Bernostalgia Dengan Senja

Sore yang basah, sesaat setelah kota ini diguyur lebatnya hujan dan menyisakan gerimis. Namun seperti kata orang-orang, “Saat datang rintik demi rintik gerimis, Bandung menjadi romantis!” Bagi sebagian orang mungkin demikian, namun tidak bagi sebagian lainnya. Kebasahan, kebanjiran, jalanan yang becek, belum lagi kalau kecipratan gara-gara ada kendaraan yang lewat.

Tiap orang punya cara masing-masing dalam menikmati dinginnya sore. Begitu pula dengan Anggi yang memilih untuk menikmati sepiring batagor depan sekolah tempat ia bekerja. Paling enak sore-sore hujan begini nih, ya makan yang anget-anget ditambah secangkir kopi. “Hahay.. deudeuh! Beginilah enaknya jadi kuncen perpustakaan. Bisa menikmati kesunyian ditemani secangkir kopi dan batagor, plus ada fasilitas komputer yang bisa dipake buat nulis. I did my way!” Jam 4 sore begini, siswa sedang belajar di kelas. Alhasil, perpustakaan pasti sepi. Hanya ada Anggi, buku-buku beserta rak, komputer, lemari administrasi, dan peralatan tulis. Tak ketinggalan, untuk saat tertentu ada secangkir kopi, cemilan di meja kuncen perpus, dan beberapa dendang lagu. Seperti lagunya Barry Manilow, Can’t Smile Without You.

You know i can't smile without you
I can't smile without you
I can't laugh and i can't sing
I'm finding it hard to do anything
You see i feel sad when you're sad
I feel glad when you're glad
If you only knew what i'm going through
I just can't smile without you

Waktu tak terasa berjalan dengan cepat manakala kita menikmatinya. Sudah jam lima sore, saatnya pulang. Pulang lewat pintu depan sekalian mengembalikan piring dan bayar batagor.

“Berapa, Mang?”
“Biasa! Ah, kayak yang ga pernah beli batagor si mamang aja nih si Bos...”
“Ah, kali aja diskon. Kan langganan!”

Tangan Anggi meraih dompet yang diselipkan di saku belakang celananya demi mencari lembaran uang untuk membayar batagor. Sementara tatapannya menuju Mang Juned si juragan batagor yang tengah melayani pembeli lainnya. Hingga akhirnya arah mata Anggi terpaku pada sesosok yang sepertinya tak asing. Seseorang yang dihadapannya tengah menerima sepiring batagor dari Mang Juned.

Kedua bola mata dengan tatapan lembut di balik kacamata itu. Rambut lurus hitam nan panjang sebahu yang diikat di belakang. Sepasang lesung dari dua pipi yang tembem. Dan satu lagi, sepiring batagor tanpa kentang goreng. Walau gerobak batagor Mang Juned sedia kentang goreng, ada salah seorang teman Anggi yang selalu beli batagor campur tanpa pakai kentang goreng. 14 tahun yang lalu, Anggi bertemu dengannya di tempat yang sama, memesan menu yang sama, pada penjual batagor yang masih sama. Ambar Nostalgiawati, kaukah itu?

“Ini, Mang.” Sehelai uang sepuluh ribu Anggi berikan pada juragan batagor langganannya itu.
“Bentar ya! kembaliannya...”
“Oh, nggak usah, Mang. Pake aja buat bayar pesenannya Teteh yang pake jaket warna coklat itu!”
“Oke Bos! Siap laksanakan!”
“Sip! Hayu Mang, pulang duluan ah!”

Aku belum sepenuhnya yakin itu dirimu, Mbar. 10 tahun lebih kita tak bertemu, aku ragu. Ragu untuk membayangkan seperti apa tampangmu saat ini, ragu untuk menyapa karena mungkin saja kau sudah melupakanku. Kalau saja itu benar dirimu Ambar, kuharap kamu mengejarku sebelum naik angkot.

***

“Mang, berapa? Tadi seporsi campur, gak pake kentang.”
“Oh, ngga usah bayar, Neng!”
“Lho, kok gitu?”
“Iya, tadi udah ada yang ngebayarin.”
“Siapa?”
“Itu tuh, tadi ada Aa yang bayarin. Ya, tapi dia udah pergi.”
“Perginya ke mana? Pake baju apa?”
“Pake kemeja merah dongker, rapi. Celananya item.” Jawab Mang Juned sambil menunjuk sebuah arah.

