Mungkinkah kau sampaikan padanya
Walau hatiku penuh derita,
aku masih selalu cinta.
(Asmara, Novia Kolopaking)
Lama sekali tidak mendengar tembang-tembang lawas. Sabtu (25/8/2012) kemarin saat numpang bus Bhinneka arah Cirebon ternyata kedua telinga ini berkesempatan untuk mendengar dendang-dendang tahun 80 dan 90-an. Ngaku lah, ada kesan tersendiri saat menaiki bus ini sambil menikmati alunan syair dan nada dari para penyanyi era keemasan Broery, Dewi Yull, Yuni Shara, Novia Kolopaking, Paramita Rusady, dan Desi Ratnasari. Selain terasa kembali ke beberapa dekade silam, teringat momen-momen yang telah lalu, juga karena memang saya yang menyukai tembang-tembang lawas. Semisal Asmara yang didawaikan oleh Mbak Novia. Sono pisan ka eta lagu.
Bersama seorang teman lawas, kami naik bus dari terminal Cicaheum menuju Majalengka, tepatnya ke sebuah pernikahan di daerah Kadipaten. Seorang teman dari masa lalu yang ternyata juga suka tembang-tembang lawas. Bahkan dia tau lebih banyak lagu-lagu pop jadul. “Ini namanya surga dunia...” begitulah komentar dia yang mendengarkan tembang demi tembang sembari menyanyi. Sementara saya hanya menggelengkan kepala tertawa kecil membalas komentarnya, “Maneh pisan tah lagu!”
“Geuleuh, sia mah kitu ka urang teh... naha bet urang?”
“Ku sabab maneh pisan tah lagu!”
“Naha?”
Saya tahu dia orang yang seperti apa, dan bagaimana cara dia melewati hari-harinya. Melewati siang, juga malam. Dia seorang kawan lama, teman lawas yang saya kenal semenjak masih SMP. Seleranya adalah buku-buku penulis senior, ‘nyambung’ dengan yang lebih tua, melewati sela-sela malam dengan menulis-membaca-melamun-menikmati kesunyian. Tempat nongkrongnya adalah warung kopi, dan jajanannya serupa bakso atau mie tek-tek yang lewat. Orang politik menyebutnya selera rakyat kelas grass-root. Bila kelas orang dilihat dari tempat dimana dia ngopi (Warkop, Cafe, atau Starbucks), teman saya ini memang bisa dikatakan memiliki kelas selera rakyat (warkop), bukan kelas middle (Cafe), apalagi eksekutif (Starbucks). Well, sebagai orang yang juga suka nongkrong di warkop, saya tahu bahwa warkop punya pengunjung dengan tipikal tersendiri.
Ingat penongkrong warkop, entah kenapa rasanya jadi ingat sosok Iwan Fals. Citra pemusik yang merakyat juga kritis dengan lirik-lirik yang berani mengomentari pemerintah. Meski menjadi figur yang fenomenal di negeri ini, gayanya masih cukup sederhana untuk diikuti orang-orang kelas menengah ke bawah. Cara berpakaiannya, gaya berbicaranya, tak ketinggalan juga musiknya. Tak heran para pengamen dan orang-orang pinggiran banyak yang menyukai musik Iwan Fals. Kembali lagi, satu istilah yang rasanya layak dikedepankan mengenai sosok ini adalah: MERAKYAT. Mungkin karena itulah jadi ingat Iwan Fals saat ingat warkop. Apalagi setelah dia membintangi sebuah iklan kopi instant yang harganya murah (sangat merakyat!) untuk ukuran kopi sachet.
Bukan hanya persoalan merakyat. Warkop pun bisa dibilang sebagai tongkrongan legendaris di negeri ini. Lain halnya dengan Starbucks, Ngopi Doeloe, atau Kopi Progo yang muncul belakangan. Anak-anak muda kebanyakan lebih familiar dengan nama-nama tadi yang belakangan muncul. Tempat-tempat ngopi baru yang menawarkan suasana baru, dan lebih tasty. Tempat-tempat baru yang berkesan high class dan anak muda banget. Namun di luar itu, Warkop tetap punya pelanggan dengan seleranya yang khas. Tempat-tempat sekelas Starbucks lebih pede menyetel lagu “Someone Like You” dari Adele, hits terbarunya Noah, atau lagu-lagu baru yang lagi trend sekarang. Berbeda dengan Warkop yang tetap bernostalgia dengan tembang-tembang lawas atau lagu-lagu pop dangdut. Maklum, beberapa kalangan penikmat Warkop diantaranya adalah orang tua, supir, dan pedagang. Bukan anak muda yang sangat update dengan lagu-lagu baru.
Sebagaimana yang saya tahu, kebanyakan orang seusia saya bukanlah penyuka lagu-lagu jadul. Mereka lebih menggandrungi lagu-lagu baru yang hits saat ini. Tapi bagaimanapun juga, itu adalah selera musik setiap orang, sebagaimana saya pun memiliki selera tersendiri dalam mendengarkan musik. Selera yang ternyata bisa menceritakan sisi di balik penampilan seseorang. Bagi kita yang penikmat warung kopi, tembang-tembang lawas mungkin lebih berkesan di hati. Karena itu adalah tembang-tembang yang mewakili seleranya para penikmat kopi beberapa dekade silam.
Tak mungkin aku berpaling dan menyesali
Tercabik hati ini meronta
Jangan kau rejam gairah yang ada
Haruskah aku mengemis cinta
Untuk menghilangkan duka
Asmara...
Ke mana lagi akan kucari?
Siapa yang kan mengusir sepi ,
di saat ku sendiri?
By the way, untuk saya bus sendiri adalah kendaraan yang merakyat. Bahkan mungkin bisa dikatakan paling merakyat. Alasan: untuk ukuran jarak jauh, ongkosnya murah. Jadi tak heran apabila musik-musik yang disetel di bus adalah lagu-lagu yang juga merakyat, seleranya para penikmat Warkop. Juga tak ketinggalan, tentunya supir dan kondektur bus sama-sama penikmat warkop. Kalau bukan di warkop, mereka biasanya nongkrong di warung lalu beli kopi dan rokok. Pilihan lain yang juga merakyat selain warkop.
With a cup of coffee
Bandung, 03/09/2012
wow, pasti temennya keren bgt deh... mau kenalan donk...
ReplyDeleteah, biasa aja kok.. jangan dulu lah. kasian dia, bisi jadi kayak lagunya mbak rossa: hati yang tersakiti.
ReplyDeletesuka jugaaa, lagu2 lawas..
ReplyDeletetapi baru tau ada kelompok begitu, dari warkop, cafe hg starbuck ;d
yah.. setiap tembang memiliki penikmatnya sendiri.
ReplyDelete