Kenangan Bersama Pak Karsa

1998. Sebuah tahun di mana saya pertama kali merasakan transisi, perpindahan dari masa SD ke masa SMP. Adakah yang terasa berbeda? Tentu saja. Bahkan sangat terasa perbedaannya. Juli 1998, saya menghadapi sebuah babak baru dalam kehidupan, yaitu menjadi siswa di sebuah SLTP Negeri (dulu masih disebut SLTP). Tepatnya sebuah SLTP yang berada di Jalan Semar, daerah Pajajaran. Sekolah Lanjut Tingkat Pertama Negeri 9 Kotamadya Bandung (dulu saat masuk masih disebut kotamadya). Konon, ini adalah sekolah legendaris, dan atas alasan itulah saya memilihnya.

Ada MOS (Masa Orientasi Sekolah), sebelumnya saat masuk SD tak ada yang begituan. Jadi, ini adalah MOS yang pertama kali saya alami dalam hidup. Gimana kesannya ya? Saya tak pernah berpikir MOS adalah kegiatan yang menyenangkan ataupun menyedihkan. Saya hanya berkesimpulan: melelahkan. Melelahkan karena harus mengerjakan ini-itu, harus begini harus begitu, ‘dijemur’ di lapangan. Kemudian bertemu dengan guru-guru yang -katanya- galak. Saudara dan sepupu yang lebih tua suka bercerita bahwa salah satu pengalaman berkesan mereka saat sekolah SMP atau SMA adalah menghadapi guru-guru yang super galak, alias killer. Tapi setelah hari demi hari saya mulai terbiasa dengan rutinitas kesibukan sebagai siswa SMP.

Selama menjalani MOS, ada 2 figur yang paling sering terlihat. 1 bapak guru, 1 ibu guru. Setelah mereka memperkenalkan diri, barulah saya tahu bahwa mereka adalah Pak Karsa dan Ibu Peni. Familiarnya sosok mereka saat MOS membuat saya berpikir bahwa mereka adalah petinggi di sekolah ini. Bahkan sempat terpikir bahwa Pak Karsa adalah Kepsek dan Bu Peni adalah Wakaseknya. Mungkin terkesan aneh dengan pendapat itu, tapi saya dulu berpikir bahwa pemimpin adalah sosok yang paling terlihat sibuk dan harus banyak tampil.

MOS 3 hari telah usai. Hari-hari belajar pun dimulai. Ternyata dugaan saya salah. Pak Karsa adalah guru olahraga, dan Bu Peni adalah guru agama. Keduanya adalah pembina ekskul Pramuka. Tanggung jawabnya sebagai pembina ekskul membuat mereka tampak familiar saat demo Pramuka di MOS. Ternyata bukan hanya itu, mereka juga pembina OSIS. Jadi tak aneh apabila mereka memang sering muncul saat MOS. Maklum, panitia MOS adalah OSIS. Alhasil, pengalaman selama MOS itu membuat mereka menjadi sosok yang namanya paling terngiang. Terlebih lagi Bu Peni yang mengajar di kelas saya, kelas 1-A. Sedangkan Pak Karsa hanya mengajar kelas 2.

Banyak pembiasaan yang mesti dilakukan, apalagi sebagai anak yang baru jadi siswa SMP. Terutama masalah kedisiplinan. Disiplin mengerjakan PR, disiplin belajar, dan disiplin melaksanakan tugas sekolah. Seminggu setelah masuk, saya pernah dipanggil ke ruang TU gara-gara lupa menyerahkan fotokopi NEM SD. Sudah pasti kena marah. Ah, jadi nyadar betapa teledornya saya saat itu. Dulu saya adalah anak yang amat bandel rupanya.

Memasuki kelas 2, seperti mulai lembaran baru. Teman-teman baru di kelas, walau beberapa diantaranya adalah orang yang sudah saya kenal. Seperti Suhadi, Taufik, dan Ulfah yang pernah sekelas saat SD, atau Ahmad yang pernah bareng di kelas 1. Intinya, ada penyesuaian baru dengan teman-teman yang baru. Tak ketinggalan, guru-guru yang baru. Walau ada beberapa guru yang sebelumnya pernah familiar, seperti Bu Wida Matematika.

Guru olahraga, sudah tentu tak lain adalah Pak Karsa. Guru yang terkenal paling galak seantero sekolah saya ini. Bersama beliau, pelajaran olahraga adalah pelajaran yang paling melelahkan, juga tak terlupakan. Beberapa hari setelah pelajaran olahraga, selalu ada pegal-pegal. Juga tampang beliau yang jutek plus galak siap-siap untuk memarahi dan menghukum siapa saja yang tidak disiplin. Termasuk saya yang anggota Pramuka, ekskul binaannya dia.

Suatu hari, jam pelajaran olahraga. Saya pernah tidak ikut pelajaran gara-gara tak membawa celana olahraga. Saya meminta maaf pada beliau, dan tentu saja ada hukumannya. Plus dicabok. Hehehehe. Namun gara-gara cabokannya itu, anehnya saya jadi anak yang lebih disiplin. Jauh lebih disiplin. Baik di sekolah, dalam pelajaran, maupun dalam ekskul. Mujarab juga tuh cabokan ya! Walau ada bebera teman yang mengiba pada saya lantara cabokan itu, kenyataannya saya malah terkekeh. Hehehe. Tanpa ada dendam sedikit pun pada beliau.

Hampir dua tahun berlalu setelah insiden tamparan beliau. Kejadian yang sangat berkesan. Bahkan berkesan indah. Entah kenapa. Malahan menjelang kelulusan saya merasa akan kehilangan beliau. Begitu juga dengan beberapa berandal yang malah sedih akan berpisah dengan beliau, sampai minta difoto bareng. Memang, banyak hal telah dilalui selama sekolah di bawah asuhan beliau. Juga banyak pencapaian di bawah ekskul binaan beliau. Hal itu pula yang saya rasakan selama jadi siswa dan anggota Pramuka.

Karsa Sudirman Santika. Begitulah nama guru tergalak di SMP kami, sekaligus yang terfavorit dan paling terkenang. Figur yang terlampau kuat untuk tergantikan bagi murid-muridnya. Ngerti lah mengapa beliau selalu dihormati oleh guru-guru lain, termasuk Bu Peni yang memanggilnya dengan sebutan “Pa Jendral”.

Terima kasih, Pak. Tanpa tamparan dari Bapak, mungkin saya tak akan sampai sejauh ini hingga bisa kuliah S-2 begini. Menjalani hidup memang butuh kedisiplinan, terutama disiplin pada diri sendiri. Disiplin pada hal-hal yang ditetapkan oleh diri sendiri, alias berkomitmen.

Ba'da Ashar di tepi Barat kota
Bandung, 05/09/2012

Categories:

0 comments:

Post a Comment