Ahad yang istimewa, kiranya begitulah yang saya rasakan saat pagi mendapatinya datang ke rumah. Ahad ini kami sekeluarga ada acara kumpul keluarga besar di Jatibening, Bekasi. Teteh yang tinggal tidak serumah dengan saya datang lebih awal sebelum keberangkatan untuk bisa berangkat bersama-sama. Sekitar jam setengah 7, terdengar ada suara mengetuk-ngetuk pagar rumah kami. Siapa ya? Ya kami berpikir siapa lagi kalau bukan teteh, terlebih lagi beliau memang sudah bilang akan ikut berangkat bareng bersama kami. Benar saja, setelah membuka pintu dan melihat dari dekat, ternyata itu teteh. Setelah hampir sebulan kami tak bertemu, ada satu hal yang mengejutkan dari penampilannya. Yaitu secarik kain berwarna biru muda yang membalut kepalanya.
Apakah saya terkejut? Tentu saja iya. Raut terkejutnya saya itu pun terbaca oleh teteh yang tersenyum sambil mengatakan, “Udah seminggu kok!” Baginya, sudah seminggu terlewati dia menjalani hari-hari sebagai wanita berkerudung. Namun bagi saya, baru sekarang melihat dia kembali demikian setelah sekian lama melepas kerudungnya sekitar tahun 1996. Walau cara berkerudungnya berbeda, tak apa lah. saya sudah cukup senang melihatnya. Dekade 90-an, saat kerudung belum menjadi trend, hanya beberapa kalangan yang mengenakannya, hanya guru di sekolah, dan pelajar atau mahasiswa yang aktif di kerohanian. Selebihnya, ya para santriwati dan ustadzah. Saya ingat betul, saat itu hanya ada 1 model berkerudung, yaitu model berkerudungnya jilbaber kampus. Dulu belum ada kerudung kaos seperti sekarang, yang ada hanyalah secarik kain yang dilipat lalu digunakan untuk menutup kepala. “Bahkan ada yang sampai 3 lapis”, begitu kata teteh saat pernah bercerita tentang masa-masa dulu dia berkerudung.
Saya tak tahu kapan persisnya teteh mulai berkerudung. Dulu beliau hanya pernah bercerita bahwa saat masih SMA, rambutnya kerap beruban, dan tak sedikit. Entah ada apa dengan pertumbuhan rambutnya, namun katanya hal itu membuatnya malu. Teteh yang suka bergaul dengan anak-anak rohis pun akhirnya memilih untuk berkerudung. Padahal saat itu sekolah-sekolah negeri masih antipati untuk menerima siswi-siswi yang berkerudung. Seperti kata dosen saya, tahun awal 90-an memang menjadi masa-masa sulit bagi siswi yang berjilbab.
Ini-itu dipersulit oleh sekolah. Satu-satunya harapan yang membuat teteh istiqamah sebagai kalangan minoritas saat itu adalah karena beliau suka ikut mentoring di Masjid Salman ITB setiap Ahad. “Banyak temen ama ada teteh-teteh mentor yang terus ngedukung...” Begitulah tutur teteh mengingat masa lalunya saat masih SMA. Alhamdulillah, sampai kuliah pun teteh masih menjaga berkerudungnya. Bahkan saya sempat dikenalkan pada teman dekatnya yang sesama jilbaber. Teteh biasa memanggilnya ‘Vivi’, jadi saya memanggilnya ‘Teh Vivi’. Orangnya ramah, lembut, bahkan saya sempat ditraktirnya. Wah, temennya si teteh baik pisan!
Tahun 1994, penampilan berkerudung adalah hal yang berbeda dibandingkan kebanyakan. Hanya kalangan tertentu saja yang memilih untuk berkerudung, diantaranya adalah teteh dan temannya itu. Walau teteh mengaku beda dengan temannya itu, dalam pikiran saya -yang masih bocah saat itu- tak ada bedanya. Teteh bercerita, “Wah, telaten pisan Teh Vivi mah. Kerudungnya juga sampe 3 lapis. Udah gitu, kesehariannya juga lebih kejaga...”
