulisan macam apa: artikel, sajak, atau apa? Namun yang jelas, setelah membandingkan dengan Fb, saya berkesimpulan: sepertinya di web ini ada lebih banyak pembaca cathar. Dan itu berarti tulisan saya sudah bertemu dengan lebih banyak pembacanya. Boleh dikata, tulisan saya telah menemukan rumahnya. Sebuah tempat di mana dia bisa lebih dan sangat diterima apa adanya.

Bagaimana tulisan menemukan pembacanya? Sederhana saja, mirip dengan bagaimana kita menemukan buku yang pas untuk dibaca. Saat kita menemukan buku yang pas untuk dibaca, berarti kitalah pembaca dari tulisan dalam buku tersebut. Sebagaimana umumnya, tiap buku pun punya pembaca tersendiri, tergantung selera. Ada yang doyan baca novel, ada yang doyan baca cerpen, ada yang doyan baca tulisan sains, ada yang doyan baca tweetografi, dsb. Bila ada sebuah buku, katakanlah judulnya “Harry Potter”, kemudian ada orang-orang yang membacanya, maka mereka itulah yang disebut para pembaca. Kita tak pernah tahu kapan si pembaca menemukan tulisan kita. Namun kita bisa melihat jejak-jejak si pembaca melalui apresiasi mereka terhadap tulisan kita. Diantaranya melalui komentar, atau jumlah orang yang nge-like. Saat itulah, kita menyadari bahwa tulisan kita telah bertemu dengan pembacanya.

Pindah dari Fb ke web, kira-kira itulah yang terpikir dalam benak akhir-akhir ini. Dan akhirnya demikian, saya putuskan: pindah ke web. Perlahan mulai mengurangi posting di Fb, juga di forum Ririungan. Lalu memperbanyak posting di web. Bukannya tak mau aktif, tapi para pembaca memang kebanyakan adanya di web. Jadi saya memutuskan akan lebih fokus posting di web. Blog? Masih seperti biasa, tiap ada tulisan baru, -insya Allah- selalu terbit di blog.

Cijerah siang nan terik,
22 Mei 2012


0 comments:

Post a Comment