Pesawatku terbang ke bulan...
(Memes - Pesawatku)
Pertengahan caturwulan 2012, salah satu obrolan yang ramai jadi topik
pembicaraan adalah “Perahu Kertas”-nya Dee Lestari. Sebenarnya bukan bukunya,
namun karena buku tersebut difilmkan. Tampaknya pemfilman buku inilah yang
membuat “Perahu Kertas” jadi booming. Setelah laris dengan bukunya, akhirnya para
pembaca yang apresiatif pada salah satu karya Dee tersebut disuguhkan dengan
bentuk lain penyajian imajinasi si penulis. Visualisasi dalam bentuk gambar
bergerak, alias film. Orang-orang berbondong ingin menontonnya. Bahkan kalangan
yang bukan pembaca buku pun ikut terhanyut antusiasme pembaca yang penasaran
pada versi filmnya. Terbukti, ada teman saya yang menonton film Perahu Kertas
bersama kekasihnya. Padahal saya tahu persis bahwa dia bukanlah penikmat buku.
Saya? Semenjak pertama kali mendengar bahwa terbit karya baru dari Dee
berjudul Perahu Kertas, rasanya tak ada kesan yang menjadi alasan untuk
memiliki buku yang satu itu. Waktu terus berlalu membawa cerita kelarisan buku
Perahu Kertas, hingga akhirnya kelarisan itu mengundang ketertarikan sineas untuk
mengemasnya dalam bentuk film. Puncaknya, 2012 ini filmnya muncul. Namun
sayangnya, saya masih saja belum tertarik untuk menikmatinya. Tak tertarik
untuk membacanya, juga menontonnya. Memang sebenarnya ada buku-buku yang
akhirnya difilmkan. Seperti “The Lord of the Rings”, “Harry Potter”, atau buku
karya Ninit Yunita yang pemutaran filmnya berdampingan Perahu Kertas, “Test
Pack”.
Saat orang lain tengah asiknya membincangkan tentang Perahu Kertas,
saya hanya mendengarkan mereka tanpa ada keinginan untuk menelusuri lebih
dalam. Ya, sekedar mendengarkan seadanya. Bukannya memicingkan karya populer
dari penulis Dee Lestari, namun sepertinya saya cukup mantap untuk mengatakan
tak berselera untuk mengikuti kepopuleran Perahu Kertas. Lagipula, saya memang punya
alasan tentang kenapa tak tertarik. Jawabannya sederhana saja, yang berkesan
bagi saya bukanlah Perahu Kertas, melainkan “Pesawat Kertas”.
Perahu kertas memang pernah ada dalam kehidupan saya, tepatnya masa
lalu saat hujan turun dan air lebih deras mengaliri selokan. Saat-saat begitu
saya memang menikmati “berlayarnya” perahu kertas yang dibuat dari lipatan
kerta catatan sekolah. Kadang saya main balap perahu kertas bersama teman.
Namun itu hanyalah sebuah kisah kecil dari cerita lain yang banyak tertulis
dalam kehidupan saya. Saya sendiri tak bisa memungkiri bahwa pesawat kertas
lebih banyak mewarnai hidup saya, bahkan jauh sebelum tahu perahu kertas.
Ceritanya dimulai pada dekade 90-an, saat bapak biasa mengantar kami
sekeluarga ke rumah nenek. Nenek tinggal di daerah Sederhana, sedangkan kami
tinggal di Cijerah. Memang ada beberapa jalan yang bisa dilewati untuk ke rumah
nenek atau pulang dari rumah nenek. Bisa lewat Pajajaran dilanjutkan ke
Pasirkaliki, bisa juga lewat Cimindi lalu melalui Pasteur, atau jalur yang
paling disukai bapak, lewat pinggir Bandara Hussein Sastranegara alias area
IPTN (dulu namanya masih IPTN, singkatan dari Industri Pesawat Terbang
Nusantara). Khusus untuk jalur pulang dari rumah nenek, bapak kadang memilih
untuk lewat Bandara Hussein, dan bila beruntung, kami bisa menonton pesawat
landing atau take-off. Bagi saya yang saat itu masih kecil, ini tontonan yang
sangat menarik. Setidaknya cukup untuk memimpikan suatu kelak akan mengudara.
