Jum’at dini hari, saya terbangun tanpa sengaja. Entah apa gerangan
sesuatu yang menohok dalam hati hingga sedemikiannya termenung saat tergugah
dari tidur. Tercengah beberapa saat. Ah, perasaan macam apakah ini? Sebuah
perasaan yang tak jelas itu apa. Kegundahan hati yang menuntun saya untuk
beranjak ke meja makan, dan menyantap sebotol nyu milk tea yang tersisa di
kulkas. Teguk demi teguk pun menjadi kisah tentang sebotol minuman yang tadi
saya taruh di meja. Dingin, tapi setidaknya cukup untuk mengurangi balada
dangdut dalam benak. Selepas membuang botolnya, saya putuskan untuk mampir
dahulu ke kamar mandi, mengambil wudhu. Kembali ke kamar, menghamparkan sajadah
sebagai lapak untuk menghadap pada-Nya.
Ada kegundahan dalam dada yang entah itu apa, yang ingin saya cari tahu
jawabannya, yang ingin saya pahami itu apa. Sebuah pikiran yang berjoged dalam
benak, mengetuk sukma, membuat hati ingin mentertawakan sekaligus menangisi
diri sendiri. “Yaa Allaah, asa kieu-kieu teuing hirup urang teh..” Hidup ini
benar-benar tak seperti apa yang dibayangkan, tak seperti yang diprediksikan.
Padahal apa yang terjadi saat ini adalah hasil dari keputusan kita di masa
lalu. Begitulah sunatullahnya, disamping Yang Maha Merencanakan pun menulis
sekenario dan langsung menyutradarainya.
Beberapa rakaat yang cukup untuk menenangkan hati, yang seketika itu
pula pada akhirnya memberikan saya mood untuk menuliskannya. Akhir dari sujud
demi sujud yang selepas salamnya membuat pikiran terlintas akan beberapa
masalah yang menjadi terurai episode demi episode dengan satu benang merah.
Dinamika hidup.
1998 silam, saat pertama kali menginjakkan kaki di SMP, saya pernah
menyatakan diri tak akan masuk Pramuka. Bahkan sempat bilang begitu pada teman.
Beberapa bulan kemudian, setelah mundur sebagai anggota PMR, vakum dari
kegiatan organisasi, saya malah mantap untuk mengikuti ekskul Pramuka. Walau
daftar secara nanggung 3 hari sebelum Pelantikan Anggota Baru. Ketertarikan
yang mendadak, namun pada akhirnya itu adalah keputusan yang menjadi salah satu
sejarah terbesar dalam hidup saya, yaitu pengalaman menjadi anggota Pramuka.
Pengalaman berorganisasi yang paling banyak mewarnai hidup saya secara
personal. Saya belajar banyak tentang persahabatan, komitmen, kerjasama tim,
kebersamaan, kekompakan, kekeluargaan, kemandirian, caranya menyayangi. 14
tahun berselang, rasanya tak ada alasan untuk beranjak dari status sebagai
alumni Pramuka SMP IX.
Hmm.. jadi, jangan ngasal membuat pernyataan. Saya tak tahu apa yang
akan terjadi di masa yang akan datang nanti. Sempat menyatakan diri takkan ikut
Pramuka, eh tahunya jadi anggota setia di ekskul seragam coklat itu.
Psikologi? Dari mana tuh ide terpikirnya ya? Semenjak kecil yang
terpikir dan menjadi proposal hidup saya adalah menjadi seniman dengan menapaki
jalur sebagai murid di perguruan FSRD ITB. Rencana hidup yang ditolak
mentah-mentah oleh ibu (padahal sudah dipersiapkan semenjak SD), alasannya:
karena itu tak sesuai dengan keinginan ibu yang berambisi supaya anak-anaknya
mengikuti karir ibu sebagai akuntan. Ibu inginnya saya masuk jurusan Akuntansi,
terlebih lagi karena saya punya kelebihan di pelajaran Matematika. Nyadar bahwa
saya punya sedikit keistimewaan dalam pelajaran Matematika, itu pula yang
membuat saya awalnya tertarik untuk memilih Pendidikan Matematika sebagai
pilihan di SPMB 2004. Tapi ketertarikan saya pada pelajaran Kimia (gara-gara
enjoy dengan wali kelas yang seorang guru Kimia), pilihan pertama SPMB jatuh
pada Farmasi ITB. Entah mimpi apa yang saya alami saat itu, tahunya di buku panduan
SPMB 2004 ada jurusan Psikologi di UPI. Itu angkatan pertama, baru dibuka.
