Siang yang cerah, ada waktu luang yang saya agendakan untuk hunting ke toko buku. Mengenai tempat, yang terpikir hanya dua tujuan: Togamas atau Rumah Buku yang keduanya terletak di Jalan Supratman. Jadi, tanpa banyak berpikir, saya pun langsung saja ke tempat. Mengapa pilih kedua tempat yang itu? Hehe, alasannya sederhana saja: ada diskon (setidaknya 15%). Bahkan untuk beberapa jenis buku, diskonnya bisa mencapai 30%.
Sebagaimana niat awal saya yang mencari buku demi memperkaya kemampuan menulis, jenis buku yang saya incar pun tak akan jauh dari kumpulan cathar, memoar, atau cerita fiksi sederhana. Walaupun fiksi, tetap saja karya fiksi itu sendiri -biasanya- tergagas melalui pengalaman si penulis, atau pengalaman orang-orang yang beraudiensi (bertukar cerita dan pengalaman) dengan si penulis. Jadi, meski berlabel fiksi, saya masih pede untuk bisa melihat sebuah sisi hidup orang lain melalui sebuah naskah di mana si penulis bercerita dalam sudut pandangnya. Bagi saya itu cukup. Terlebih lagi bila menemukan buku yang isinya urang pisan, alias menggambarkan sisi hidup yang sama dengan bagaimana saya menjalani hidup. Seperti buku The Journey (memoar perjalanan) karya Farid Gaban dkk., Ketika Bunga Bicara (kumpulan kisah nyata) karya Nunik Utami-Dedew-Teresa, atau Nguping Jakarta (kumpulan celoteh warga Jakarta).
Buku apa ya? Tak ada buku yang judulnya sudah saya incar, sekedar tahu buku macam apa yang saya inginkan. Jadi, sesampainya di toko buku, keliling saja lah! Siapa tahu menemukan buku yang cocok untuk dibawa pulang. Setelah berkeliling selama hampir satu jam -maklum lah cari yang sesuai dengan isi dompet juga-, secara tak sengaja melihat sebuah buku yang judulnya seketika itu pula mencuri perhatian dan menyedot segenap kesadaran saya. Judulnya yang membuat saya kelu terpaku, karena merasa tak asing dengan dua kalimat dari judulnya. Membaca sekilas bagian belakang buku tersebut ternyata membuat saya cukup ‘tersengat’, jadi terbayang akan masa lalu saya saat masih SMP dan SMA.
Bahagia itu sederhana, duduk diam bersamamu saja telah membuatku bahagia. Bersamamu membuat hari-hariku penuh warna. Begitukah makna sahabat, seseorang yang membuatmu rindu, membuatmu tersenyum diam-diam saat mengingatnya? Ataukah aku telah jatuh cinta kepadamu, dalam kebersamaan hari-hari kita?
Sebuah buku berjudul “Selamanya Cinta”, sepertinya buku yang satu ini bisa membawa saya flashback. Menikmati kisah masa lalu melalui alur cerita novel yang merupakan rangkaian dari kumpulan puzzle kisah si penulis dalam blognya. Atas alasan kenangan, rasanya saya harus membeli buku yang satu ini.
Kau, di takdir manakah kita bisa bertemu kembali? Aku menunggumu...
Judulnya yang sama dengan sebuah lagu dari Yana Julio, “Selamanya Cinta”. Namun saya sih lebih suka pada versi yang didendangkan oleh D’Cinnamons karena dibawakan melalui nuansa akustik, suasana yang buat saya lebih pas untuk ngopi, hening malam, dan merenungkan hal-hal yang telah lalu. Termasuk kenangan masa sekolah.
Di kala hati resah,
seribu ragu datang memaksaku.
Rindu semakin menyerang.
Kalaulah aku dapat membaca pikiranmu,
dengan sayap pengharapan kuingin terbang jauh.
Masa sekolah yang bergelora. Bergelora dalam kebandelan, hobi, impian, juga tentang jantung yang lebih berdebar saat bertemu dengan orang yang disukai. Walaupun saat SMP dan SMA saya tak punya pacar, bukan berarti tak punya secret admirer. Walaupun tak pernah pacaran, bukan berarti tak ada perempuan yang pernah dekat dan punya sentimen. Ada beberapa nama yang pernah membawa kasus romantisme, baik yang sekedar katanya, maupun yang benar terbukti. Seperti Afni, mantan teman sebangku saat SMA yang kata Silvi diam-diam suka pada saya. Waktu itu saya cuek, sampai satu tahun kemudian baru nyadar: mungkin itu yang membuatnya menyandarkan kepala di bahu kanan saya saat ngerumpi dengan teman se-geng. Avniar, adik kelas di SMP yang (kata teman-temannya) memendam perasaan, dan dia tampak terdiam dengan wajah malu-malu masam bila saya memandang matanya saat kami pulang sekolah bareng. Atau Dian, cewek kelas sebelah (IPA 9) yang wajahnya jadi merah merona dan suka digodain oleh teman-temannya bila kami berpapasan (padahal saya cuek padanya). Yah, saya juga tak akan memungkiri bahwa dari sekian banyak teman yang saya kenal semasa sekolah, ada perempuan yang saya sukai. Baik itu siswi, ataupun ibu guru PPL. Ahihihi...