Ambar segera pergi, menyusuri jalan demi menemukan si pembayar. Namun nihil. Tak ada tanda-tanda keberadaan orang yang ciri-cirinya disebutkan penjual batagor. Siapa sih orang itu? Bikin orang penasaran saja. Kalo gentle, keluar dong! Jangan sembunyi-sembunyi begitu.

Hari semakin sore, sebagaimana langit semakin teduh. Mungkin melupakan sosok misterius itu adalah pilihan yang lebih baik. Lagipula, itu kan rezeki mendadak. Jarang-jarang tiba-tiba dapat sepiring batagor gratis. Pulang saja lah. Mumpung masih ada angkot Cimahi yang masih ngetem dan belum penuh.

Got it! Ada sebuah tempat yang kosong, lumayan lah walau agak jauh dari pintu. Yang penting dapat tempat di angkot yang penumpangnya sudah hampir penuh. Jadi ngetemnya tak akan lama. Bagian depan sudah terisi, bagian belakang dekat jendela pun sudah terisi. Saatnya berangkat. Tunggu.. tunggu.. bagian belakang?

Pandangan Ambar kembali tertuju pada bagian belakang di dalam angkot. Terpaku pada seseorang yang duduk di sana sambil menatap ke arah luar jendela belakang. Sosok berbaju kemeja merah dongker dengan celana hitam, seperti yang diceritakan si juragan batagor pada Ambar. Lengan bajunya yang digulung hingga sikut, dan tas model adventurer. Rasanya aku mengenalmu. Itu kamu kan? Kalau itu bukan kamu, lantas untuk apa tadi kamu mentraktir aku batagor? Ayo laahh... jangan ngelihat ke luar jendela belakang terus! Lihat ke sini dong. Ayooo... lirik ke sini dong! Lihat aku! Aku ngelihat kamu kok. Kalo kamu ngelihat aku, aku pasti nyapa deh. Ayo dong!

Perjalanan berlalu begitu saja. Ambar tak mendapatkan apa yang diharapkannya. Lelaki berbaju kemeja merah dongker itu pun tetap lekat menikmati pemandangan di luar jendela. Sampai akhirnya di sebuah sudut jalan, angkot berhenti. Ambar turun, bayar ongkos, lalu pergi menyusuri sebuah jalan menuju rumahnya.

Hufftt... Orang-orang bilang senja selalu indah dan berkesan untuk dinikmati. Namun sepertinya kali ini tidak bagiku. Namamu saja yang Anggiawan Senja, namun tak berkesan saat bertemu. Langkah demi langkah Ambar tergontai lesu karena kecewa akan apa yang didapatnya sore ini. Kenapa sih pertemuan kita begini, Nggi? Saling melihat, walau tak bertemu tatapan mata. Kamu melihatku saat aku tak melihatmu, dan aku melihatmu saat kamu tak melihatku. Seperti awan dan hujan yang kadang bersama namun tak jua bersatu. Tak bisakah setelah 11 tahun berakhir ini, pertemuan kita seperti teh dan air hangat? Yang tak sekedar bertemu, tapi juga membaur.

***

Wah, udah sampai ya! Benar-benar tak terasa. Melamun dari tadi di perempatan dekat sekolah hingga di sini. Ah Ambar, hebatnya dirimu. Meski hanya bayang-bayang sosokmu, aku sampai melamun sebegitu jauhnya. Padahal perempuan yang tadi kulihat itu belum tentu kamu, Mbar.

“Dari Pajajaran, Pak!”
“Oh, udah Mas. Tadi udah dibayarin.”
“Hah..?!”

Angkot yang kutumpangi melenggang begitu saja. Tanpa ada penjelasan tentang siapa yang tadi membayarkan ongkos. Seingatku, tadi tak ada orang yang kukenal di angkot. Terang saja tak ada yang kukenal, karena memang aku tak sedikitpun melirik penumpang lain di angkot. Ah, sudahlah. Mungkin sudah rezekinya begitu.

Jalan ini masih seperti dulu, belum ada yang berubah. Jalan menuju rumahku, yang juga ternyata adalah jalan menuju rumahnya. Satu-satunya hal yang berbeda dari keadaan di sini adalah warganya yang sudah bertambah usia, dan beberapa bangunannya yang telah direnovasi. Pot tanaman, trotoar, beberapa bagian jalan yang becek saat hujan, dan pepohonannya masih sama. Bagi Anggi, semuanya masih sama. Sampai akhirnya ada sesuatu yang membuat matanya terbelalak. Terkejut akan sosok yang dilihatnya berjalan menyusuri sebuah jalan yang juga Anggi susuri.