Saya sempat berpikir, kok bisa-bisanya teteh sampai sebegitu istiqamahnya. Padahal keputusan yang dipilihnya membuat dia menjadi minoritas. Namun di satu sisi, itulah yang justru membuat saya kagum padanya. Rasa kagum yang membuat saya sampai penasaran untuk mengenal mereka lebih jauh, terutama kalangan mereka. Untuk sementara waktu, sebagai bocah SD, saya hanya mengenal mereka sebagai aktivis masjid kampus. Beruntungnya saya saat itu, mereka bukanlah sosok-sosok misterius yang suka mengeksklusifkan diri yang hanya mau bergaul dengan sesama kalangannya. Malahan justru mereka terbuka dan tak sungkan untuk bercerita menjelaskan ini-itu, atau sekedar ngobrol ngelantur bercanda bercengkrama.
Apakah saya terkejut? Tentu saja iya. Raut terkejutnya saya itu pun terbaca oleh teteh yang tersenyum sambil mengatakan, “Udah seminggu kok!” Baginya, sudah seminggu terlewati dia menjalani hari-hari sebagai wanita berkerudung. Namun bagi saya, baru sekarang melihat dia kembali demikian setelah sekian lama melepas kerudungnya sekitar tahun 1996. Walau cara berkerudungnya berbeda, tak apa lah. saya sudah cukup senang melihatnya. Dekade 90-an, saat kerudung belum menjadi trend, hanya beberapa kalangan yang mengenakannya, hanya guru di sekolah, dan pelajar atau mahasiswa yang aktif di kerohanian. Selebihnya, ya para santriwati dan ustadzah. Saya ingat betul, saat itu hanya ada 1 model berkerudung, yaitu model berkerudungnya jilbaber kampus. Dulu belum ada kerudung kaos seperti sekarang, yang ada hanyalah secarik kain yang dilipat lalu digunakan untuk menutup kepala. “Bahkan ada yang sampai 3 lapis”, begitu kata teteh saat pernah bercerita tentang masa-masa dulu dia berkerudung.
Saya tak tahu kapan persisnya teteh mulai berkerudung. Dulu beliau hanya pernah bercerita bahwa saat masih SMA, rambutnya kerap beruban, dan tak sedikit. Entah ada apa dengan pertumbuhan rambutnya, namun katanya hal itu membuatnya malu. Teteh yang suka bergaul dengan anak-anak rohis pun akhirnya memilih untuk berkerudung. Padahal saat itu sekolah-sekolah negeri masih antipati untuk menerima siswi-siswi yang berkerudung. Seperti kata dosen saya, tahun awal 90-an memang menjadi masa-masa sulit bagi siswi yang berjilbab.
Ini-itu dipersulit oleh sekolah. Satu-satunya harapan yang membuat teteh istiqamah sebagai kalangan minoritas saat itu adalah karena beliau suka ikut mentoring di Masjid Salman ITB setiap Ahad. “Banyak temen ama ada teteh-teteh mentor yang terus ngedukung...” Begitulah tutur teteh mengingat masa lalunya saat masih SMA. Alhamdulillah, sampai kuliah pun teteh masih menjaga berkerudungnya. Bahkan saya sempat dikenalkan pada teman dekatnya yang sesama jilbaber. Teteh biasa memanggilnya ‘Vivi’, jadi saya memanggilnya ‘Teh Vivi’. Orangnya ramah, lembut, bahkan saya sempat ditraktirnya. Wah, temennya si teteh baik pisan!
Tahun 1994, penampilan berkerudung adalah hal yang berbeda dibandingkan kebanyakan. Hanya kalangan tertentu saja yang memilih untuk berkerudung, diantaranya adalah teteh dan temannya itu. Walau teteh mengaku beda dengan temannya itu, dalam pikiran saya -yang masih bocah saat itu- tak ada bedanya. Teteh bercerita, “Wah, telaten pisan Teh Vivi mah. Kerudungnya juga sampe 3 lapis. Udah gitu, kesehariannya juga lebih kejaga...”
Saya sempat berpikir, kok bisa-bisanya teteh sampai sebegitu istiqamahnya. Padahal keputusan yang dipilihnya membuat dia menjadi minoritas. Namun di satu sisi, itulah yang justru membuat saya kagum padanya. Rasa kagum yang membuat saya sampai penasaran untuk mengenal mereka lebih jauh, terutama kalangan mereka. Untuk sementara waktu, sebagai bocah SD, saya hanya mengenal mereka sebagai aktivis masjid kampus. Beruntungnya saya saat itu, mereka bukanlah sosok-sosok misterius yang suka mengeksklusifkan diri yang hanya mau bergaul dengan sesama kalangannya. Malahan justru mereka terbuka dan tak sungkan untuk bercerita menjelaskan ini-itu, atau sekedar ngobrol ngelantur bercanda bercengkrama.
