Apa yang membuat lingkungan sekitar di negeri ini banyak sampahnya? Mungkin ada banyak jawaban. Ada yang mengatakan karena budaya bersih yang sudah luntur di negeri ini, ketidak-pedulian masyarakat terhadap kebersihan lingkungan, pemahaman tentang pentingnya kebersihan, malas bersih-bersih (nyapu, beres-beres, dan lain-lain), dan masih banyak lagi alasan lainnya.
Bagi kita yang menikmati keindahan dan mendambakan suasana lingkungan yang sehat, kebersihan seperti sebuah kebutuhan tersendiri. Kita merasa risih melihat sampah yang berserakan. Hal itu pula yang saya rasakan saat menyusuri jalanan di sebuah kota. Setelah merasakan sumpeknya udara jalanan karena asap kendaraan bermotor, terutama truk yang knalpotnya mengarah ke lawang pintu angkot, saya berharap bisa menikmati udara yang cukup bersih, atau suasana fasilitas umum yang bersih. Ya, walaupun berada di daerah pinggiran. Biasanya pinggiran kota lebih sepi, jadi mungkin lebih bersih. Namun kenyataan tersebut rasanya jauh dari apa yang diharapkan. Setelah menikmati sebotol air dan hendak membuang sampah botol, ternyata saya kesulitan menemukan tempat sampah.
Bila di tempat umum tempat pembuangan sampah tak ada? Bagaimana orang-orang di tempat umum akan membuang sampah pada tempatnya. Sempat menggerutu, “Duh! Untuk mau buang sampah pada tempatnya saja sampai sulit begini!” Karena saya memang merasakan betapa ribetnya usaha untuk membuang sampah pada tempatnya. Bila kebersihan adalah sebagian dari iman, apakah itu berarti negeri ini jauh dari iman, walaupun hanya sebagian? Bahkan negeri sekuler seperti Belanda pun lingkungannya bersih.
Melihat secara telanjang mata, rasanya hampir semua kalangan terbiasa dengan kebiasaan membuang sampah sembarangan. Tua-muda, berpendidikan-tidak berpendidikan, wanita-pria, petinggi perusahaan maupun pengangguran. Seolah-olah udara negeri ini tidak nyaman untuk dijadikan tempat tinggal. Namun secara tak sengaja, saya menemukan sebuah harapan. Walaupun sekedar harapan kecil. Harapan bahwa masih adanya orang-orang yang peduli akan kebersihan dan keindahan lingkungan. Harapan itu ternyata muncul dari sisi yang hampir tak terlihat, sisi yang jarang diperhatikan orang-orang, sisi yang bahkan kerap dikesampingkan.
Petugas kebersihan, office boy, marbot masjid. Siapa sih petugas kebersihan dibanding pak walikota? Siapa sih office boy dibanding manajer di kantor? Siapa sih marbot dibanding ustadz yang mengisi ceramah di masjid. Saya mengakui, bahwa mereka adalah orang-orang yang profesinya sering dipicingkan oleh masyarakat. Termasuk saya yang yang kadang berpikir demikian, sempat menganggap profesi mereka rendahan. Pekerjaan yang biasa, sepele, berpendidikan rendah, juga gaji yang rendah.
Lantas, apa jadinya kalau di negeri ini tidak ada orang yang berprofesi seperti mereka? Sempat melamun memikirkan hal itu. Kalau dipikir-pikir, andai tak ada petugas kebersihan, mungkin sampah di tempat-tempat umum akan tetap berserakan, tak enak dipandang, bau, merusak kenyamanan. Walikota dan pegawai Pemda mana mau menggarap pekerjaan yang bisa merusak citra mereka itu?! Andai tak ada office boy, lantai kantor takkan mengkilap, mushola mungkin tak bersih, ruangan kantor pun mungkin tak wangi, dan sampah bergundukan di ruang kerja. Alhasil bekerja jadi tak nyaman dan kondusif. Direktur utama, manajer divisi, dan karyawan mana mau melakukan kerja rendahan begitu?! Andai tak ada marbot masjid, WC dan tempat wudhu tak terurus, karpet masjid berdebu karena jarang disapu (malah kadang sampai kucel), adzan bisa jadi tak tepat waktu (atau bahkan tak ada yang adzan. Sementara jama’ah pemakmur masjid pada sibuk bekerja mencari nafkah, sedangkan ustadz-ustadzahnya sibuk mengajar (maklum, di negeri ini masih sangat sedikit orang yang mau sungguh-sungguh mengajarkan Islam), dan para pemuda-pemudinya sekolah atau kuliah.