Memang ada beberapa nama yang sanggup saya ingat, namun kenangan yang terngiang akhir-akhir ini justru bukanlah tentang mereka yang tadi telah tersebut namanya. Melainkan seorang teman seangkatan saat SMP, yang kemudian satu SMA bareng saya. Dialah Ratih, cewek berbadan tinggi yang agak tomboy. Perawakannya tinggi besar, tapi bukan berarti gemuk. Mungkin karena perawakannya yang besar itu kali ya, dia jadi berani nonjok. Sepatu dan tasnya yang sporty, dan rambut panjangnya yang diikat satu di belakang membuat penampilannya terkesan tomboy. Belum lagi cara ngomongnya yang bledak-bleduk tanpa ada nada kemayu, lembut, dan tenang khasnya wanita Sunda.
Biasanya saya bertemu Ratih saat siang sebelum masuk, atau sore saat pulang sekolah. Ada yang khas dari tingkahnya bila kami bertemu. Pertama, dia selalu menyapa dari jauh dengan suara lantang dengan menyinggung identitas saya sebagai mantan anggota Pramuka di SMP. Yah, dia hafal betul bahwa dulu saya aktif di Pramuka. Tapi saya tak tahu dulu dia aktif di organisasi apa. Kedua, dia tak segan untuk nonjok bahu saya. Kagak sakit sih, tapi untuk ukuran perempuan, tonjokannya cukup keras. Buughhkk! Setelah itu, dia cengengesan dan tersenyum seperti merasa sudah menang. Entahlah, atau mungkin ada ‘sesuatu’ yang membuatnya merasa ringan setelah nonjok saya.
Hah, itu 10 tahun silam saat kami masih kelas 1 SMA. Setelah 1 tahun menghabiskan waktu di SMA yang sama, akhirnya saya pindah sekolah. Kami berpisah. 10 tahun berlalu, kami belum pernah bertemu lagi, dan saya belum tahu kabarnya. Entah apakah dia masih seperti dulu atau sudah beda. Kalau melihat fotonya sih, saya masih mengenalnya, tak pangling. Dilihat dari penampilannya, tampaknya dia masih seperti dulu. Tomboy. Apalagi saat dia berpose ‘dinas’ lapangan dengan setelan backpacker. Awewe tipe urang pisan tah! Rada tomboy dan agak galak. Seperti Aryani Fitriana di film Kepompong. Hehehe.
Ahaha.. sekarang dengan bodohnya saya mentertawakan diri ini yang menyadari tingkahnya Ratih saat itu. Kenapa dulu saya tak melihatnya sebagai tanda keterbukaan yang berarti memberikan kesempatan untuk bisa dekat dengannya. Yang tonjokannya itu mungkin saja berarti: “Come on! Just say it to me!”
Andaikan ku dapat mengungkapkan perasaanku,
hingga membuat kau percaya.
Akan kuberikan seutuhnya rasa cintaku.
Rasa cinta yang tulus dari dasar lubuk hatiku...
(D’Cinnamons, Selamanya Cinta)
Dalam novel yang ditulis oleh Kireina Eno itu diceritakan bagaimana setelah sekian lama berpisah, akhirnya para tokoh utama bertemu, dan melanjutkan cerita yang tertunda. Sesuai dengan judulnya: Selamanya Cinta. Ratih? Entahlah. Saya tak tahu apakah cerita tentang dia tertunda atau sudah berakhir.
Sore selepas hujan di tepi Cimahi
6 Juni 2012
Kunjungan blogwalking siang kang ..
ReplyDeleteCatatan yang mantap euy...
sukses selalu
Tak lupa, mengundang juga rekan blogger
Kumpul di Lounge Event Blogger "Tempat Makan Favorit"
Salam Bahagia
waw..
Deleteyaw, selamat datang di blog si sayah. :)
info menarik, coba saya pelajari dulu lah.. btw, thanks buat infonya.
salam bahagia juga, dan semoga lancar jaya!
dari dakwatuna eh bisa nyasar kesini saya..
ReplyDeletebeneran bagus y bukunya ?pengen beli
tergantung dari gimana kita menilai buku sih, mbak. saya beli buku itu karena alasan ngingetin masa lalu. cuma itu, bukan karena inspiratif, ada hikmah, atau gimana gitu...
Deletesip
ReplyDelete