Bertukar Cerita

Sebagai penulis lepas, terutama penulis cathar, saya selalu -dan pastinya- membutuhkan banyak cerita dan pengalaman. Jadi yang akan selalu dicari untuk memperkaya bahan naskah tentunya adalah cerita, cerita, cerita, dan cerita. Intinya, semakin banyak cerita dan pengalaman, saya akan punya semakin banyak ide untuk dituliskan. Semakin banyak ide, maka semakin banyak hal yang bisa dipadukan ke dalam sebuah naskah. Maka, jadilah naskah ini, naskah itu, dan naskah-naskah lainnya.

Bagi saya pribadi, yang paling penting dalam menulis cathar adalah bagaimana saya mengumpulkan pengalaman-pengalaman yang terserak. Ya terserak, karena setelah kita mengalami kejadian, biasanya berlalu begitu saja. Maka perlu waktu untuk merenung, mengumpulkan ingatan tentang momen-momen, dan mengingat kronologis kejadiannya. Satu hal lai yang juga tak kalah penting, menemukan dan menentukan sudut pandang dalam melihat kejadian tersebut.

Lantas, bagaimana bila tak ada ide untuk menulis? Bagi penulis cathar seperti saya, biasanya ini gara-gara lagi miskin pengalaman. Pengalaman-pengalaman yang ada sudah dijadikan naskah, jadi kehabisan ide lagi untuk ditulis. Lalu bagaimana cara mengatasinya? Simple saja sih, cukup dengan bertukar cerita dengan teman. Ya bertukar cerita, menceritakan pengalaman masing-masing. Pengalaman tentang ini, tentang itu, tentang segala macam hal.
 
Hanya saja, mungkin ini yang agak sulit. Yaitu menemukan orang-orang yang mau diajak bertukar cerita dan pengalaman. Ya, bukan masalah bisa atau tidak, namun mau atau tidak. Kalau masalahnya sekedar bisa atau tidak, saya pikir bisa diusahakan. Seperti masalah kesibukan kita sehari-hari. Bila itu yang menjadi masalahnya, kita bisa menyempatkan waktu untuk bertemu dan ngobrol. Namun kalau sudah tak mau, ada banyak waktu luang pun tak akan jadi obrolan.

Hal ini pernah saya alami beberapa pekan terakhir. Serasa mentok, tak punya ide untuk menulis. Kata seorang teman, itu namanya Writer’s Block. Saya sadar mengapa bisa sampai begini: miskin pengalaman. Berharap untuk bisa belajar dari cerita atau pengalaman orang lain, namun ternyata kurang bisa. Asalnya ada teman yang suka bercerita, namun belakangan ini dia ‘berubah’. Dia bilang: “Kalau ada apa-apa, saya nggak akan cerita ama Kakak...” Wah, hilang sudah satu teman untuk bertukar pengalaman. Walau hanya satu orang, tapi bagaimanapun juga itu adalah sumber gagasan, tempat saya bisa belajar.

Menyedihkan memang. Akhirnya, saya pun mencari ‘sambungan’ dengan beberapa teman di dunia maya. Sempat meminta nomor kontaknya, namun sayangnya mereka enggan memberikan. Maklum, saya tak bisa mengandalkan jaringan internet, karena saya sendiri tak punya modem. Itulah alasan saya meminta nomor kontak mereka. Ah, ya sudahlah.

Pada satu sisi, bisa saling bertukar cerita tanpa merasa canggung adalah hal yang penting bagi saya sebagai seorang penulis cathar. Dengan cara ini saya bisa mendapatkan banyak pengalaman dan cara pandang dari banyak orang. Pada sisi lain, saya merasa bahwa ini adalah sebuah seni dalam persahabatan. Kita bisa jadi punya banyak teman, namun tak banyak teman yang mau diajak bertukar cerita.

Kadang mudah, kadang susah untuk menemukan sahabat. Sesulit menemukan orang yang mau bertukar cerita dengan kita. Ya bertukar cerita. Bukan hanya dia yang bercerita, tapi juga kita. Kita biasanya hanya akan berbagi cerita pada orang yang kita anggap dekat, kita percayai, dan dia penting dalam hidup kita. Maka bila ada orang yang bercerita kepada kita, itu adalah ekspresi dari apresiasi dia terhadap kita. Baginya kita adalah sahabat, orang yang dipercaya, dan penting dalam hidupnya.

Begitu juga sebaliknya. Bila kita sudah tidak lagi dipercaya sebagai tempat untuk berbagi cerita, itu bisa berarti: kita menjadi nothing dalam hidupnya. Jujur saja lah, kita selama ini berbagi ceritanya kepada siapa? Kalau saya sendiri, -ngaku saja- ogah berbagi cerita pada orang yang enggan berbagi cerita pada saya. Itulah kenapa sekarang saya jadi jarang posting tulisan di note Facebook. Mendingan ketemuan langsung dan bertukar cerita, atau setidaknya SMS-an.

 
***

Bagi saya, selalu baik untuk mendengarkan cerita dan pengalaman orang lain. Bila kita belum kesampaian untuk mengalami sesuatu, setidaknya kita bisa belajar dari orang lain yang sudah mengalami. Bila kita sudah pernah mengalami, setidaknya dengan mendengarkan penuturan orang lain tentang pengalaman yang serupa, itu bisa menambah sudut pandang kita. Inilah bagian yang paling saya sukai dari menyimak cerita dan pengalaman orang lain: menambah cara pandang tentang kehidupan.

 
Diselesaikan pada sebuah pagi di rumah
Cijerah, 4 Juni 2012

 

0 comments:

Post a Comment