Seperti apapun pekerjaannya, yang jelas hingga saat ini saya turut merasakan buah kebaikan dari pekerjaan mereka. Bisa menikmati taman yang masih layak untuk dijadikan tempat botram bersama, bisa menikmati pinggir jalan tanpa sampah yang berserakan, lantai kantor yang lumayan bersih mengkilap, WC masjid yang terawat, dan masih banyak lagi. Sebagai hamba-Nya, entah bagaimana Allah menghargai amal mereka. Dan sebagai pekerja, entah bagaimana pemimpin mereka menghargainya. Sudah cukup adil dan layakkah?
Tanpa banyak saya sadari selama ini, mereka menghabiskan waktunya untuk pekerjaan yang penghasilannya tak seberapa. Tak perlu disebutkan berapa besaran nilai penghasilan profesi mereka, cukup terbayang lah. Yang jelas gaji mereka lebih kecil dibanding gaji PNS golongan 3A. Menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk sebuah pekerjaan yang manfaatnya dirasakan secara langsung oleh orang banyak. Mengorbankan banyak waktu dan tenaga demi penghasilan yang tak seberapa, sepertinya itu adalah sebuah kenyataan pahit bagi mereka. Lebih menyakitkan lagi, terkadang profesi mereka dijadikan bahan olok-olok oleh anak kecil, seolah-olah mereka sangat rendah. Padahal saya yang seorang mahasiswa saja belum tentu bisa semulia mereka. Ya mulia, karena mereka bekerja untuk sesuatu yang manfaatnya bisa dinikmati banyak orang. Padahal gajinya tak seberapa, bahkan hidup dengan pandangan rendah dari orang lain.
Bila kebersihan adalah sebagian dari iman, bukankah itu berarti mereka adalah pahlawan yang memperjuangkan berdirinya keimanan negeri ini? Dan bila Allah itu indah juga menyukai keindahan, bukankah berarti mereka adalah pahlawan yang berjuang agar Allah menyukai negeri ini?
Bagi kita yang menikmati keindahan dan mendambakan suasana lingkungan yang sehat, kebersihan seperti sebuah kebutuhan tersendiri. Kita merasa risih melihat sampah yang berserakan. Hal itu pula yang saya rasakan saat menyusuri jalanan di sebuah kota. Setelah merasakan sumpeknya udara jalanan karena asap kendaraan bermotor, terutama truk yang knalpotnya mengarah ke lawang pintu angkot, saya berharap bisa menikmati udara yang cukup bersih, atau suasana fasilitas umum yang bersih. Ya, walaupun berada di daerah pinggiran. Biasanya pinggiran kota lebih sepi, jadi mungkin lebih bersih. Namun kenyataan tersebut rasanya jauh dari apa yang diharapkan. Setelah menikmati sebotol air dan hendak membuang sampah botol, ternyata saya kesulitan menemukan tempat sampah.
Bila di tempat umum tempat pembuangan sampah tak ada? Bagaimana orang-orang di tempat umum akan membuang sampah pada tempatnya. Sempat menggerutu, “Duh! Untuk mau buang sampah pada tempatnya saja sampai sulit begini!” Karena saya memang merasakan betapa ribetnya usaha untuk membuang sampah pada tempatnya. Bila kebersihan adalah sebagian dari iman, apakah itu berarti negeri ini jauh dari iman, walaupun hanya sebagian? Bahkan negeri sekuler seperti Belanda pun lingkungannya bersih.
Melihat secara telanjang mata, rasanya hampir semua kalangan terbiasa dengan kebiasaan membuang sampah sembarangan. Tua-muda, berpendidikan-tidak berpendidikan, wanita-pria, petinggi perusahaan maupun pengangguran. Seolah-olah udara negeri ini tidak nyaman untuk dijadikan tempat tinggal. Namun secara tak sengaja, saya menemukan sebuah harapan. Walaupun sekedar harapan kecil. Harapan bahwa masih adanya orang-orang yang peduli akan kebersihan dan keindahan lingkungan. Harapan itu ternyata muncul dari sisi yang hampir tak terlihat, sisi yang jarang diperhatikan orang-orang, sisi yang bahkan kerap dikesampingkan.