Entah gerangan apa yang membuat saya akhirnya malah memilih Psikologi UPI
sebagai pilihan kedua menggantikan Pendidikan Matematika. Seketika itu
terpikir, seketika itu pula membuat keputusan. Lagi-lagi itu keputusan yang
menentukan garis hidup saya. Delapan tahun terlewati, sekarang saya sedang
menyusun tesis untuk bidang Psikologi Sosial.
Hmm.. “Betapa relatifnya hidup!” Begitu kata Pak Dadang Iskan dirut PLN.
Keputusan seketika yang menentukan episode panjang di masa depan. Episode
panjang sebagai pelaku di bidang Psikologi ditentukan oleh keputusan yang
dibuat beberapa menit saat daftar SPMB. What a great life! Sekaligus asa bodor!
Setiabudhi tahun 2010. Siapa bilang selesai sidang skripsi itu membuat
hati terasa plong? Kenyataannya pasca sidang kegundahan semakin menjadi-jadi.
Bagi orang-orang itu adalah masa yang membahagiakan karena satu pekerjaan besar
telah usai, namun bagi saya malah sebaliknya. Gundah, stres. “What next?”
Begitu keluar ruang sidang, saya tak bersemangat, malah tertunduk di ruang
tunggu. Merasakan tekanan besar untuk langsung membuat keputusan dari sebuah
pertanyaan: mau apa setelah lulus? Ada tiga pilihan: cari kerja, rintis usaha,
atau lanjut ke S-2. Bagi saya pribadi, dengan keadaan yang ada, pilihan yang
paling memungkinkan adalah lamar pekerjaan. Atau merintis usaha, berbekal
pengalaman usaha bersama beberapa teman. Yang ada dalam benak saya adalah
segera berpenghasilan tetap, bagaimanapun itu caranya. Entah sebagai pegawai,
ataupun wirausahawan.
Satu bulan berlalu setelah ujian sidang skripsi. Momen yang bertepatan
dengan beresnya pekerjaan saya sebagai ‘tutor’ di sebuah biro psikologi. Entah
ketiban durian dari mana, ibu tiba-tiba menginginkan saya untuk daftar S-2.
Tanpa lama berpikir, saya cari info tentang pendaftaran S-2 di beberapa
perguruan tinggi. Mencari keterangan mana saja perguruan tinggi yang membuka
studi Psikologi Sosial. Didapatlah 3 pilihan: UGM, UI, dan Unpad. Saya
rencanakan untuk daftar ke ketiga Universitas tadi. Itu pun kalau ada yang
gagal dalam seleksi. Bila gagal yang 1, coba yang 2. Bila gagal lagi, coba yang
3. Dilihat berdasarkan timeline-nya, urutan jadwal seleksi masuk adalah: Unpad,
UI, lalu UGM.
Entah mimpi apaan. Dengan persiapan yang seadanya (sekedar kelengkapan
administrasi), tanpa belajar untuk hari-hari seleksi, hanya bermodalkan visi
hidup ke depan, ternyata saya lolos seleksi. Uniknya, agenda wawancara peserta
menjadi bagian paling menyenangkan dalam rentetan seleksi penerimaan mahasiswa
baru. Padahal peserta lain ada yang sampai nangis-nangis, stres. “Nanti kalau
diterima, jangan mikir mikir dulu! Langsung daftar ya!” Ada gelagat lain dari
apresiasi mereka saat mengatakan pesan terakhir wawancara.
Beberapa hari kemudian. Agam sedang online di rumahnya, dan dia
penasaran dengan hasil seleksi saya. “Berapa nomor seleksinya? Sini lah,
dipangliatin.” Lumayan lah, info gratis. Lagian di rumah saya tak ada modem
untuk cek hasil seleksi. “Traktir atuh euy!” Oh, ternyata saya lulus. Sesuai
keinginan ibu, dan pesan dari pewawancara, langsung daftar. Saya juga ogah
kalau harus seleksi lagi. Ternyata bukan hanya itu, di tahun 2010 ini, program
studi Magister Sain Psikologi Sosial dibuka. Seperti sebuah keajaiban, karena ini
bidang yang jarang peminatnya. Bahkan tadinya saya pesimis program ini dibuka
di tahun saya mendaftar. Eh, ternyata...