Ah.. sosok itu! Perempuan yang tadi. Rambut hitam panjang diikat di bagian belakang. Berkaus putih, ada jaket berwarna coklat yang dililitkan di pinggangnya. Tas punggung hitam yang sama, celana jeans yang sama. Sepertinya itu benar dirimu. Ambar, aku datang!

***

You came along just like a song,
and brightened my day.
Who would have believed that you were part of a dream.
Now it all sems light years away.
(Can’t Smile Without You, Barry Manilow)

Buugkkhhh... satu tendangan menghantam sebuah pohon rindang di suatu pinggir jalan. Seketika itu pula air yang hinggap di dedaunan menjadi berjatuhan, menghujani apapun yang berada di bawah.

“Aaaaaaaaaawwghhhhh...” Jerit Ambar terkejut. Siapa sih? Jahat amat usilnya. Tak lihat apa, aku jadi kebasahan begini! Nasib.. nasib.. menyedihkan sekali nasibku. Duuhh... mana jadi dingin, kotor lagi. Ambar pun menoleh, mencari tahu siapa yang berbuat usil padanya. Dia harus menebus semua ini.

“Hay! Hehehe.” Seketika terdengar suara lelaki dari samping Ambar.

Ah, tidak! Suara itu, sapaan itu, senyum itu. Aku pernah mengenalnya jauh hari sebelum ini. Senyum dan cara menyapa yang khas milik seseorang. Untukkukah senyum itu?

“Uuurghh... Jahaattt! Kamu nggak punya perasaan apa?!” Bentak Ambar dengan suara sekeras-kerasnya, sambil memukul bahu Anggi. Kamu jahat, Nggi. Meninggalkanku begitu saja di tempat makan batagor, dengan sesuatu yang membuat penasaran. Lalu saat aku menemukanmu di angkot, tak sedikit pun kamu melirikku. Tak terasa, mata Ambar mulai mengembun. Ekspresi wajahnya mulai masam, agak cemberut.

“Duh, Ambar. Maaf deh, maaf! Aku nggak tahu kalau Kamu jadi sampai nangis begini. Iya deh, iya. Aku ngaku salah. Tadi itu cuma iseng, bukan maksud membuatmu menangis.” Anggi meminta ampun pada Ambar.

Aku sudah tahu, karena dari dulu kamu memang suka usil. Kamu masih seperti Anggi yang dulu kukenal. Tapi harus kuakui, itulah yang kurindukan darimu. Aku menangis bukan karena sedih, tapi karena ada perasaan yang tak sanggup lagi kubendung saat melihatmu ada di sampingku setelah 11 tahun kita tak bertemu. Your smile and gaze mean ‘welcome’, right?

Ambar mengalihkan pandangannya ke jalan, sambil terus melangkahkan kaki menuju rumahnya. Begitu pula Anggi yang berada di samping Ambar. Jalan menuju rumah Anggi memang satu jalur dengan Ambar. Hanya saja rumah Anggi lebih jauh.

“Kalau Ambar mau, request-lah sesuatu. Anggap saja ini untuk menebus kesalahanku.” Bisik Anggi yang mulai iba, kemudian merangkul Ambar. Menempatkan tangannya yang kering hangat di bahu Ambar yang dingin kebasahan.

Deg.. deg.. deg.. deg.. Siapa yang memegang bahu kananku? Anggi kan ada di samping kiri aku. Sesaat Ambar melirik ke arah bahu kanannya. Ada sebuah tangan yang Ambar tahu asalnya dari mana. Bukan dari samping kanannya, ataupun dari belakangnya. Tangan itu milik seseorang yang ada di samping kirinya. Menyadari hal ini, Ambar langsung memalingkan pandangan pada Anggi, dan menatapnya lekat-lekat. Mencari sebuah makna di balik raut wajah Anggi yang tengah menatapnya. I like the way you look at me, Nggi.

“Heh.. kok bengong gitu, Mbar? Kenapa?” Anggi terheran akan sayup mata Ambar yang menatapnya bengong. “Ups.. Sorry!” Seketika Anggi menyadari, mungkin itu karena tangannya yang memegang bahu Ambar. Seketika itu pula Anggi melepas tangannya dari bahu perempuan di sampingnya itu.

