Cerita dalam DAMRI

Langit semakin gelap. Jalanan di Kota Bandung mulai ramai seiring menjelangnya momen-momen malam mingguan. Beberapa ruas jalan utama semakin menemukan hiruk pikuknya. Terutama seputaran Jalan Dago, Dipati Ukur, Merdeka, atau Cihampelas. Selain disesaki oleh orang-orang yang berdatangan dari luar kota untuk menghabiskan kertas demi kertas berharga, atau menggesek si kartu sakti bernilai jutaan, beberapa tempat dipadati orang-orang yang berhamburan. Entah itu pekerja yang lembur di akhir pekan, atau mahasiswa-mahasiswi yang ada tambahan kuliah dan praktikum. Selebihnya, di tempat-tempat dagang mereka semua sama. Pelanggan.

Penggarap proyek yang meeting di tempat nasgor pinggir jalan, mahasiswa yang baru keluar lab dan nongkrong di warteg, orang kantoran yang baru selesai lembur lalu jajan di pinggir jalan, atau supir angkot yang mampir ke warung untuk memesan kopi. Begitulah sore. Heterogen, namun sama. Berlatar belakang beda, namun ada kesamaan. Begitu pula saya beberapa jam sebelumnya baru keluar dari kelas, menunaikan shalat Ashar di Masjid Salman ITB, beli sebotol minum di sebuah toserba kecil, lalu berjalan ke Dipati Ukur menuju Pangdam (Pangkalan DAMRI). Dan di dalam kendaraan besar yang satu inilah, akhirnya saya sama saja dengan mereka. Siapapun saya, seperti apapun latar belakangnya, di dalam bus ini saya tetaplah seorang penumpang. Sebagaimana siapapun Anda, seperti apa latar belakangnya, Anda tetaplah pembaca tulisan ini.

Sebagaimana biasanya, tempat kesukaan saya di bus adalah tepat di samping jendela. Tempat yang memungkinkan saya untuk menikmati pemandangan luar, suasana yang memungkinkan saya terhanyut dengan panorama selama perjalanan. Momen bagus untuk diam, menikmati kesendirian, melamun memikirkan hal-hal di masa lalu dan imajinasi, juga termenung. Ada satu hal yang paling saya sukai dari naik bus sendirian, punya banyak waktu untuk diam dan merenung. Buat saya, hal itu cukup membantu untuk sejenak memahami hidup yang tengah saya jalani.

Satu jam sudah bus yang saya tumpangi nongkrong di pangkalan. Satu jam waktu yang cukup untuk menunggu interior bus disesaki para penumpang dengan tujuan pemberhentian yang sama. Satu jam yang tak berlebihan bagi supir untuk menikmati segelas kopi sambil bercengkrama dengan pemilik warung. Satu jam yang cukup lama untuk diam, melamun, dan menikmati suasana bus kota yang merakyat. Ya merakyat, karena ini kendaraan murah meriah. Cocok untuk isi saku kaum menengah ke bawah.

Roda berputar, DAMRI menyusuri jalan demi jalan menuju tempat tujuan. Langit semakin gelap, ditambah dengan rindangnya pepohonan di pinggir jalan membuat suasana lebih gelap. Selain lembayung yang terhalangi dedaunan pohon, penerangan yang ada tinggalah dari lampu kendaraan-kendaraan dan lampu penerang jalan. Bandung bukanlah kota yang terang oleh lelampuan di jalan, tidak seperti kota metropolitan yang terang di sana-sini saat malam. Meski agak gelap, banyak orang mengatakan: “Itulah Bandung, kota yang romantis”. Itulah kenapa pinggir jalan di Bandung selalu menjadi tempat favorit untuk disinggahi. Yang tak punya banyak uang, cukup mampir ke jajanan di pinggir jalan. Dan yang dompetnya lebih tebal bisa memilih cafe, kedai, atau restoran. Sementara saya, memilih untuk diam di dalam bus sambil menikmati sebotol air.

Selembar uang senilai 5 ribu saya persiapkan di saku baju khusus untuk diberikan pada kondektur yang sudah mulai berkeliling menagih ongkos. Ini bus patas, ongkos ke Jatinangor via tol tarifnya Rp. 3.500. Satu demi satu penumpang membayar ongkos. Ada yang memberi uang pas, ada yang lebih hingga kondektur memberikan uang kembalian. Hingga akhirnya giliran saya yang memberikan uang lalu diberikan kembalian Rp. 1.500. Beruntung, masih kondekturnya masih menyimpan uang receh 500-an.

Menyusuri jalan demi jalan, bus pun semakin dijejali penumpang baru yang mencari kendaraan menuju Jatinangor. Begitu pula penumpang yang duduk di samping saya saat bus melewati Jalan Supratman. Sementara kondektur terus beredar untuk menagih ongkos. Saya tak begitu mempedulikan keadaan, toh sudah bayar ongkos. Sekedar menyadari bahwa tempat duduk semakin berdesakan setelah ada penumpang baru. Beberapa saat kemudian, saya tersadar ada obrolan.