Mungkin terkesan aneh, namun terkadang kami ingin pulang dari rumah
nenek sebelum matahari terbenam. Kenapa? Saya ketagihan melihat pesawat. Jadi
mumpung belum gelap, sore bisa parkir di pinggir area IPTN untuk nonton
pesawat. Bila landasan lagi kosong, tunggu saja beberapa menit, dan jreng..jreng..jreng..
ada pesawat yang mendarat atau baru jalan dari parkiran dan bersiap mengudara.
Itu hiburan utama di kala sore. Saya bersyukur kota kami punya bandara, selain
jadi salah satu hiburan, tempat yang satu itu memang pernah punya tempat khusus
di hati kami para warga kota Bandung. Terlebih lagi saat IPTN berjaya dengan
meresmikan N-250 dan CN-235. Walau dibuat atas kerjasama dengan CASA Spanyol,
kami tetap bangga. Sekedar catatan, N dalam nama tersebut adalah singkatan dari
Nusantara. CN artinya CASA-Nusantara, dibuat atas kerjasama CASA dengan IPTN.
N-250, menggunakan kode N yang berarti Nusantara menunjukkan bahwa desain,
produksi, dan perhitungannya dikerjakan di Indonesia. Jadi yang N-250
benar-benar buatan lokal.
N-250 adalah sejarah dunia Penerbangan Indonesia yang sempat
mengharukan negeri. Bagaimana tidak?! Ini pesawat rancangan putra-putri
Indonesia yang pengerjaannya dilakukan oleh para ahli lokal dari berbagai
jenjang profesi. Mulai dari profesor hingga siswa SMK. Sebuah sejarah besar bagi
negeri! Dan tentu saja kebanggaan bagi kami warga Bandung. Sebagai pesawat
pertama di kelasnya yang menggunakan teknologi fly by wire, N-250 menjadi diva di Indonesia Air Show 1996
Cengkareng, walau akhirnya 1997 tak lagi terdengar kabarnya karena krisis ekonomi.
Sempat terdengar kabar bahwa produksi N-250 akan kembali diprogramkan oleh Om
BeJeHa, tentu saja itu kabar yang amat menggembirakan. Terlebih lagi saingan
sang diva sudah tiada. Fokker-50 sudah pensiun karena 1996 Fokker Aviation
Belanda gulung tikar (kabarnya sih gitu).
Salah satu kenangan terindah saat itu adalah menonton Gatotkoco pertama
kali terbang. It was unbelieveable, but
it happened. Gatotkoco yang dengan tampilan putih-biru membentangkan kedua lengannya
mengudara.
Bandung tak punya pelabuhan, tapi punya bandara. Sebagaimana seragam
biru muda lebih familiar dibanding seragam putih. Istilah “pesawat” selalu
punya hanggar di benak ini, sampai-sampai bila terdengar suara turbo jet atau
mesin helikopter saya suka ngebela-belain naruh makanan di meja demi melihat ke
langit dan menikmati pemandangan burung besi yang lewat. Terutama Dadali atau
Japati.
“Pasti akan serasa menakjubkan bila saya bisa menumpakinya!” Pikiran
semacam itu selalu saja tebesit saat melihat pesawat yang sedang terbang. Tak
sampai situ, tentunya ada juga harapan-harapan yang melambung tinggi semisal
impian bahwa suatu saat nanti IPTN punya produk yang bisa menyaingi MD
(McDonnel Douglas) Amrik. Mungkin karena saya yang selalu terkesima dengan
pesawat tempur yang kebanyakan model terbaiknya menyisipkan satu nama, MD. Ah,
bila pesawat angkut penumpangnya diberi kode N, mungkin pesawat tempurnya
diberi kode J yang artinya Jawara.
Itu kenangan dan angan tentang si burung besi.