Hmm.. Ada pilihan yang datang tiba-tiba, muncul begitu saja. Pilihan
itu saya ambil, dan semua rencana hidup tampaknya harus direvisi. Kemudian pada
akhirnya benar-benar direvisi. Awalnya berniat untuk langsung cari kerja atau
merintis usaha, namun pilihan untuk S-2 datang tiba-tiba. Pilihan mengejutkan
yang akhirnya menawarkan kelanjutan cerita lain.
Terakhir, barangkali ini yang paling bodor dan membuat saya
mentertawakan hidup saya sendiri. Jodoh.. jodoh.. emh, bade ka mana ateuch?
Sebagaimana yang pernah saya ceritakan pada beberapa teman (karena mereka
bertanya), bahwa sejak tahun2004 saya sudah serius untuk mempersiapkan yang
satu ini. Persiapan dari segi jasadiyah (fisik), sudah jelas tentu saya
terbilang baligh dan cukup umur. Persiapan dari segi fikriyah (‘ilmu,
pemahaman, dan perencanaan), dipersiapkan ke sana ke mari dengan menyimak
kajian tentang keluarga, baik dari segi keislaman, sosial, hukum, juga
psikologis. Persiapan dari segi ruhiyah (mentality), saya meneguhkan hati untuk
itu dan insya Allah akan terus belajar. Persiapan maaliyah (finansial), saya
masih berpikir bahwa uang bisa dicari dan nafkah bisa diusahakan. Bila mau
realistis, dinamika ekonomi global akan berdampak pada dinamika produktivitas
semua perusahaan di dunia. Ujungnya, itu berpengaruh pada ketenagakerjaan.
Jadi, sebenarnya tak ada pekerja tetap. Yang sebenarnya ada hanyalah usaha
untuk tetap mampu menafkahi. Banyak orang yang banting setir dari pekerjaannya,
lalu beralih profesi. Demi apa? Demi menghidupi keluarga. Menteri aja bisa
dipecat, apalagi orang-orang kecilan. Jadi, sepertinya pekerjaan tetap bukanlah
alasan yang tepat untuk dijadikan tolak ukur kesiapan.
Targetnya, 2007 saya sudah siap. Dan ternyata rencana di tahun 2004 itu
berjalan dengan lancar, hingga di tahun 2007 saya meneguhkan diri untuk
menyatakan siap. Buat saya, keteguhan hati dan keberanian untuk menyatakan
‘siap’ ini lebih kepada masalah mental dan cara pandang terhadap masa depan
mengenai akan seperti apa hidup kita nantinya. Buat kita yang masih ingin
bermain-main, mungkin belum akan memilih untuk berkeluarga. Tapi, itu kembali
lagi pada masing-masing kita.
Siapa ya? Ngaku saja lah, ada banyak nama yang sempat terlintas untuk
diajukan dalam do’a demi do’a. Entah berapa jumlahnya, namun dari asumsi bahwa
masalah yang satu ini adalah misteri hidup, jadi semua teman perempuan yang
dikenal semasa kuliah (terutama angkatan 2004-2006), dihitung saja sebagai
sosok-sosok yang namanya saya ajukan dalam do’a. Tentunya do’a ini juga
dibarengi dengan usaha, setidaknya untuk mendapatkan jawaban demi kemantapan
hati. Alhasil, tidak satupun dari mereka yang membuat hati ini mantap. Meski
ada satu yang saya sukai, kenyataannya bukan. Dia yang berasal dari provinsi
tetangga berkeluarga dengan lelaki dari kampung halamannya. Hmm... ternyata
Defi bukanlah takdir saya. Jadi we inget lagunya Rossa yang Aku Bukan Untukmu.
Siapa ya? Akhirnya saya mencoba untuk lebih terarah dalam menentukan. Menentukan
sebuah kriteria: orang Bandung atau sekitarnya. Alasan yang sederhana, supaya
tidak jauh dan mengirit ongkos. Alasan lainnya: ini idealisme supaya kota
kelahiran tercinta ini tidak bertambah padat oleh pendatang. Namun sepertinya
kriteria itu harus dihapus, seiring dengan tidak adanya tanda-tanda. Jigana di
Bandung mah emang euweuh pilihaneun. Memang banyak yang saya kenal, dan mereka
masih available, namun rasanya tak ada dari mereka yang membuat hati ini mantap.