“Ada uang lima ratus?”
“Nggak ada, Pak.”
“Wah, ini nggak ada kembalian.”
“Jadi gimana dong, Pak?”
“Ya udah, nanti ya. Keliling ke yang lain dulu.”

Rupanya pak kondektur sudah kehabisan uang 500-an. Sulit mencari uang untuk kembalian, jadi dengan terpaksa dia harus ke sana ke mari untuk menagih ongkos dan mencari kepingan uang 500 demi kembalian. Repotnya pak kondektur ini. Sementara penumpang di sebelah saya kebingungan untuk membayar ongkos. Dia memegang uang Rp.5000, dan hendak membayar ongkos untuk seorang diri. Tak ada seorang pun di bus ini yang dia kenal. Andai ada seseorang yang dia kenal, mungkin dia bisa pinjam uang atau membayar ongkos untuk 2 orang. Kalau dia memberi selembar Rp.10.000 untuk ongkos berdua, kondektur punya kembalian Rp.3.000. Rasa senang punya uang berlembar-lembar ternyata bisa pupus sekedar oleh uang receh senilai 500 rupiah. Kebahagiaan karena pencapaian besar ternyata bisa pupus oleh satu hal yang kecil. Ah, betapa relatifnya hidup.

“Pak, udah ada kembalian?”
“Wah, nggak ada tuh!” Jawab kondektur sambil menunjukkan segepok uang.
“Jadi gimana dong, Pak? Ini juga nggak ada lagi.”

Ribet juga. Untuk yang kedua kalinya dialog itu terjadi, masih membahas Rp.500 yang menjadi kembalian. Uang 500, sepenting itukah hingga larut dipermasalahkan? Sempat terpikir: kenapa tak direlakan saja yang Rp.500 ini? entah itu kondektur yang merelakan Rp.500 pada seorang penumpang, atau penumpang ini yang merelakan Rp.500 untuk kondektur. Saya masih berpikir sesederhana itu.

“Kenapa, Mbak?” Tanya saya pada penumpang sebelah.
“Ini, katanya nggak ada kembalian yang pas?”
“Emang Mbak uangnya berapa?”
“Lima ribu.”
“Buat satu orang?”
“Iya. Kata bapak itu nggak ada kembalian yang pas.”
“Oh, ya udah. Ini, pakai aja.” Saya menyodorkan sekeping koin Rp.500 kepadanya.
“Ahhhh...”

Penumpang sebelah saya ini terkejut, bengong, seolah-olah tak percaya. Sorotan matanya mencoba mencari-cari jawaban, meyakinkan dirinya bahwa ada yang membantunya keluar dari masalah “kecil” ini. Buat saya sih ini masalah kecil, entah seberapa penting bagi kondektur dan penumpang di sebelah saya ini. Dia pun meraih koin kecil itu dari tangan saya, lalu menyerahkannya beserta uang Rp.5.000 yang telah digenggamnya dari tadi kepada kondektur. Lalu, kembalian selembar Rp.2.000.

Rupanya gadis ini masih bengong. Dia langsung menyodorkan uang kembalian itu pada saya. Namun saya pun memilih untuk menolaknya.

“Terus gimana dong, Kak?”
“Ya udah. Nggak usah.”

Lagi-lagi dia bengong. Menatap mencari jawaban, meyakinkan diri bahwa masalahnya telah usai. Hanya segurat senyum tipis, dan anggukan kecil yang bisa saya sampaikan padanya. Semoga saja itu cukup untuk menjadi jawabannya. Tatapan saya kembali tertuju pada pemandangan di luar bus. Melepas bayang wajahnya dari kedua bola mata. Tak peduli dengan apa yang dia lakukan selanjutnya. Kami tak berkenalan. Saya yang tak mencari tahu namanya, dan dia yang tak mengajak berkenalan. Bagi saya, ini hanyalah perjumpaan sesaat dalam sebuah perjalanan, yang sepertinya tak akan ada perjumpaan kedua, ketiga, dan seterusnya. Jadi, tak ada alasan tuk mencari tahu namanya.

Malam itu, menjelang Isya, di pangkalan DAMRI Jatinangor, kami berpisah. Dia dengan tujuannya, dan saya dengan sebuah perjalanan. Begitulah, DAMRI punya cerita. Membuka perjumpaan dua pribadi, kemudian mengakhirinya dengan perpisahan. Tanpa sambungan cerita. DAMRI berjalan, cerita dimulai. DAMRI berhenti, cerita berakhir.


Tengah malam nan sunyi,
Bandung, 23082012

0 comments:

Post a Comment