***
Entah alasan apa, tiba-tiba teteh tak lagi berkerudung. Terutama saat tahu bahwa beliau telah lulus kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan. Saya yang masih kelas 5 SD tak menanyakan alasannya. Sekedar bengong, tak berani menanyakannya. Sepertinya itu hal yang amat personal baginya. Dan lagi, dulu saya memang tak begitu memikirkannya. Jika mau jujur, sebenarnya dari dulu saya lebih senang teteh tetap berkerudung. Sebagaimana saya senang saat ada guru SD yang pada akhirnya memilih berkerudung. Lagian, kata guru ngaji saya juga: “Idealnya perempuan itu berkerudung.”
Saya tak berpikir banyak, karena memang merasa tak ada yang bisa saya lakukan. Apapun keputusan beliau, saya tetap menghargainya. Bertahun-tahun setelah tak lagi berkerudung, saya juga tak pernah bertanya-tanya tentang keputusannya itu. Bahkan sampai bapak meninggal di tahun 2007 pun, saya masih sungkan untuk menanyakannya. Padahal saat masih sakit-sakitan, saya pernah mendengar bapak pernah bertanya pada teteh, “Kapan mau berkerudung lagi?” Mengerti apa maksud bapak. Beliau ingin kembali melihat teteh berkerudung seperti dulu lagi. Namun apa daya, bapak keburu dijemput malaikat. Saya yang menyadari hal ini hanya diam dan sedih. Ah, andai saja bapak sempat melihat teteh kembali berkerudung, dan teteh sempat melihat raut wajah bapak yang melihatnya berkerudung.
Suatu hari, setelah kepergian bapak, teteh pernah bercerita bahwa sebenarnya dia ingin kembali berkerudung. Teteh juga bercerita betapa sedih dirinya karena tak sempat melihat anaknya yang satu itu kembali berkerudung. “Teteh pengen kayak dulu lagi. Ngaji juga mau mulai dari awal lagi.” Teteh yang tahu bahwa saya suka aktif di masjid dekat rumah dan mengajar baca al-Qur’an pun meminta saya untuk mengajar. Padahal saya adiknya. Haduh.. haduh.. haduh.. Saya kaget bukan main. Karena bagaimanapun juga, dia adalah kakak saya. Ada rasa sangat sungkan bila tiba waktu untuk mengajarnya.
Hari demi hari demi hari berlalu, namun agenda ngaji sering batal. Katanya, teteh sibuk. Sibuk beres-beres rumah, sibuk bekerja, sibuk bikin kue, juga sibuk untuk mempersiapkan pernikahannya yang kedua. Setelah gagal pada pernikahannya yang pertama karena sesuatu hal, akhirnya ada seorang lelaki yang tertarik kepadanya. Sebelum menikah, teteh pernah bercerita tentang calon suaminya itu. “Dia dia teh yang mau berusaha dan teguh memegang prinsip. Agamanya juga baik. Nanti kalau jadi ama yang ini, teteh mau pake kerudung lagi ah.”
Alhamdulillah, beberapa bulan yang lalu, teteh menikah dengannya. 4 bulan setelah pernikahannya, teteh memenuhi tekadnya untuk mulai berkerudung. Saya sebenarnya tak tahu persis alasan apa yang membuat teteh kembali berkerudung. Tapi dari gelagatnya akhir-akhir ini, sepertinya teteh mendapatkan semangatnya untuk kembali berkerudung setelah bertemu dengan lelaki yang menjadi suaminya itu. Entahlah, apapun itu yang jelas saya senang.
“Berasa terlahir kembali”, itulah kalimat terakhir yang dikatakan teteh saat pagi sebelum berangkat ke Jatibening. Rasanya jadi mulai mengerti kenapa teteh bersikeras ingin mulai lagi dari Iqra 1. Rencananya Ahad depan teteh akan mulai ngaji, dan saya pun akan mempersiapkan bahan belajar untuknya, tentunya dengan rasa yang lebih bahagia. Semoga teteh istiqamah dengan kerudungnya.