Sepertinya memang harus coba mengalihkan radar ke luar Bandung.
Mungkin ada yang kurang tepat dengan kriteria tadi. jadi, dibuatlah
keputusan baru: yang jelas-jelas saja lah, pilih orang yang sudah cukup
mengenal saya, dan saya sudah cukup mengenal dia. Alasannya: melelahkan bila
harus memulai lagi dari awal perkenalan. Ribet! Hoream! Lagian, sudah banyak
orang yang saya kenal. Jadi, utamakan dulu saja yang sudah saya kenal.
Setidaknya keputusan itu membuat saya lebih jelas melihat tentang siapa saja
yang sudah cukup saya kenal, dan mereka adalah teman-teman saya saat masih
sekolah. Hehehe... maklum, saya mengira teman jaman sekolah dulu lebih terbuka
dan apa adanya (tak ada jaim-jaim). Alhamdulillah, adanya Facebook membuat saya
terbantu untuk flashback dan menjalin kembali komunikasi dengan orang-orang
dari masa lalu saya. Teman SD, SMP, juga SMA. Sekalian reunian dengan kawan
lama, sekalian menjajaki kemungkinan untuk menjalin hubungan yang ‘serius’. Tak
masalah bila pada akhirnya mesti menjemput ke kampung halamannya. Surabaya,
Yogyakarta, Solo, Depok, Indramayu, Rangkasbitung...
Adanya berita duka memang bisa cukup menggemparkan, sekaligus
memunculkan semangat tersendiri untuk mampir ke luar kota. Ada seorang adik kelas,
dia partner saya saat mendirikan komunitas kepenulisan, suatu hari dia mengirim
SMS bahwa bapaknya meninggal. Keesokan harinya saya melayat ke rumahnya di
Indramayu. Sekalian melayat, sekalian melacak jejak keberadaan kawan lama. Ah..
Cahyani, kangmas datang!
Mampir ke Indramayu setidaknya membuat saya jadi lebih mengenal wilayah
yang satu itu, jadi bukan sekedar katanya katanya dan katanya. Lumayan untuk
jadi modal mencari keberadaan teman lawas. Harapan itu sirna setelah pekan demi
pekan berlalu info yang diharapkan tentang sosok jadul itu tak kunjung didapat.
Masa lalu dimana kami cukup saling mengenal tinggalah cerita lampau belaka.
Lantas, siapa?
Mulailah saya mendengar kicauan dari beberapa teman, juga tetangga.
Seperti Pak Uju (Tata Usaha di kampus) dan Edy yang senada “..setuju lah mun
maneh jeung si Intan.” Di lain kesempatan, Anggi menggoda “Mbak Ika, Dit.. Mbak
Ika..Ayo lah!” walau dia juga pernah bilang “Yah, ama Intan juga boleh lah.”
Entah apa yang ada dalam benak mereka sampai nyebut-nyebut nama. Tapi yang
jelas, saya anggap saja itu sebagai kepedulian mereka sebagai teman. Kepedulian
yang mereka ekspresikan melalui omongan-omongan yang personal pisan. Atau, bisa
jadi itu sebenarnya menunjukkan harapan mereka yang menganggap kami serasi.
Apapun niat mereka, saya tak begitu menghiraukannya. Namun, ternyata
itu berhasil membuat saya terngiang-ngiang akan dua nama tadi. Intan dan Mbak
Ika. Asa bodor! Rasa-rasanya saya bukanlah siapa-siapa bagi mereka, saya
bukanlah orang yang cukup baik dan berarti untuk mereka terima lebih dari
sekedar teman. Oke, saya coba hargai niat mereka. Saya coba cari dan curi kesempatan
untuk melihat ketermungkinan “Apakah bisa?”
Waktu terus berjalan, hingga tibalah hari di mana saya memenuhi
undangan untuk singgah ke tanah suci. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, karena
Madinah dan Makkah adalah tempat yang makbul, saya pun berdo’a mengharap diberi
kejelasan akan masalah yang satu ini. Intinya, bila ‘dia’ yang Allah pilihkan,
maka dekatkanlah. Bila bukan, jauhkanlah. Sepulangnya dari tanah suci,
keseharian dijalani seperti biasa. Tak ada prasangka apapun tentang masalah
ini. Sampai tiba-tiba Dea mengusulkan Intan untuk dijadikan calon istri. Reuwas
pisan! Entah apa yang ada dalam benaknya sampai dia berpikir demikian. Kata Dea
sih, sebelumnya Teh Ai pun mengusulkan hal yang sama pada Intan. Teh Ai
mengusulkan saya pada Intan. Leuwih reuwas deui tah!