Origami apa yang pertama kali saya tahu? Dengan sangat mudah dan yakin
saya akan menjawab: pesawat terbang. Bapak yang mengajarkannya saat saya masih
SD kelas 1. Saat itu bapak mengajarkan bentuk yang paling sederhana dalam membuat
origami pesawat terbang. Buatan bapak berhasil melayang dengan mulus, berbeda
dengan buatan saya yang Dutch Roll-nya kebangetan, alias oleng sampai langsung
nutug. Tak apa lah, itu baru awal. Toh selanjutnya saya tetap bersikeras untuk
membuat origami yang terbangnya mulus, dan saya berhasil. Sebagai orang yang
menyukai pesawat terbang, selalu menyenangkan untuk memainkan pesawat kertas.
Di rumah, di halaman sekolah, atau bahkan di kelas saat guru lagi tak ada.
Belum cukup sampai di situ, dibanding ragam origami lain, sepertinya
origami yang bisa saya buat dengan bermacam varian adalah pesawat terbang.
Mulai dari yang sederhana sekedar lipatan kertas, hingga yang lebih rumit
sampai membutuhkan lem, gunting, dan menggambar pola. Lebih tepatnya model miniatur
pesawat terbang kertas.
Baru ngeh juga, model kertas yang pernah saya buat hanya miniatur
pesawat dan maket rumah. Namun tetap saja, model pesawat adalah yang terbanyak.
Tentu saja terbanyak, karena kebetulan saya suka meminta majalah bekas di rumah
paman. Dulu paman suka langganan majalah Angkasa, dan di tiap edisi ada rubrik
origami yang diisi dengan membuat model pesawat dari kertas. Itu rubrik yang
paling saya sukai. Masih terekam dalam ingatan saat kepalang senang begitu
menemukan rubrik origami edisi helikopter Airwolf. Ada juga beberapa model lain
yang saya sukai, terutama Apache, Tiger, Harrier, dan Fulcrum. Walau akhirnya
banyak gagal, saya senang menjalani hari-hari berantakannya kamar gara-gara
menekuni kegemaran yang satu ini. Tapi, ada satu yang sempat berhasil, model MIG-29
Fulcrum. Atoh pisan lah! Cukup membahagiakan bagi saya yang saat itu kelas 5
SD.
2012, apa kabar Majalah Angkasa? Semenjak SMP saya tak lagi mengikuti
perkembangan dunia penerbangan, termasuk tak lagi mengikuti kabar mengenai
Majalah Angkasa. Tapi kabar baiknya, saya masih suka menikmati pemandangan
pesawat yang take-off atau landing. Memori tentang pesawat sempat membuncah
saat muncul film Con Air di akhir 90-an dan Pearl Harbour di tahun 2000-an.
Kebetulan saya menyukai soundtrack kedua film tersebut. “How Do I Live” yang
dibawakan oleh Teh Trisha Yearwood, dan “There You’ll Be” yang didendangkan
oleh Mbak Faith Hill.
In my dreams i’ll always see
you soar above the sky
In my heart there will always
be a place for you
For all my life
I’ll keep a part of you with
me
And everywhere i am there
you’ll be
Hmm.. sampai sekarang, diri ini masih tak dapat memungkiri bahwa bagi
saya pesawat lebih berkesan dibanding perahu. Jadi we teu hayang meuli jeung
hoream nongton. Begitulah pesawat menorehkan cerita dalam kehidupan saya.
Terakhir, pesawat mengantarkan saya dan ibu ke tanah suci. Akankah pesawat
kembali menorehkan cerita dalam kehidupan saya?
Kakang 015 is waiting for permit.
01/10/2012
bilih bade poto pesawat kertas CN235/N250 aya di poto FB sayah :))
ReplyDeleteTos lah, teu kedah. nuhun.. pami aya mah, ngke mun Angkasa nerbitin edisi spesial N-250, urang nitip nya!
DeleteSampai saat ini masih suka liat pesawat landing?
ReplyDelete