Persahabatan bagai kepompong,
Mengubah ulat menjadi kupu-kupu.
Persahabatan bagai kepompong,
Hal yang tak mudah berubah jadi indah.
(Sindentosca - Kepompong)
Siapa yang tak mau memiliki sahabat? Rasanya tak ada satupun orang di dunia ini yang ingin hidup sendiri, dan tak ada satupun orang yang tak berkeinginan memiliki satu atau beberapa teman dekat. Alias sahabat nan akrab. Seseorang yang bisa sangat menolong kita dalam keadaan sulit. Seseorang yang bisa menemani kita dalam menjalani suka dan duka. Tempat di mana kita bisa berbagi banyak cerita, belajar dari pengalamannya. Dan masih banyak lagi.
Mengubah ulat menjadi kupu-kupu.
Persahabatan bagai kepompong,
Hal yang tak mudah berubah jadi indah.
(Sindentosca - Kepompong)
Siapa yang tak mau memiliki sahabat? Rasanya tak ada satupun orang di dunia ini yang ingin hidup sendiri, dan tak ada satupun orang yang tak berkeinginan memiliki satu atau beberapa teman dekat. Alias sahabat nan akrab. Seseorang yang bisa sangat menolong kita dalam keadaan sulit. Seseorang yang bisa menemani kita dalam menjalani suka dan duka. Tempat di mana kita bisa berbagi banyak cerita, belajar dari pengalamannya. Dan masih banyak lagi.
Namun, siapa yang menyukai perpisahan? Kalau mau jujur, inilah bagian yang tidak saya sukai dari persahabatan. Namun cara orang-orang dalam menghargai persahabatan setidaknya bisa saya lihat dari tema perpisahan ini, dan rasanya saya mulai memahami mengapa terkadang sampai dibuat acara perpisahan. Kalau di sekolah sih namanya “perpisahan”. Di tempat lain mungkin namanya lain lagi. “Pelepasan calon haji” misalnya, sersalaman sampai sebegitunya nangis waktu hendak berangkat ke tanah suci. Takut-takut setelah berangkat, tak sempat lagi bertemu.
Semakin dekat kita dengan seorang, semakin berat rasanya untuk melepas dia pergi. Itu yang selalu saya rasakan saat sadar bahwa ada yang pergi dari hidup saya. Seperti dulu saat baru lulus SMP, berat rasanya saat nyadar bahwa harus berpisah dengan Edy, Anggi, Rully, dkk. Mereka telah masuk sekolah yang baru, begitu pun saya. Mereka telah menemukan babak hidup yang baru, begitu pun saya. Di sekolah yang baru ada teman-teman baru, namun ada juga bagian yang terasa kosong dalam benak gara-gara kehilangan sahabat. Di lingkungan yang baru, perlu waktu lagi buat saling mengenal. Perlu waktu lagi buat nemu tempat untuk bebas ngoceh.
Demikian pula yang saya alami saat kuliah. Memang enak saat punya sahabat, namun sebaliknya saat nyadar harus berpisah. Asa paiiiiitttt pisan! Saya tak bisa memungkiri apa kata teman yang berkomentar, “Si Adit kaleungiteun..” Saya memang tak bisa memungkiri bahwa merasa kehilangan saat dulu Eki pindah jurusan. Begitu pula saat Uni mulai sibuk dengan kerja sampingannya. Selanjutnya Adith yang sudah lulus dan pindah ke Jakarta, disusul Bagus yang juga pergi merantau ke ibukota. Terkadang coba menghubungi mereka untuk sekedar say hi dan menanyakan kabar, namun saya nyadar bahwa sepertinya mereka sudah punya kehidupannya masing-masing. Jadi, kami menjalani kehidupan kami masing-masing. Seakan-akan persahabatan ini telah berakhir. Atau memang telah berakhir, dan jadi sekedar teman biasa.
Hal yang serupa saya rasakan di masjid dekat rumah. Bila Ramadhan tiba, biasanya teman-teman segenerasi akan ngumpul di masjid pada acara festival, bahkan sebelum festival. Tapi nyadar juga lah, mereka sudah punya kesibukan masing-masing, dan beberapa diantaranya sudah berkeluarga. Jadi, susah untuk bisa ngumpul banyakan seperti dulu.
Memang menyenangkan bisa menambah sahabat, tanpa perlu melihat di laki-laki atau perempuan. Walaupun pada akhirnya saya juga mesti mengakui bahwa punya teman akrab laki-laki tak sama dengan teman akrab perempuan. Jadi ada batasan-batasan tegas yang tak bisa dilabrak begitu saja, terutama saat mereka sudah menikah. Kalau dengan sesama lelaki, mungkin masih bisa akrab seperti dulu. Tapi lain halnya dengan yang perempuan. Yang jelas, saya tak mau jadi pihak ketiga. Jadi biasanya saya putuskan, tinggalkan saja! Bila tak ada kepentingan, delete nomor kontak teman-teman (cewek) yang sudah menikah. Tak peduli diantara mereka ada yang berlabel sahabat atau pernah minta dianggap adik. Urang teu paduli! Ahihihihihihi...
Senangnya punya sahabat, dan pahitnya kehilangan sahabat. Celakanya saya bukanlah seseorang yang mudah dalam menerima orang tuk akrab, sebagaimana saya juga sulit tuk melepas orang yang sudah akrab. Akhir-akhir ini seringkali termenung, sampai pada akhirnya berpikir bahwa bila nanti saya tak mau merasa sangat kehilangan, mungkin sebaiknya jangan menjalin hubungan yang lebih akrab. Walaupun dia menganggap dan ingin menjadikan saya sebagai salah satu sahabatnya. Jadi, mungkin sebaiknya, cukup berteman biasa.
Maaf bila saat ini tak bisa menganggapmu lebih dari teman biasa...
Zhuhur di pinggir Kota Bandung, 29 Juli 2012
0 comments:
Post a Comment