Inikah jawaban dari do’a saya selama ini? Ah, sepertinya saat itu semua
hal mengarah pada satu nama: Intan. Demi menghormati niat Dea untuk mencomlangi
saya dengan Intan, akhirnya saya mengiyakan usulan itu. Saya akan berproses
dengan Intan, dengan niat untuk menghargai itikad baik Dea, dengan anggapan
bahwa mungkin ini jawaban dari do’a-do’a saya. Awal Ramadhan, Dea meresmikan
kami mulai berproses. Selama dua pekan kemudian, sepertinya jawaban dari do’a
saya sudah nampak, walau Intan belum memberikan jawaban melalui Dea. Intinya, saya memilih untuk mengakhiri proses.
Sebelumnya memang seakan ada tanda-tanda bahwa dia adalah orang yang dipilihkan
bagi saya, namun akhir-akhir ini justru sebaliknya. Apa yang terjadi di antara
kami akhir-akhir ini mengisyaratkan jawaban: bukan dia! Ah, dulu jawaban dari
do’a saya mengarah pada yang ini, namun sekarang ternyata jawabannya negatif.
Entah rencana apa yang Allah susun di balik semua ini. Saya jadinya berpikir,
pending saja. Tepatnya 70% pending, 30% bukan dia.
Mengetahui keputusan saya itu, Anggi langsung menyempil: “Mbak Ika,
Dit! Ayo dekati Mbak Ika!” Belum lagi tetangga yang mengusulkan Miss Pipit,
guru bahasa Inggris di sebuah SD yang letaknya tak jauh dari rumah. “...tuh
Kang Adit, ama Miss Pipit! Dia keitung guru yang bagus di SD, akhlaqnya baik,
kejaga sekali lah orangnya...” Ada juga Teh Asri dari pengajian sebelah yang ternyata
sudah mengenal saya sejak lama. Padahal saya saja baru kenal dia
sekarang-sekarang. Kok bisa? “Hati-hati ama akhwat yang begitu!” begitulah
nasehat dari teman dekat saya. Duh, yaa Allaah... isyarat apa lagi ini?
Hmm.. Dinamika hidup membuat satu hal tampak seperti jawaban “Ya” dari
do’a saya, di lain kesempatan justru tampak jawaban yang berbeda. Pada satu
momen terlihat inilah jawabannya, pada momen lain tampak bukan ini jawabannya.
Pada satu kesempatan terlihat sebagai pilihan yang tepat, pada kesempatan lain
justru sebaliknya, bukan sebagai pilihan yang tepat.
Entah skenario macam apa yang disusun oleh-Nya. Bodornya, mereka (Intan, Mbak Ika, Miss Pipit, dan Teh Asri) awalnya adalah orang-orang yang tak sempat terpikirkan. Hanya sekilas namanya terlintas, namun langsung jadi pertimbangan. Ah, lagi-lagi pilihan yang datang mendadak. Masih mau pinjam ungkapannya Pak Dadang Iskan: betapa relatifnya hidup ini.
Life isn’t simple yet. But simple enough to live. Cukup rumit untuk dipahami. Jadi, jalani saja lah!
Entah skenario macam apa yang disusun oleh-Nya. Bodornya, mereka (Intan, Mbak Ika, Miss Pipit, dan Teh Asri) awalnya adalah orang-orang yang tak sempat terpikirkan. Hanya sekilas namanya terlintas, namun langsung jadi pertimbangan. Ah, lagi-lagi pilihan yang datang mendadak. Masih mau pinjam ungkapannya Pak Dadang Iskan: betapa relatifnya hidup ini.
Life isn’t simple yet. But simple enough to live. Cukup rumit untuk dipahami. Jadi, jalani saja lah!
Mengawali cerita Jum’at
Bandung, 07/09/2012
itu si Anggi kesebut lagi sih.... Dua Martabak untuk Dua Hati.... :))))
ReplyDelete