Daisy-ku yang mungil, apa
kabarnya dirimu?
Saya selalu percaya, setiap orang punya caranya masing-masing dalam
menikmati hidup. Entah itu dengan menelusuri minatnya, melakukan sesuatu yang
menjadi hobi, pergi ke tempat favorit, atau bahkan sekedar menghanyutkan diri
dalam suasana yang ada. Begitu pula dengan saya yang mempunyai cara tersendiri
dalam menikmati hidup. Sebelumnya, saya sendiri mesti mengakui bahwa tak segala
hal berjalan sesuai keinginan. Ada kalanya membosankan, jenuh, tertekan karena
lagi di-warning oleh deadline, dan lain-lain. Kadang begini kadang begitu,
kadang sulit kadang mudah, kadang lega kadang tertekan, kadang sedih kadang
bahagia. Benarlah apa kata iklan: “...karena hidup punya banyak rasa!” atau
“..life is never flat!”
Hidup ini memang unik, begitulah saya memandangnya. Meski dapat
dijalani dengan cara yang sederhana (saya sekedar berpikir tuk jalani dengan
sebaik-baiknya), jalan ceritanya berliku. Bahkan terkadang penuh dengan
kejutan. Tiba-tiba saja begini, padahal diprediksikan dan direncanakan akan
begitu. Kembali mengutip gayanya Pak Menteri BUMN, Dadang Iskan: “Betapa
reatifnya hidup ini!” Namun tetap saja itu bukanlah sebuah alasan yang bisa
diterima untuk sekedar pasrah pada keadaan. Saya masih perlu berusaha,
mengerahkan upaya terbaik dalam menjalani hidup ini. Seperti kata tokoh utama
dalam film The Last Samurai: “Seorang lelaki melakukan yang terbaik hingga
takdirnya terkuak...” Kira-kira, untuk saya begitulah cara yang cukup sederhana
dalam menjalani hidup.
Hidup punya banyak cerita, sebagaimana ia punya banyak warna dan rasa.
Saat keadaan begini, saya akan menikmatinya dengan sebuah cara. Namun saat
keadaan begitu, mungkin saya akan menikmatinya dengan cara yang lain. Intinya,
saya sekedar mencari cara untuk dapat menikmati keadaan yang sedang menjadi
setting cerita. Saat malam suntuk setelah seharian penat, mungkin saya akan
memilih untuk nongkrong di warkop dengan secangkir kopi atau di angkringan
dengan wedang susu. Saat ada hari libur dan tak ada kegiatan, mungkin saya akan
memilih untuk singgah ke rumah teman atau menyepi mencari suasana hening di
gunung atau padang rerumputan.
Hmmhhh... mungkin tak banyak yang tahu, bahwa saya adalah penikmat
hiruk pikuk yang menggemari keheningan. Meski kerap menuliskannya di profil
penulis, mungkin kebanyakan orang tak pernah menyadarinya. Beberapa orang
mengenal saya sebagai pembuat keributan, juga tukang ngebodor dan ngoceh. Namun
di balik itu semua, ada juga yang melihat saya sebagai penggemar kesunyian yang
suka menyendiri dan menyepi, berdiam sendiri di kamar, begadang demi bisa
menemukan keheningan malam, atau pergi jalan-jalan sendiri. Tak banyak yang
tahu bahwa saya adalah pendiam. Bahkan seorang teman di yayasan pernah bergidik
heran terkaget saat bibi bilang padanya bahwa saya adalah pendiam. “Haahhh...
Pendiam dari mananya?” Begitu dia menyangkal.
Siapa saja ya yang hafal pendiamnya saya? Selain keluarga, mungkin
beberapa teman dekat nyadar pendiamnya saya. Terutama mereka yang suka mampir
untuk curhat. Percaya atau tak percaya, salah satu alasan kuat bagi mereka memilih
saya sebagai tempat curhatnya adalah karena saya tak suka banyak ngomong.
Mungkin dengan begitu membuat mereka merasa didengarkan, dan merasa cerita
mereka takkan bocor ke mana-mana. Pendiam memang lebih suka untuk menyimpan
cerita saja dan tak banyak bicara.
Sisi pendiam ini kerap mengajak saya untuk menginginkan kesunyian.
Selalu menyenangkan untuk bisa menikmati keheningan ditemani beberapa teguk
air. Saat hening malam tiba, rasanya berkesan untuk melewatinya dengan
secangkir teh, kopi, atau wedang hangat. Bagi saya itu adalah hal yang
menenangkan. Saat masih siang, menyenangkan apabila bisa menemukan sebuah
hamparan padang rumput lalu sejenak melewati momen itu dengan meneguk minuman
yang agak dingin.
Aaahh.. ya. Padang rumput. Sebuah tempat yang punya kesan tersendiri
bagi saya. Tempat yang terasa nyaman tuk sejenak beristirahat dan melepas
penat. Kemudian di bawah sebuah pohon rindang saya bisa tidur-tiduran. Ditemani
rerumputan, dan tentu saja Dandelion kesukaan saya. Sebenarnya ada satu lagi, bunga
Daisy. Sebagaimana Dandelion, Daisy juga kerap tumbuh liar marak di daerah
padang rerumputan.
Daisy si bunga mungil, seperti itulah saya mengenalnya. Daisy berukuran
mungil seolah-olah dia adalah gadis kecil yang polos. Daisy biasa tumbuh subur
secara liar di padang rerumputan, seolah-olah dia ingin terus bebas bermain
dengan dunianya yang luas. Bukan tumbuh teratur di sebuah pot berukuran
diameter sekian. Daisy juga bunga yang sederhana, jauh dari kesan glamour yang
serba mahal. Lain dengan bunga Mawar, Tulip, Lily, atau Anggrek yang perlu
perawatan khusus ekstra intensif untuk bisa menemukan keindahannya. Bahkan,
konon harga Anggrek bisa mencapai jutaan rupiah. Amat berbeda dengan Daisy yang
bisa tumbuh mandiri.
Kesederhanaan dan kepolosannya, mungkin itu yang paling saya sukai dari
Daisy.
Siang hari bila ke kampus Jatinangor, seandainya ada waktu yang cukup
luang, mungkin saya akan meluangkan waktu untuk sejenak singgah di padang
rerumputan dekat danau buatan, dan menikmati kesunyian. Sambil menikmati kicau
burung, kupu-kupu yang tengah menari-nari,
hempasan angin yang menggoyangkan rerumputan, gemericik
air, dan nanyian alam lainnya nan merdu. Tak ketinggalan, ada Dandelion yang
lembut atau ditemani senyum Daisy nan polos.
Daisy, selalu senang tuk bisa
melihatmu lagi. Semoga kita bisa berjumpa lagi, walau entah itu kapan.
Memandangi polosnya dirimu saat begitu berserinya ceria bermain di luasnya
hamparan padang rerumputan. Aaaahh.. ingin diri ini tersenyum saat melihatmu
begitu. ;)
Cijerah, 11/10/2012
0 comments:
Post a Comment