Kembali Ambar menatap jalan dengan sayu dan raut masam agak cemberutnya. Ada sesuatu yang mengganjal dalam batin. Iiiiiiiihhh... Anggi, kok tangannya dilepasin sih?!

***

Akhirnya kita sampai. Di rumahmu. Rumahmu yang masih seperti dulu. Dari luar sih tampak demikian. Dari dalam, tak tahu ya.

“Sudah sampai...”
“Iya. Mau masuk dulu, Nggi?”
“Nggak ah. Mungkin lain kali.”
“Beneran? Apa nggak mau ketemu dulu ama Mamah dan Bapak?”
“Lain kesempatan, itu pun kalau Ambar pengen.”
“Owh, oke. Sampai ketemu lagi ya, Nggi.”
“Bye!”

Sore ini kita berpisah, dengan sesuatu yang berkesan. Kamu telah sampai ke rumahmu, dan aku yang melanjutkan perjalanan menuju rumah.

“Anggi..” Ambar memanggil.
“Iya..”
“Besok sore ada waktu kosong?”
“Sore ya? Aku jaga perpus, tapi kalau sudah nggak ada kerjaan, mungkin bisa.”
“Usahain bisa deh, Nggi!”
“Emang kenapa gitu?”
“Masih inget rumah nenek aku yang di Lembang?”
“Iya, masih. Tempat dulu perpisahan kelas?”
“Aku mau ke sana. Kamu mau temenin aku kan?”
“Semoga aja besok aku bisa.”
“Yap. I hope so.”

Kita lihat saja besok. Aku tak bisa menjaminkan, namun akan kuusahakan supaya bisa.

***

Di rumah nenek...

Sebuah rumah di daratan tinggi. Suasana tenang nan damai, juga udara yang masih sejuk khas perkampungan. Satu hal lagi, dan ini yang paling kusuka, teras rumah nenekku ini menghadap ke sebelah Barat. Jadi aku bisa menikmati pemandangan sore dengan lembayungnya. Itu pun bila tak hujan, dan tentunya kuharap sore ini tak hujan.

Apalah yang lebih mengesankan di sore begini selain menikmati secangkir teh hangat dan bercengkrama bersama orang-orang tersayang? Aahhh... kuharap Anggi bisa menikmati teh buatanku ini. Cukup lama tadi ngobrol di teras, bisa kering tonggorokan bila tak disiram air. Ada banyak obrolan. Terutama seputar masa lalu saat kita masih satu sekolah, dan cerita selama hampir 11 tahun kita tak pernah bertemu. Anggi yang telah menjadi penjaga perpustakaan di SMP kita dulu, dan aku yang kini menjadi editor di sebuah penerbit di Jakarta.

“Nyicip tehnya, Nggi!”
“Ini Kamu yang bikin?”
“Hhehe..”
“Hmm.. By the way, kapan balik ke Jakarta?”
“Tiga hari kemudian. Senin pagi.”
“Oh...”
“Ya, gitu lah.”

Mumpung masih hangat, masih mengepul, Anggi segera menyeruput teh dalam cangkir yang digenggamnya.

“Mbar, Kamu suka teh?”
“Iya, sangat suka. Kuharap Kamu juga menyukainya, Nggi.”
“Hmm...”
“Kamu tahu?”
“Apa?”
“Aku berharap bisa selalu menikmati secangkir teh bersama senja.”
“Ooh..”
“Kamu, Nggi... Kamu juga menyukai teh, kan?”
“Ya, dan aku mau menikmati secangkir teh dengan sebuah nostalgia.”

Aaah... Anggi. Kuharap senyumku ini cukup untuk menjadi jawaban.

***

“Okay listeners, masih bareng Victor di 95,6 FM. Dari Anggi di sebuah sudut kota Bandung, request lagunya buat temen-temen SMP, and specialnya buat Ambar yang lagi menikmati gerimis malam Jakarta. Ini dia sebuah tembang dari Sheila on 7, Tunggu Aku di Jakarta.

Masih saja ku teringat,
kata iringi kau pergi,
jadikan sore itu satu janji.

Kau akan serta untukku,
kembali untuk diriku,
mengingatku walau aku jauh.

Aku pun sempat janjikan,
kukayuh semua mimpiku,
berlabuh tepat di kotamu.

Dan kau pun slalu janjikan,
akan menungguku datang,
sambil kuingat indah wajahmu.

Tunggulah aku di Jakartamu,
tempat labuhnya semua mimpiku.

Malam nan dingin selepas gerimis,
30.05.2011




Categories:

0 comments:

Post a Comment