Mungkin benarlah nasehat seorang tua bahwa wanita butuh peneguh untuk membuat keputusan. Seperti teteh yang baru saja menikah dengan ‘Si Mas’, dan dia menjadi peneguh bagi teteh untuk memulai lembaran-lembaran baru sebagai wanita berkerudung. Dan saya yang dia pilih untuk menjadi guru ngajinya, semoga saja sanggup menjadi peneguh baginya untuk istiqamah. Sebesar apapun rasa sungkan dan grogi saat hendak mengajarnya, tak peduli lah! Cuek aja! I love you full lah, Teh!
Saya tak berpikir banyak, karena memang merasa tak ada yang bisa saya lakukan. Apapun keputusan beliau, saya tetap menghargainya. Bertahun-tahun setelah tak lagi berkerudung, saya juga tak pernah bertanya-tanya tentang keputusannya itu. Bahkan sampai bapak meninggal di tahun 2007 pun, saya masih sungkan untuk menanyakannya. Padahal saat masih sakit-sakitan, saya pernah mendengar bapak pernah bertanya pada teteh, “Kapan mau berkerudung lagi?” Mengerti apa maksud bapak. Beliau ingin kembali melihat teteh berkerudung seperti dulu lagi. Namun apa daya, bapak keburu dijemput malaikat. Saya yang menyadari hal ini hanya diam dan sedih. Ah, andai saja bapak sempat melihat teteh kembali berkerudung, dan teteh sempat melihat raut wajah bapak yang melihatnya berkerudung.
Suatu hari, setelah kepergian bapak, teteh pernah bercerita bahwa sebenarnya dia ingin kembali berkerudung. Teteh juga bercerita betapa sedih dirinya karena tak sempat melihat anaknya yang satu itu kembali berkerudung. “Teteh pengen kayak dulu lagi. Ngaji juga mau mulai dari awal lagi.” Teteh yang tahu bahwa saya suka aktif di masjid dekat rumah dan mengajar baca al-Qur’an pun meminta saya untuk mengajar. Padahal saya adiknya. Haduh.. haduh.. haduh.. Saya kaget bukan main. Karena bagaimanapun juga, dia adalah kakak saya. Ada rasa sangat sungkan bila tiba waktu untuk mengajarnya.
Hari demi hari demi hari berlalu, namun agenda ngaji sering batal. Katanya, teteh sibuk. Sibuk beres-beres rumah, sibuk bekerja, sibuk bikin kue, juga sibuk untuk mempersiapkan pernikahannya yang kedua. Setelah gagal pada pernikahannya yang pertama karena sesuatu hal, akhirnya ada seorang lelaki yang tertarik kepadanya. Sebelum menikah, teteh pernah bercerita tentang calon suaminya itu. “Dia dia teh yang mau berusaha dan teguh memegang prinsip. Agamanya juga baik. Nanti kalau jadi ama yang ini, teteh mau pake kerudung lagi ah.”
Alhamdulillah, beberapa bulan yang lalu, teteh menikah dengannya. 4 bulan setelah pernikahannya, teteh memenuhi tekadnya untuk mulai berkerudung. Saya sebenarnya tak tahu persis alasan apa yang membuat teteh kembali berkerudung. Tapi dari gelagatnya akhir-akhir ini, sepertinya teteh mendapatkan semangatnya untuk kembali berkerudung setelah bertemu dengan lelaki yang menjadi suaminya itu. Entahlah, apapun itu yang jelas saya senang.
“Berasa terlahir kembali”, itulah kalimat terakhir yang dikatakan teteh saat pagi sebelum berangkat ke Jatibening. Rasanya jadi mulai mengerti kenapa teteh bersikeras ingin mulai lagi dari Iqra 1. Rencananya Ahad depan teteh akan mulai ngaji, dan saya pun akan mempersiapkan bahan belajar untuknya, tentunya dengan rasa yang lebih bahagia. Semoga teteh istiqamah dengan kerudungnya.
Mungkin benarlah nasehat seorang tua bahwa wanita butuh peneguh untuk membuat keputusan. Seperti teteh yang baru saja menikah dengan ‘Si Mas’, dan dia menjadi peneguh bagi teteh untuk memulai lembaran-lembaran baru sebagai wanita berkerudung. Dan saya yang dia pilih untuk menjadi guru ngajinya, semoga saja sanggup menjadi peneguh baginya untuk istiqamah. Sebesar apapun rasa sungkan dan grogi saat hendak mengajarnya, tak peduli lah! Cuek aja! I love you full lah, Teh!
With love, 09072012
0 comments:
Post a Comment