Petugas kebersihan, office boy, marbot masjid. Siapa sih petugas kebersihan dibanding pak walikota? Siapa sih office boy dibanding manajer di kantor? Siapa sih marbot dibanding ustadz yang mengisi ceramah di masjid. Saya mengakui, bahwa mereka adalah orang-orang yang profesinya sering dipicingkan oleh masyarakat. Termasuk saya yang yang kadang berpikir demikian, sempat menganggap profesi mereka rendahan. Pekerjaan yang biasa, sepele, berpendidikan rendah, juga gaji yang rendah.
Lantas, apa jadinya kalau di negeri ini tidak ada orang yang berprofesi seperti mereka? Sempat melamun memikirkan hal itu. Kalau dipikir-pikir, andai tak ada petugas kebersihan, mungkin sampah di tempat-tempat umum akan tetap berserakan, tak enak dipandang, bau, merusak kenyamanan. Walikota dan pegawai Pemda mana mau menggarap pekerjaan yang bisa merusak citra mereka itu?! Andai tak ada office boy, lantai kantor takkan mengkilap, mushola mungkin tak bersih, ruangan kantor pun mungkin tak wangi, dan sampah bergundukan di ruang kerja. Alhasil bekerja jadi tak nyaman dan kondusif. Direktur utama, manajer divisi, dan karyawan mana mau melakukan kerja rendahan begitu?! Andai tak ada marbot masjid, WC dan tempat wudhu tak terurus, karpet masjid berdebu karena jarang disapu (malah kadang sampai kucel), adzan bisa jadi tak tepat waktu (atau bahkan tak ada yang adzan. Sementara jama’ah pemakmur masjid pada sibuk bekerja mencari nafkah, sedangkan ustadz-ustadzahnya sibuk mengajar (maklum, di negeri ini masih sangat sedikit orang yang mau sungguh-sungguh mengajarkan Islam), dan para pemuda-pemudinya sekolah atau kuliah.
Seperti apapun pekerjaannya, yang jelas hingga saat ini saya turut merasakan buah kebaikan dari pekerjaan mereka. Bisa menikmati taman yang masih layak untuk dijadikan tempat botram bersama, bisa menikmati pinggir jalan tanpa sampah yang berserakan, lantai kantor yang lumayan bersih mengkilap, WC masjid yang terawat, dan masih banyak lagi. Sebagai hamba-Nya, entah bagaimana Allah menghargai amal mereka. Dan sebagai pekerja, entah bagaimana pemimpin mereka menghargainya. Sudah cukup adil dan layakkah?
Tanpa banyak saya sadari selama ini, mereka menghabiskan waktunya untuk pekerjaan yang penghasilannya tak seberapa. Tak perlu disebutkan berapa besaran nilai penghasilan profesi mereka, cukup terbayang lah. Yang jelas gaji mereka lebih kecil dibanding gaji PNS golongan 3A. Menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk sebuah pekerjaan yang manfaatnya dirasakan secara langsung oleh orang banyak. Mengorbankan banyak waktu dan tenaga demi penghasilan yang tak seberapa, sepertinya itu adalah sebuah kenyataan pahit bagi mereka. Lebih menyakitkan lagi, terkadang profesi mereka dijadikan bahan olok-olok oleh anak kecil, seolah-olah mereka sangat rendah. Padahal saya yang seorang mahasiswa saja belum tentu bisa semulia mereka. Ya mulia, karena mereka bekerja untuk sesuatu yang manfaatnya bisa dinikmati banyak orang. Padahal gajinya tak seberapa, bahkan hidup dengan pandangan rendah dari orang lain.
Bila kebersihan adalah sebagian dari iman, bukankah itu berarti mereka adalah pahlawan yang memperjuangkan berdirinya keimanan negeri ini? Dan bila Allah itu indah juga menyukai keindahan, bukankah berarti mereka adalah pahlawan yang berjuang agar Allah menyukai negeri ini?
Diiringi mentari terbit, 17.06.2012
0 comments:
Post a Comment